Chereads / I Forgot How To Smile / Chapter 1 - Arti Sebuah Tujuan

I Forgot How To Smile

🇮🇩Skyra22
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 17.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Arti Sebuah Tujuan

Bogor, tahun 2009

"Yoiiii, akhirnya lulus juga broo!!"

"Hmmm." Balasku sambil tersenyum

Perkenalkan namaku adalah Riki, dan orang yang baru saja berteriak adalah sahabatku Deny. Saat ini kami baru saja lulus dari SMA, jujur saja aku merasa senang sekaligus sedih karena kami baru saja lulus SMA.

Senang, karena akhirnya aku semakin dekat untuk meraih mimpi ku sendiri, yaitu menjadi seorang guru. Sedangkan sedih karena aku akan berpisah dengan Deny, karena ia akan berangkat menuju jepang dan mengambil jurusan animasi. Meskipun mimpi kami berbeda tetapi kami memiliki hobi yang sama, yaitu menyukai film-film animasi jepang yang disebut Anime, yah sudah banyak orang-orang yang mengatakan bahwa kami adalah seorang wibu (orang yang sangat terobsesi dengan hal-hal yang berbau Jepang), tetapi kami tidak pernah memikirkannya. Sejak kecil Aku dan Deny bisa dikatakan tidak terpisahkan baik dalam bermain, berkelahi maupun sampai memilih sekolah. Kami selalu bertaruh menjadi siapa yang paling hebat, bisa dikatakan kami adalah sahabat sekaligus juga rival.

Dan untuk pertama kalinya kami pun akhirnya tidak akan bersama karena harus mengejar cita-cita kami,

"6 tahun lagi, liat aja gue pasti bakal memproduksi dan membuat anime sendiri." Kata Deny sambil mengepalkan tangannya

"Ngimpi lu? 6 tahun paling lu baru lulus dari sana Den." jawabku sambil menahan tawa kecilku

"Weeets mon maap nih, buat orang pinter kayak gue, cukup waktu sebentar buat belajar, lu lupa? Waktu belajar bahasa jepang aja gue duluan yang bisa kali dibanding lu." Sambil menunjuk kearah dirinya sendiri.

Setelah mendengar itu dari Deny, aku hanya terdiam dan membalas dengan senyuman. Aku masih berpikir, kira-kira kapan aku bisa bertemu lagi dengannya ya? Sepertinya hari-hari ku akan diisi dengan hal-hal yang membosankan.

"Ki... mau bertaruh buat terakhir kali?," kata Deny sambil memegang pundak sebelah kanan ku

"Bertaruh?," jawabku,

"Yups, siapa yang bisa mencapai cita-citanya duluan dia akan menang."

Aku yang mendengar kata-kata itu pun terdiam. Hmmm, apakah dia mencoba menghiburku? Atau memang dia sedang serius? Yah sebenarnya ini sedikit membingungkan untukku.

"Boleh, tapi yang kalah harus mengakui yang menang ya, dan apapun yang terjadi harus nurutin apa kata yang menang, gimana?"

Setelah mendengar aku mengucapkan itu, Deny pun langsung menjawab "Deal!" dengan tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Aku yang melihat itu pun langsung menyambut tangan kanan miliknya, Kini tangan kami pun saling bersalaman, janji telah terukir dan ini adalah pertarungan terakhir kami. Setelah berjabat tangan Deny pun tiba-tiba merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak yang dibungkus oleh bungkus kado,

"Nih.. hadiah buat lu, buka kalo lu lg gabut atau kalo lg kangen gue aja. Tenang itu gak ada kadaluarsanya kok Hahaha."

Jujur saja, aku sangat terkejut ketika ia memberikan hadiah ini, aku saja tidak menyiapkan hadiah apapun untuknya. Yah aku berjanji suatu saat nanti aku akan memberikannya hadiah yang lebih bagus dari ini. Aku pun menerima pemberian darinya dan memasukkan langsung kedalam tasku. Setelah itu aku pun bersiap untuk pulang ke rumah.

Sesampainnya di rumah..

Aku sudah tidak sabar untuk memberi tahu ibuku bahwa anaknya telah berhasil menjadi lulusan terbaik dan mendapat peringkat 1 dalam ujian nasional kemarin. Setidaknya itulah yang biasanya dipikirkan oleh anak-anak normal lainnya.

Sebenarnya hubunganku dengan ibuku bisa dikatakan tidak terlalu baik, semenjak 2 tahun lalu. Awal mulanya dimulai pada saat aku baru saja menginjak kelas 2 SMA, saat itu aku sedang berangkat bersama Deny menuju kesekolah. Namun tiba-tiba saja motor kami diberhentikan oleh beberapa anak SMA 13, mereka berjumlah 8 orang dan menyuruh kami untuk segera menepi, dan kami pun langsung menuruti perintah mereka.

Sebenarnya SMA 13 dan SMA kami (SMA 12) bisa dikatakan memiliki hubungan yang baik oleh karena itu kami pun langsung menuruti saja perintah mereka, namun kali ini dapat terlihat ekspresi mereka seperti sedang marah kepada kami. Setelah kami menepi dan turun dari motor, tiba-tiba saja salah satu anak yang berada di depan kami berlari dan langsung mengarahkan pukulannya kearah kami. Untungnya ketika kami masih SD dulu, aku dan Deny selalu dilatih karate oleh ayahku, bisa dikatakan kami berdua sekarang sudah setara dengan sabuk hitam.

Kami yang melihat pukulan itu pun langsung menghindar dan langsung melakukan serangan balasan kepada para anak-anak SMA 13. Tak butuh waktu lama, kami pun berhasil mengalahkan mereka semua. Deny yang sebenarnya masih bingung apa yang terjadi pun mulai bertanya kepada salah satu anak tersebut,

"Lu pada anak-anak dari SMA 13 kan? Bukannya sekolah kita aliansi? Ngapain pada nyerang kita hah?, mau nyari mati?!"

Mendengar hal itu salah satu dari mereka pun langsung menjawab,

"Kami hanya menjalankan perintah, sebenarnya kemarin pentolan (sebutan orang paling yang paling hebat bertarung) dari sekolah lu ngegodain adik dari kak Dimas pentolan dari sekolah gue, dan karena dia merasa risih karena diganggu terus, adeknya pun gak sadar kalo dia sedikit mengarah ke jalan dan akhirnya tertabrak mobil. Sekarang kondisinya masih koma, bahkan permintaan maaf pun gak ada sama sekali dari pentolan lu."

"Lu yakin kalo itu perbuatan dari anak-anak sekolah gue? Apa lg lu bilang pentolan gue?."

"Ada salah satu sahabatnya yg ngeliat di TKP kok, kalo gk percaya lu tanya aja langsung ke pentolan sekolah lu."

Mendengar hal itu entah mengapa membuat ku menjadi sangat emosi dan marah. Tentu saja, bukankah itu konyol? Apanya yang pentolan? Bertanggung jawab saja tidak berani! apakah ia tidak tau bahwa imbas dari kelakuannya membuat rugi anak-anak lainnya?. Kali ini Aku dan Deny memang tidak apa-apa, namun bagaimana dengan anak-anak lain yang tidak bisa bela diri?. Aku pun akhirnya pergi meninggalkan mereka dan langsung pergi ke sekolah.

Setibanya disekolah aku pun mencari tahu siapa dan dimana orang yang dibilang paling jago itu, ketika aku menanyakan kepada siswa-siswa lain akhirnya aku mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Orang itu bernama Andra, dia ternyata adalah seniorku, badannya setinggi 180 cm dan cukup berisi, sekarang ini ia sedang berada di kelasnya.

Aku pun langsung datang menghampirinya, sepanjang aku berjalan menuju Andra, banyak pertanyaan di dalam benakku saat ini, seperti apakah aku bisa mengalahkannya? Apakah dia benar-benar melakukannya? akupun harus segera mencari tahu jawaban kebenaran dari mulutnya sendiri.

"Maaf ganggu kak, apa bener kakak kemaren ngeganggu anak dari SMA 13, karena isunya dia sekarang masuk rumah sakit"

"Iya, kenapa? Lu pacarnya tuh cewek? Mampus aja tuh cewek, sok jual mahal sih sama gue." Jawabnya dan langsung berdiri tepat dihadapanku

Mendengar hal itu pun aku semakin kesal dan tanpa sadar langsung memukul kearah dadanya (tepatnya di daerah ulu hati), sehingga membuat ia sedikit menunduk, aku pun tak segan-segan langsung melakukan tinju upper cut ke arah wajahnya dan membuat ia langsung terkapar dilantai.

Melihat hal itu, teman-temannya yang berada di belakang dan yang sedang duduk pun langsung berdiri dan mulai melancarkan serangan demi serangan kearahku. Aku berhasil menghindari ataupun menahan 3-4 pukulan, namun karena jumlah mereka yang banyak sangat sulit untuk menghindari semuanya. Aku pun mulai tersudut dan terus menerima serangan demi serangan ke arah wajahku, tak lama Andra pun mulai bangkit kembali dan mulai mendekat ke arahku, ia sudah bersiap mengarahkan tinjunya kepadaku.

Namun ketika ia sudah mengarahkan tinjunya kepadaku, tiba-tiba ia terkena serangan dari arah belakangnya dan ia pun terjatuh kembali. Semua orang terdiam, tanganku masih dalan posisi bertahan untuk menutup muka ku, semua terlihat samar-samar namun ketika orang itu berbicara aku langsung menyadari suara dari siapa itu,

"heee.. Buat lawan 1 orang aja mesti segini banyak?"

Yap dia adalah Deny yang datang membantuku. Melihat ia datang, membuatku kembali semangat untuk mengahajar orang-orang brengsek ini.

Setelah 10 menit kami bertarung, akhirnya kami pun berhasil menumbangkan semuanya, yah walaupun kami pun sedikit kesulitan. Ketika kami mau keluar dari kelas itu pun langkah kami terhenti ketika kami melihat kepala sekolah sudah berdiri di depan kami, dan setelah itu kami semua pun dipanggil ke ruang kepala sekolah. Tak tanggung-tanggung hari itu semua orang tua kami pun ditelpon dan dipanggil ke kesekolah, saat itu ayahku lah yang akan datang ke sekolah.

Setelah 1 jam dari telfon kepala sekolah, para orang tua murid yang dipanggil pun mulai datang satu per satu bahkan orang tua Deny pun sudah datang, namun ayahku tak kunjung datang juga. Hari itu kami semua yang terlibat perkelahian di beri SP1 dan di skors selama 1 minggu dari sekolah, dan dipersilahkan pulang. Namun tidak untukku, karena ayahku masih belum datang. Tak lama tiba-tiba ibuku pun datang dengan raut muka yang sudah pucat, ia pun mulai berjalan ke arah ku dan langsung memberikan tamparan yang keras di pipi kiri ku. Saat itu, aku tersadar bahwa aku telah melakukan kesalahan besar dalam hidupku yang tak akan pernah bisa aku perbaiki. Melihat hal itu kepala sekolah mencoba menenangkan ibuku, sedangkan aku masih terdiam membatu diposisiku.

"Maaf pak, saya sudah mendengar dari pak Toni (ayahnya Deny) dan juga Deny. Saya mohon maafkan atas kelakuan anak saya, kalo boleh tolong izinkan kami pamit sekarang pak. Karena saat ini suami saya masuk rumah sakit, dikarenakan kecelakaan."

Aku yang mendengar itu hanya bisa terdiam dan tidak bisa mengatakan sepatah katapun, mungkin inilah yang biasa orang sebut dengan syok, Aku merasa sekujur tubuh ku seperti tersambar petir kala itu. Ibuku pun langsung menarik tanganku dan meninggalkan kepala sekolah. Kami pun langsung menuju ke rumah sakit.

Ketika kami sudah sampai di rumah sakit, sayangnya ayahku telah menghembuskan nafas terakhirnya, ketika aku sedang perjalanan menuju rumah sakit bersama ibuku. Setelah kematian ayahku, jarak antar ibuku dan aku pun semakin menjauh. Semenjak itu aku selalu melihat ibuku sedih dan bahkan ia tidak pernah mau menatap ke arah wajahku, beberapa kali aku mencoba meminta maaf kepadanya, namun ia hanya diam dan mengabaikanku, sepertinya aku hanya membuatnya tambah sedih.

Oleh karena itu, aku telah berjanji kepada diriku sendiri bahwa suatu saat nanti aku akan menjadi orang yang sukses, dan aku akan menjadi orang yang dapat membuat ibuku bahagia sekaligus bangga kepadaku.