Kematian adalah sebuah takdir yang tidak dapat di cegah. Yang bisa kita lakukan yolani adalah menerimanya dengan ikhlas. Walau terkadang terdapat luka yang masih tersimpan atas kepergian seseorang.
Meski sebagian orang, ada yang bilang kematian adalah awal yang baru dari kehidupan yang lebih baik, tetapi ada juga yang bilang kematian adalah gerbang menuju surga. Keduanya salah. Setelah kematian, seseorang tidak akan kembali hidup lagi, juga tidak pergi ke surga. Mereka, orang-orang yang telah dijemput Sang kematian berada di alam lain, alam penantian panjang hingga Tuhan membuka gerbang untuk mereka.
Setelah selesai melewati kemacetan yang cukup panjang, akhirnya Marvin menghentikan motornya di depan rumah yang pagarnya berwarna putih, yang tidak lain adalah rumah Viona. Macetnya jalanan tadi membuat mereka berdua membutuhkan waktu 50 menit lebih lama untuk sampai dirumahnya Viona. Marvin menoleh kebelakang, ia melihat Viona yang masih tertidur pulas di punggungnya.
" Eh tukang tidur, ayo bangunnn!! Kita udah sampai di rumah lo." teriak Marvin kepada Viona.
Marvin menghela berat, ia mengumpulkan tenaga untuk membangunkan si tukang tidur Viona dengan cepat. Karena sejak tadi Marvin tidak betah kalau kepala Viona menempel ke punggungnya.
" Vionaaa, ayo bangun!!" setelah Marvin menyelesaikan kalimatnya, Viona pun terbangun dari tidurnya.
Viona mengangkat kepalanya dari punggung Marvin dan langsung melepaskan pelukannya. Viona memperhatikan kanan dan kirinya, seperti tidak asing baginya. " Kita udah sampai?" tanya Viona yang masih setengak kantuk.
" Udah dari tadi!" ucap Marvin sembari menahan amarahnya yang sudah sampai puncak.
" Kenapa lo nggak bangunin gua? Jangan-jangan…."
" Udah deh nggak usah mikir macem-macem, meningan lo cepet turun dari motor gw!" hardik Marvin.
Viona pun turun dari motornya Marvin lalu melepaskan helm yang ia pakai. " Nih helmnya." Marvin mengambil helmnya dari tangan Viona dan menggantungkan di motor bagian bawah.
" Makasih ya atas tumpangannya!"
" Iya. Itu mata lo gimana?"
" Udah baikan kok."
Marvin yang melihat rumah Viona berdecak heran, karena semua lampu yang dirumah Viona malah mati padahal langit sudah hampir gelap.
" Di rumah lo emang nggak ada orang?"
" Enggak ada, emang kenapa?" Viona memasang wajah polosnya.
" Emang orang tua lo pada kemana?"
" Kalau Bunda, biasanya pulang malam karena ia harus lembur buat menyelesaikan pekerjaannya yang sudah numpuk."
" Terus kalau bokap lo? Emang dia nggak kerja?"
Viona menghela napas berat, untuk menguatkan dirinya. " Bokap gw udah meninggal, sejak 3 tahun yang lalu."
Karena begitu menyakitkan untuk diingat kembali atas meninggal ayahnya, membuat Viona mulai mengeluarkan air mata. Baginya itu adalah hal yang paling susah untuk dilupakan.
Marvin yang melihat Viona mulai menangis karena pertaannya. Marvin pun turun dari motornya dan langsung memeluk Viona dengan rasa bersalah.
" Maafin gw ya!! gara-gara pertanyaan gw, lo jadi harus mengingat kembali atas kematian bokap lo."
Viona melepaskan pelukannya Marvin, lalu ia menghapus air matanya dengan menggunakan dasi miliknya. " Itu bukan salah lo kok, gw nya aja yang belum…."
" Lo belum ikhlas? Atas kepergian bokap lo?" potong Marvin dengan cepat.
Viona sudah membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Marvin. Namun, Marvin tidak memberi kesempatan untuk bicara. " Viona lo itu harusnya ikhlas, biar bokap lo tenang disana. Lagipula kematian bokap lo itu sudah takdir. Jadi lo harus ikhlas!."
Viona mendengus " Bukan nggak ikhlas, tapi sedih aja kalo diingat lagi."
" Oh. Viona, gw balik dulu ya...."
Marvin membalikkan badanya dengan tersenyum, karena ia malu sudah ngomong panjang lebar ternyata jawabannya begitu. Lalu Marvin menaiki motornya kembali dan segera menyalakan motornya. Saat ia ingin melaju meninggalkan Viona, tiba-tiba pergelanggan tangan Marvin dipegang oleh Viona.
Marvin memoleh ke Viona. " Apa lagi siii?"
Viona melepaskan pegangannya. " Gw mau nanya sesuatu ama lu, boleh enggak?"
" Enggak!!"
" Ok gw anggap boleh!!. Lu tadi ngapain meluk gw?"
" Kenapa? Lo mau bilang gw genit lagi?"
Pertanyaan bernada sinis itu menohok perasaan Viona. " Nggak kok. Gw malah mau bilang terima kasih. Gara-gara pelukan lu, rasa sedih gw ke almarhum ayah, jadi berkurang. Makasih ya…"
Marvin memutar bola matanya malas. " Itu doang? Nggak penting banget si! Mendingan gw pulang dari tadi." Marvin menyalakan motornya kembali, lalu meninggalkan Viona.
" Ish, tuh cowok. Kadang nyebelinn banget rasanya pengen gw bakar. Dan tadi, pas dia lagi peduli ama gw keliatannya manis banget sampai bikin hati gw melting." Viona megigit bibir bawahnya Seraya berjalan menuju gerbang. Kemudian ia membuka gembok yang ada digerbangnya.
***
Sesampainya didepan pintu rumah, Marvin melihat Annasya sedang membaca majalah, tapi Marvin tetap berjalan tanpa menghiraukan kehadiran ibunya yang kini mendongak.
Dahi Annasya mengernyitkan heran, ketika melihat anaknya pulang saat langit sudah gelap. " Marvin, kok kamu baru pulang jam segini?"
Pertanyaan Annasya membuat Marvin harus menghentikkan langkahnya. Padahal ia ingin sekali segera merebahkan dirinya ke kasur, tapi Annasya menghalangnya dengan pertanyaan.
Marvin menoleh ke arah ibunya. " Tadi aku ada urusan bentar Ma."
Sebelum ibunya akan bertanya panjang lebar, tentang kenapa ia pulang malam. Yang pastinya nanti Marvin harus menjelaskan dari awal sampai akhir. Meribatkan.
Akhirnya Marvin memilih untuk cepat pergi, sebelum Ibunya akan bertanya lagi. " Ma, aku ke kamar dulu ya. Mau mandi!!" lanjut Marvin yang langsung beranjak pergi meninggalkan ibunya.
" Eh, Marvin! Mama masih mau bicara sama kamu!." Annasya memekik tertahan.
DRTTDRTTT
DRTTTDRTT
DRTTTDRTT
Deringan ponsel berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Annasya mengambil ponselnya dari atas meja kemudian ia memencet notification yang ada didepan layarnya. Ternyata Annasya mendapat pesan dari salah satu karyawan yang bernama Sabrina.
***
Setelah usai mandi, Marvin langsung merebahkan dirinya ke kasur sembari menghela napas. Bagi Marvin ini adalah hari yang paling merepotkan¸ berbeda dengan hari-hari biasanya.
Marvin melayangkan tangannya ke udara dengan membolak-balikkan tangannya. " Oiya, kenapa tadi gw pegang tangan Viona kaya udah terbiasa ya? Padahal gw kan baru pertama kali megang tangannya, itu pun tepaksa." Marvin memutar bola matanya malas.
" Tapi kenapa? Saat megang tangan Viona sensasinya sangat mirip dengan…." ucap Marvin terhenti saat mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Marvin yakin sekali, kalau yang mengetuk pintu kamarnya adalah Arfan.
Tok…tok…tok…
" Masuk aja Fan, pintunya nggak dikunci kok."
Saat pintu terbuka, ternyata yang mengetuk pintu kamarnya tadi bukan Arfan, melainkan Annasya yang sedang berjalan menghampiri anaknya.
" Eh Mama! Maaf Ma, tadi aku kira Arfan." sapa Marvin dengan cengar-cengir sembari bangkit dari tempat tidurnya dan memilih untuk duduk.
" Iya nggak papa." balas Annasya yang kini sudah duduk disamping anaknya.
" Mama ngapain kesini?"
Marvin mengerutkan keningnya, kenapa Mama datang kekamar ya? Nggak seperti biasanya. Apa Mama masih mau nanya, kenapa aku pulang malam? Apa jangan-jangan, Mama mau nanya siapa perempuan yang aku bawa ke kafe? Kalau bener Mama mau nanya itu, pasti nanti bakal ribet?
Marvin memikir-mikirkan tidak jelas, kepusingan sendiri. Lupakan saja, gimana coba Mama bisa tahu, setahu aku tadi nggak ada Mama, jadi ngapain coba aku harus mikir-mikir yang nggak jelas. Begitu pikirnya.
" Emang kalau seorang Mama dateng ke kamar anak, harus ada alasanya?"
Marvin terdiam, berpikir sesaat. Ucapan ibunya memang benar. Di hati Marvin sangat senang, karena dugaannya dari tadi ternyata tidak benar.
" Cantik ya!! perempuan itu." Annasya memulai pembicaraan dan memecahkan suara keheningan yang hampir ada di antara mereka.
Marvin langsung menoleh ke arah ibunya. " Si..si…apa Ma?"
" Perempuan yang kamu ajak ke kafe. Cantik kan?"
Marvin berdecak heran, kenapa ibunya bisa tahu. Padahalkan ia belum cerita apapun tentang Viona ke ibunya.
Sempat terlintas dipikiran Marvin, kalau yang memberitahu ia membawa perempuan ke milik ibunya, pasti karyawan yang membantu Marvin untuk mencari alat kompres.
" Mama baru tahu, kalau kamu sekarang punya teman perempuan selain Fia. Atau jangan-jangan kamu sekarang udah punya pacar?" tanya Annasya yang masih tidak percaya
" Enggak Ma!!" jawab Marvin dengan nada sedikit tinggi.
" Terus itu perempuan yang kamu bawa ke kafe? Siapanya kamu?"
" Bukan siapa-siapa Ma, cuman anak baru dikelasan aku."
***
Viona memandang wajahnya didepan cermin dengan senyum yang meronah di pipinya. Ia juga mengelus-ngelus lembut matanya yang masih rada bengkak.
" Gw masih nggak nyangka dah, kalau Si Marvin bisa sepeduli gitu ama gw. Apalagi tadi dia juga meluk gw." Pipi Viona semakin merah, tiap kali memikirkan saat Marvin memeluknya. Mungkin sekarang pipinya sudah semerah tomat.
" Ternyata dibalik sifatnya yang dingin, terdapat perilaku yang manis. Kalau di ibaratkan, bagaikan kulkas yang dingin tapi adem."
Viona yang tadinya tersenyum lebar kini menyengernyikan dahi, karena heran. " Ish. Kenapa gw tiba-tiba mikirin Marvin sih? atau jangan-jangan gw suka lagi ama dia?"
" Kayaknya nggak mungkin deh." lanjut Viona sembari menggelengkan kepalanya. " Daripada nanti gw mikirin Marvin lagi, meningan gw tidur aja."
Sesampai ditempat tidurnya, kejadian itu masih terbayang-bayang di pikiran Viona. Dan gara-gara kejadian itu pula, membuat Viona harus bergadang. Karena kejadian itu selalu menghantui pikiran Viona, tiap kali ia mulai memejamkan mata.
" ENTAH MENGAPA. SAAT BERADA DI DEKAPANNYA, HATIKU MERASA NYAMAN DAN DAMAI."