Pagi itu hujan turun dengan deras mengiringi kepergian seorang petugas pemadam kebakaran yang gugur setelah menolong seorang gadis muda yang terjebak di lift dalam sebuah kebakaran yang terjadi diapartemen lantai 17 sehari sebelumnya. Para kerabat dan saudara serta sahabat dekatnya mengiringi kepergian pahlawan itu dengan tangis kesedihan. Ada satu pemandangan menarik dalam acara duka tersebut. Seorang wanita muda yang disebut-sebut sebagai istri dari pria itu, mengucapkan salam perpisahan terakhir pada suaminya bahkan tanpa meneteskan air mata sedikitpun. Dengan wajah tegar sambil menggendong putrinya yang masih berusia 2 tahun yang terus saja menangis, wanita itu menaburkan bunga diatas pusara yang baru saja tertutup gundukan tanah merah. Wanita itu juga sempat menyalami orang-orang yang hadir dalam upacara pemakaman untuk suaminya itu sambil terus mengucapkan terima kasih.
Aku berdiri diantara pelayat yang hadir, mengantre untuk mengucapkan bela sungkawa secara langsung kepada wanita tersebut dan keluarganya. Ketika wanita itu melihatku, dia terlihat terkejut tapi dia berusaha tersenyum menerima uluran tanganku. Terima kasih, bisiknya parau. Aku dapat melihat kesedihan di kedalaman tatapannya yang kosong, namun aku tau dia berusaha tegar untuk putrinya yang masih kecil. Keadaan tidak akan berubah dengan menangis, orang yang sudah meninggal tidak akan hidup kembali. Kita hanya harus menerima kenyataan, dan itulah yang sedang dilakukan wanita tersebut. Menerima kenyataan.