Dua hari berlalu namun kemarahan Leonard tak juga mereda. Ia tetap saja mendiamkan Calista meskipun Calista berusaha mengajaknya bicara. Sikap Leonard ini menunjukkan bahwa ia tak peduli sama sekali pada Calista, padahal yang sebenarnya terjadi ia selalu mengawasi setiap gerak gerik wanita yang sangat di cintainya tersebut hingga kepindahannya ke apartement pun tak luput dari pantauannya.
Tak ingin terus memikirkan Leonard, Calista memfokuskan diri dengan setumpuk dokumen hingga tak menyadari bahwa saat ini sudah waktunya untuk makan siang.
Mendengar langkah kaki mendekat jantung Calista langsung berdegup kencang. Ia yakin bahwa seseorang yang kini berdiri di sebelahnya adalah Leonard. Senyumnya seketika mengembang akan tetapi tak berselang lama senyum bahagia itupun lenyap entah ke mana setelah mendapati kenyataan bahwa semua tak sesuai yang ia harapkan.
"Matius?"
"Kenapa kau tampak terkejut seperti itu, hum? Memangnya kau mengharapkan siapa yang datang ke ruanganmu ini? Jangan bilang kalau tadinya kau mengira bahwa aku ini … Leo."
Mendapati Calista mengacuhkannya, Matius kembali melayangkan pertanyaan. "Apa pekerjaanmu masih banyak?" Bukannya menjawab justru melayangkan tatapan tak suka seolah berkata, kenapa tidak mengetuk pintu lebih dulu?
"Memangnya apa salahnya kalau aku tidak mengetuk pintunya Calista? Leo kan juga biasanya seperti itu dan kau juga tak keberatan."
"Ada perlu apa ke ruangan saya?" Sinis Calista.
"Aku ingin mengajakmu makan siang. Kiara sudah menunggu kita, sepertinya ada yang ingin Kia tanyakan padamu tuh."
Ekor mata Calista melirik sekilas arah jarum jam di pergelangan tangan yang sudah mengarah ke angka 12. Tak ingin membuat Kiara menunggu ia pun bergegas menuju lounge yang langsung di ekori oleh Matius.
"Ku pikir kau tak akan mau datang ke sini Calis."
"Kenapa berkata seperti itu sih? Aku sangat lapar tentu saja aku ke sini. Oh iya, Matius bilang ada yang ingin kau bicarakan denganku. Memangnya hal penting apa yang ingin kau bicarakan denganku Kia?"
Kiara langsung mengunci tatapan Calista, menelisik wajah cantik rekan kerja sekaligus sahabatnya tersebut. Yang di tatap tentu saja merasa tak nyaman sehingga langsung melayangkan pertanyaan. Namun, bukan jawaban yang di terimanya justru balik di serang dengan pertanyaan yang menusuk ke kedalaman hati.
"Kalian bertengkar?" Tanya Kiara tanpa basa basi.
"Tentu saja tidak."
"Jangan percaya Kia. Mereka berdua ini pasti sedang bertengkar." Matius menambahkan.
"Kenapa kau bisa seyakin itu, huh?"
"Tentu saja aku yakin."
"Kenapa kalian ini suka sekali bergosip? Kalau Kiara sih wajar karena dia wanita. Tapi kau." Tatapannya menajam pada Matius. "Kau ini laki – laki tapi mulutmu itu sudah seperti jalan tol saja."
"Kita berdua ini tidak sedang bergosip Calista. Kau mau tahu kenapa?" Jeda sejenak. "Karena kita membicarakannya di depanmu."
"Matius benar."
Kesal, itulah yang Calista rasakan karena ke dua rekan kerjanya ini seperti sengaja menyudutkannya.
"Sekarang katakan padaku, kau bertengkar dengan Leo kan?" Desak Kiara.
"Tidak."
"Tapi aku perhatikan kalian berdua ini tak saling bicara. Leo juga sering marah – marah ga jelas. Benar kan Kia?"
"Kalau gitu kenapa tidak kau tanyakan langsung saja padanya, kenapa bertanya padaku?"
"Sikap Leo berubah sejak melihatmu di jemput kekasihmu waktu itu."
Kiara terperanjat, tatapannya menajam pada Calista. "Oh iya, jadi kamu sudah punya kekasih?"
"Tak perlu kau hiraukan perkataan Matius. Dia itu aneh, suka ngegosip hal – hal yang ga jelas."
"Tapi aku melihatnya sendiri Calis. Tidak perlu sungkan untuk mengakuinya. Btw, Leo kebanting jauh tuh sama kekasihmu."
"Serius?" Tatapan Kiara menajam pada Matius kemudian beralih pada Calista. "Apa bule juga? Sama sepertimu, hum?"
"Kalian ini suka sekali bergosip. Ini di kantor jadi bicarakan hal – hal yang berhubungan dengan pekerjaan."
"Baik Ibu Calista, tapi ini kan masih jam istirahat. Jadi, tak ada salahnya kan?"
Muak dengan tingkah Matius dan juga Kiara, Calista segera beranjak dari sofa.
"Hai, mau kemana? Tunggu sebentar lagi Calis." Kiara coba menahan Calista setelah menangkap sosok Leonard sedang berjalan mendekat.
"Saya duluan yah. Kalian lanjutkan saja ngobrolnya," ketika memutar tubuh, Calista merasakan telah menabrak sesuatu yang sangat keras yang di yakini bahwa ini adalah dada bidang seseorang. Calista segera mendongak untuk melihat siapa sang pemilik. Siluet abu - abu langsung membeliak tak percaya ketika bertatapan dengan sepasang manik hitam yang menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.
"Maaf, silahkan!" Ucap Leonard sembari memiringkan badannya memberi ruang pada Calista. Setelah memastikan Calista pergi barulah mendudukkan bokongnya di sebelah Kiara.
"Ish kau ini, kenapa tak menyapanya? Mau sampai kapan kau bertengkar dengan Calista, hum?" Maki Kiara kemudian tatapannya terpaku pada punggung Calista yang sudah semakin menjauh. "Harusnya kan kau sapa Calista, bukan malah mendiamkannya. Kalian ini kan bukan anak kecil lagi."
"Tak perlu membicarakannya. Apa kau sudah makan siang?"
"Ish kau ini. Bukannya menjawab malah balik bertanya. Dasar menyebalkan. Oh iya, Matius bilang kalau Calista sudah punya pacar, apa kau juga tahu berita itu?" Tanpa menjawab justru melayangkan tatapan tajam pada Matius. Darah Leonard seketika mendidih mengingat kejadian dua hari lalu. Kejadian yang telah memicu keretakan hubungannya dengan Calista.
"Hm, sikapmu ini terlihat jelas bahwa kau sedang cemburu pada Calista. Saranku ya Leo, lebih baik kau cari wanita lain. Jangan menganggu wanita yang sudah berkekasih. Aku tak mau punya teman pewanor."
Matius yang mendengarnya langsung mengerutkan kening. "Apa pewanor?"
"Perebut wanita orang."
"Kalau tidak tahu apa – apa lebih baik kau diam Kia. Ocehanmu ini sudah merusak nafsu makanku," sambil membanting sendok ke piring sehingga menimbulkan suara nyaring.
"Aku kan hanya mengingatkanmu, memangnya salah, hum?"
Nafsu makan Leonard benar – benar hilang sehingga langsung melenggang dari sana dengan dada bergemuruh hebat. Ia merasa menjadi lelaki paling bodoh sedunia. Biasanya dialah yang dominan, yang memegang kendali tapi kini bukan lagi ia yang pegang kendali melainkan Calista Earle Kafeel.
Terhitung sudah 4 hari mereka saling diam. Tak tahan di buatnya Calista pun melenggang menuju ruangan Leonard akan tetapi sang pemilik sudah tak ada di sana. Security memberitahu bahwa Leonard sudah meninggalkan kantor dari satu jam yang lalu. Seketika melirik jarum jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul 07 malam.
Tumben Leo jam segini sudah pulang.
Tak ingin di hinggapi berbagai pikiran buruk Calista segera melenggang kembali ke ruangannya, menenggelamkan diri ke dalam pekerjaan.
"Selamat malam Ibu Calista, apa Ibu mau saya bawakan coffe latte atau menu makan malam?"
"Tidak perlu Pak, terima kasih."
"Kalau begitu saya permisi." Tanpa menjawab hanya mengulas senyum seolah berkata, silahkan.
Terlalu fokus bekerja sampai – sampai tak menyadari waktu sudah semakin larut. Karena tidak membawa mobil Calista memutuskan memesan grab. 10 menit berlalu namun grab yang di pesan tak kunjung datang. Sambil menunggu grab nya datang, ia menyusuri sepanjang jalan dengan berjalan kaki. Mungkin karena sudah larut malam sehingga sepanjang jalan yang dilalui tampak sepi.
Harusnya tadi aku naik taxi saja. Di hotel kan banyak taxi. Oh iya atau aku hubungi saja supir kantor supaya mengantarkanku pulang yah. Calista membatin sambil melirik ke seseliling. Hawa dingin yang mulai menusuk tulang dan juga keadaan yang sunyi sepi semakin mencekam.