Belum sempat Ana menyapanya malah Ana mendapatkan bentakan. Ana kira Diana menelponnya akan menanyakan kabarnya dan Zea. Ternyata tidak, Diana hanya mengomel-ngomel membuat Ana kembali meneteskan air mata.
"Saya masih sibuk mencari uang untuk kamu, jangan ganggu saya. Apa kamu mau tidak mendapat uang jatah dari saya?"
"Hallo, Bunda, ini Ana, hiks," ujar Ana membuat Diana berhenti mengomel.
Ana tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya ketika Zea mendapatkan hukuman terus dari Diana. Walaupun Ana nakal atau berbuat kesalahan, Diana tidak akan menghukumnya, Diana hanya akan memarahinya setelah itu selesai masalahnya. Diana terlalu pilih kasih memperlakukannya dengan Zea.
Siapa orangnya yang mau diperlakukan pilih kasih? tentu semua orang menginginkan keadilan. Tanpa keadilan ada salah satu pihak yang dirugikan. Ana menangis dan berharap kapan Diana akan berubah.
"Ana, kenapa kamu menangis? dimana hp kamu?" tanya Diana. Dari nadanya terdengar dia sangat panik.
"Kak Zea, Bun."
"Zea kenapa?"
"Kak Zea sekarang lagi dirawat di rumah sakit. Kak Zea sakit dan belum sadarkan diri."
Bukannya ikut sedih, Diana justru mengomel lagi. " Sampaikan kepada Zea, cepat sembuh dan jangan lama-lama di rumah sakit. Biaya rumah sakit mahal."
"Ta--"
Tut..Tut...
Panggilan berakhir, Ana segera menghapus jejak air matanya agar tidak terlihat oleh orang lain bahwa dirinya menangis. Secepat itukah Diana menghubunginya. Bahkan Diana tidak menanyakan Zea sakit apa dan kondisi Zea sekarang. Dia terlalu super cuek jika berhubungan dengan Zea, padahal ketika dia mendengar suara isak tangis Ana saja responnya sangat bagus.
Ana tidak tahu lagi apa penyebab hubungan Diana dan Zea hingga sampai seperti itu. Apa karena Diana belum ikhlas terhadap kepergian suaminya? tapi seharusnya dia harus bisa ikhlas karena semua orang akan mati nantinya. Tidak ada yang tahu kapan seseorang akan mati, kecuali Tuhan.
Sudahlah Ana tidak ingin larut dalam masalah Diana dan Zea. Lebih baik dia cepat-cepat pulang ke rumah untuk bisa siap-siap ke sekolah. Ana tidak ingin mengecewakan atas kebaikan Pak Rizqi. Hari ini Ana memutuskan untuk berangkat ke sekolah.
Ternyata benar apa yang dikatakan Pak Rizqi, pagi ini sudah ada tukang ojek yang stay di pangkalan. Ana menghampiri tukang ojek tersebut dan memintanya untuk mengantar ke rumah.
"Pak, tolong antar saya ke Perumahan Asri, block B, nomor dua ya."
"Siap, Dek. Ini helmnya dipakai. Sayangi diri sendiri sebelum menyayangi orang lain, hehehe," ujar bapak ojek.
"Ah, bapak bisa saja. Waktu muda suka ngegombal ya, Pak?" tanya Ana membuat bapak ojek tertawa.
"Hahaha, enggak lah, Dek. cowok yang suka ngegombal mah bikin amit-amit."
"Kok gitu?"
"Ujung-ujungnya jadi kang ghosting, hahaha."
Bapak ojek dan Ana tertawa bersama. Ana jadi tahu mengapa Zea lebih memilih untuk berpisah dengan Zafran dibandingkan tetap bertahan. Kalau tampang Zafran sudah tidak dapat diragukan, ditambah dia dari kalangan orang berada. Cewek matre pasti banyak yang tebar pesona dengannya. Apalagi Zea pernah mengatakan bahwa Zafran suka ngegombal. Mungkin Zea lebih memilih mengakhiri daripada digosthing.
"Ye, bapak sendiri cowok tapi malah membuka aib cowok."
"Bukan membuka, Dek. Lebih baik saya jujur daripada berbohong menyakitkan. Lagian jaman sekarang banyak anak muda yang nabung anak duluan dari pada nikah dan berakhir dengan bunuh diri."
"Iya juga sih, Pak. Kadang suka kasihan sama mereka. Bagaimana nasibnya nanti kalau misal tidak mau bunuh diri?"
"Ya kena mental lah," jawab bapak ojek.
Ana tidak menyangka bahwa bapak ojek nya ini tahu kata-kata anak muda yang lagi hitz. "Widih, bapak tahu semua kata-kata yang lagi hitz di jaman sekarang. Jangan-jangan bapak itu termasuk golongan bapak hitz ya?"
"Ya enggak lah, Dek. Saya golongan manusia bukan golongan obat nyamuk, hahahaha."
"Bapak bisa saja jawabnya. Ayo, Pak, saya takut telat ke sekolah. Jangan terlalu ngebut ya, Pak."
"Siap, Dek."
***
Semenjak mendengar Zea jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit membuat pikiran Diana kacau. Diana bingung mau dapat uang darimana untuk membayar biaya Zea selama di opname. Gaji yang dia dapatkan hanya pas-pasan saja. Akhirnya Diana memutuskan untuk mencari kerja sampingan untuk bisa melunasi buaya Zea.
Sebenarnya Diana tidak tega mendengar Zea sakit. Dia sadar bahwa selama ini dia tidak pernah memberikan kasih sayang tulus kepada Zea, dalam kondisi Zea saat ini pun dia belum bisa memberinya kepada Zea. Dia menyesal karena tidak melihat Zea ketika dirinya akan berangkat ke luar kota.
Diana pikir Zea sedang pergi bersama lelaki yang sering mengantarnya pula. Lagi pula Zea sering pulang terlambat dan itu sudah membuat Diana jengah, padahal Diana tidak tahu apa yang menyebabkan Zea pulang terlambat ke rumah.
Setiap hari, Diana selalu menuduh Zea tanpa menanyakannya terlebih dahulu kepadanya. Dirinya selalu didominasi rasa kesal dan emosi ketika melihat Zea diantar oleh lelaki yang berbeda. Mau ditaruh mana mukanya ketika suatu saat nanti ada tetangga yang menanyakan tentang perilaku Zea.
Diana hanya tidak ingin dianggap orang lain tidak bisa mendidik anaknya. Apalagi anaknya perempuan semua membuatnya harus ekstra hati-hati. Kembali lagi kepada diri Diana, dia seorang yang mudah tersulut emosi.
"Kenapa kamu sakit di saat yang tidak tepat, Zea? sebenarnya Bunda sayang banget sama kamu, tapi Bunda tidak bisa mengungkapkannya langsung."
"Bunda juga ingin hidup normal seperti dulu. Bunda kangen suasana keharmonisan keluarga kita dulu. Maafin Bunda karena selalu meluapkan kekesalan Bunda sama kamu, hiks."
"Kamu anak yang terlahir tanpa mengetahui apapun, tapi Bunda belum bisa menerima kenyataan apa yang terjadi pada diri Bunda. Sejak ayah kamu meninggal, Bunda semakin benci kepada diri Bunda sendiri, Bunda harus mandiri menjalani kehidupan ini dan tanggung jawab Bunda kepada anak Bunda. Bunda juga sudah capek dengan ini semua Zea, hiks."
Memandang foto kecil Zea membuat Diana merasa sangat bersalah. Dia mengajak Zea untuk berbicara walaupun dia tahu bahwa tidak akan ada jawaban darinya karena yang dia ajak bicara adalah foto Zea bukan orangnya langsung. Diana tersenyum getir, cupu banget dirinya ini yang menyandang status sebagai orang tua.
Masalah ini semakin rumit dan entah sampai kapan akan berakhir. Dibalik rasa sayangnya kepada Zea, dia juga merasa terbebani terhadap apa yang menimpa Zea pada saat ini. Diana selalu hanya mendapatkan rasa capek saja tanpa bisa memanjakan tubuhnya di salon. Gaji yang dia dapatkan sering kali hanya dapat digunakan untuk biaya keperluan rumah tangga dan biaya sekolah Zea dan Ana.
"Bunda harap kalian berdua bisa menjadi wanita yang kuat ketika menghadapi kenyataan nanti dan Bunda juga berharap semoga Ana tidak akan merasa jijik ketika sudah saatnya tahu mengenai rahasia ini," ujar Diana lirih sambil memeluk foto Ana dan Zea ketika masih kecil.