Suasana bangun tidur kali ini terasa berbeda. Biasanya disuguhi dengan kebahagiaan, tapi kali ini dengan kesedihan. Pagi ini Ana berniat untuk tidak berangkat sekolah karena ingin menjaga Zea yang sampai saat ini belum siuman. Sebenarnya Ana ingin pulang untuk mengambil beberapa baju ganti selama dirinya menemani Zea.
"Pagi, Kak Zea. Semoga cepat sembuh ya," sapa Ana kemudian mencium pipi kiri Zea.
Mencium Zea adalah suatu momen yang jarang Ana lakukan. Semenjak Zea sering menyendiri, Ana tidak pernah lagi mencium Zea, padahal sejak kecil dia suka mencium pipi Zea sebagai rasa sayang dan bangga sebagai adik Zea. Sejak malam Ana selalu mengajak Zea berbicara walaupun dia tahu bahwa dirinya tidak akan mendapat respon dari Zea. Tak apalah, setidaknya Ana tidak merasa sendiri.
Ana mengambil handphone Zea yang tadi malam dia letakkan di atas nakas. Dia tersenyum getir ketika membuka kunci layar handphone tidak ada satu pun notifikasi dari Diana. Setega itukah Diana kepada Zea? cukup membalas saja membuat Ana bahagia. Ana tidak akan berharap lebih mengenai respon dari Diana karena Ana tahu bagaimana hubungan Diana dengan Zea.
Jari jempol Ana mengusap layar ke atas. Banyak notifikasi dari group sekolah, mungkin biasa urusan kelas atau hanya sekedar bercanda saja. Ana tersenyum ketika melihat notifikasi terbanyak diraih oleh Zafran, yaitu 112 pesan dan 10 panggilan tak terjawab. Ana paham bagaimana sikap Zafran kepada Zea. Sebenarnya Zafran memang masih suka sama Zea, buktinya Zafran mencari keberadaan Zea. Seketika senyumnya luntur ketika melihat satu pesan dari seorang pria bernama Dian. Ana memutuskan untuk membuka pesan tersebut.
Dian
Ana, katanya papa kamu masuk rumah sakit? semoga cepat sembuh.
kedua alis Ana menyatu, dia tidak tahu apa maksud pesan dari Dian. Ana masih ingat bahwa yang mengetahui Zea sakit hanya bapak-bapak yang sedang melakukan ronda malam, tapi mengapa Dian bisa tahu dengan mengatasnamakan papanya? Ana tahu sedikit mengenai kondisi keluarga bapak-bapak yang ikut membantunya tadi malam. Jadi, ada sandiwara apalagi setelah ini.
Pagi buta ini, Ana sudah disuguhkan sebuah rahasia lagi. Ana kira rahasia Zea cukup tadi malam saja tapi ternyata tidak seperti apa yang Ana pikirkan. Apa Zea masih memiliki rahasia besar yang disembunyikan dari Ana? sungguh Ana sangat penasaran apa maksud dari semua ini.
Dokter Andi, Dian, dan papanya. Siapa sebenarnya mereka itu? mengapa dia bisa tahu kondisi Zea. Ana melanjutkan lagi untuk mengetahui notifikasi pesan yang ada di dalam handphone Zea.
"Ana!" panggil seseorang dari belakangnya membuat Ana terkejut.
Ana membalikkan badan dan kembali terkejut. "Loh, Pak Rizqi? ada apa, Pak? ini masih pagi banget loh."
"Ana, hari ini kan kamu berangkat sekolah, sekarang kamu pulang dan siap-siap untuk pergi ke sekolah. Istri Bapak juga sudah menyiapkan sarapan buat kamu. Jangan lupa dimakan ya, cukup Zea yang sakit, kamu harus bersyukur karena masih diberi kesehatan," nasihat Pak Rizqi sambil memberikan bungkus nasi, lauk, dan teh hangat.
"Apa Ana tidak merepotkan, Pak? Kak Zea sendirian dan aku nggak tega membiarkan Kakak aku sendirian di ruang ini."
"Ana, sekolah itu penting, jangan sampai kamu bolos sekolah dan ingat sekolah juga pakai biaya. Apa kamu tidak kasihan sama bunda mu? dia banting tulang sendirian demi keluarga. Sebagai anak seharusnya kamu bisa balas budi kepadanya cukup dengan prestasi. Ingat Ana, kasih sayang orang tua lebih besar daripada kasih sayang anaknya. Bapak mohon , hari ini kamu berangkat sekolah ya," pinta Pak Rizqi.
Ana menggeleng cepat. Mana mungkin Ana akan terus merepotkan orang lain. Setiap orang punya kesibukan dan tanggung jawab masing-masing. "Nggak usah, Pak. Ana hari ini mau libur dulu. Lagian Bapak kan kerja, Ana tidak mau merepotkan Bapak."
"Kerja? Bapak cuma kerja dagang sembako Ana. Lagi pula di sana sudah ada istri Bapak dan karyawannya. Di warung Bapak juga terdapat dua cctv."
Pernyataan Pak Rizqi membuat Ana bimbang. Benar juga apa yang dikatakan Pak Rizqi. Sekolah memakai biaya yang tidak murah. Kapan lagi Ana bisa membahagiakan orang tuanya? umur tidak ada yang tahu. Ana tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini selagi Diana masih hidup.
Terkadang Ana merasa sedih dan tidak tega melihat Diana banting tulang sendirian mencari uang untuk keluarganya. Ana kira Diana sering ditransfer ayahnya, ternyata itu semua kebohongan Diana. Ayahnya sudah meninggal dan tidak mungkin bisa kembali.
Namun, ketika melihat kondisi Zea membuatnya sulit untuk meninggalkan Zea. Kakinya terasa seperti ada magnet yang menariknya untuk terus menunggu Zea siuman. Ana memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya secara perlahan untuk memberikan kekuatan terhadap keputusan yang akan dia ambil.
"Ya sudah kalau itu mau Bapak. Ana nitip Kak Zea ya, Pak. Sekarang Ana mau pulang dulu, mau siap-siap ke sekolah. Nanti kalau Ana sudah pulang, Ana langsung ke sini sekalian mau bawa baju ganti buat di sini."
"Kamu pulangnya naik ojek saja ya. Kebetulan di dekat rumah sakit ini ada pangkalan ojek. Ini uangnya buat kamu."
"Ah, tidak usah, Pak. Ana masih punya uang kok."
"Tidak apa-apa, Ana. Bapak benar-benar ikhlas bantu kamu."
"Kalau seperti itu, uangnya Ana terima ya, Pak. Terimakasih sudah banyak membantu Ana. Sekarang Ana mau pamit dulu," ujar Ana kemudian mencium punggung tangan Pak Rizqi.
Hati Pak Rizqi begitu senang ketika Ana mau menerima bantuannya. Selagi ada uang lebih, Pak Rizqi akan membantu orang-orang terdekatnya. Harta tidak akan dibawa mati karena itu dia menggunakan hartanya untuk membantu orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Sedekah lah yang akan menolongnya di akhirat nanti. Pak Rizqi tidak akan menyia-nyiakan kesempatan selagi masih ada. Lagi pula anaknya cuma satu sehingga biaya hidupnya tidak terlalu banyak.
Pak Rizqi memiliki dua tokoh sembako. Keduanya sama-sama sudah maju, masing-masing tokoh di kelola oleh dirinya dan istrinya. Terkadang anaknya ikut membantu ketika ada waktu luang.
"Hati-hati di jalan, Ana. Jaga dirimu baik-baik dan jangan lupa sarapan dulu sebelum berangkat ke sekolah. Nanti pas mau ke rumah sakit naik ojek lagi saja ya. Kalau tidak ada ojek yang menangkal, kamu bisa pakai ojol atau minta tolong sama anak Bapak. Siang nanti dia tidak ada kegiatan."
Kepala Ana mengangguk pertanda dia paham. Pak Rizqi begitu khawatir karena anak seusia Ana terlalu bahaya untuk lewat di jalan raya sendirian. Banyak kendaraan yang melintas dengan kecepatan tinggi atau bahkan ada sopir yang ugal-ugalan. Apalagi Ana seorang wanita, jaman sekarang banyak kejahatan pembegalan. Masih mending kalau cuma dibegal, bagaimana jika korban pembegalan nya dicabuli sekaligus dibunuh? memang terdengar miris dan Pak Rizqi tidak ingin hal itu terjadi pada diri Ana karena sejatinya wanita itu dijaga bukan dirusak.
"Iya, Pak. Ana pamit dulu, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Saku kanan Ana bergetar ketika langkah kakinya sampai di depan pintu ruang opname Zea. Ana tahu getaran tersebut disebabkan oleh ponsel Zea. Dia segera mengambil ponsel tersebut siapa tahu ada hal penting. Kedua mata Ana membulat sempurna ketika melihat nama panggilan dari seseorang yang sedang dia tunggu kabarnya.
"Hal--"
"Mau apa ganggu saya?!" tukas suara dari ponsel Zea.