Sarapan pagi dengan celoteh Kiano selalu membuat meja makan ramai. Seperti yang terjadi pagi ini. Mereka bertiga sarapan bersama dengan Kiano yang duduk di meja makan bayinya. Anak itu sudah diajari Ayyana bagaimana cara makan meskipun belepotan dan beberapa butir nasi yang jatuh karena tidak pas menyendokkan nasi untuk dimasukan ke mulut. Tapi bagi keluarga kecil itu, Kiano terlihat menggemaskan dan cerdas.
Setelah sarapan pagi bersama Kiano dan Ayyana pergi ke halaman samping untuk duduk di Gazebo taman. Melihat Kiano berlarian dengan langkah lucunya membuat hati Ayyana menghangat. Inilah yang diinginkan Ayyana. Impian Ayyana tentang hidup rumah tangga yang bahagia.
Tanpa disadari, ternyata Liam berjalan mendekat dan memperhatikan interaksi Ibu dan anak itu dari jauh.
"Jangan lari-lari, Sayang!" Perintah Liam pada putranya. Sang putra hanya menoleh dan tersenyum menampilkan deretan giginya yang sebagian terkikis akibat susu botol.
"Nglamun aja, Mom?" Ucap Liam setelah dekat dan mendudukan dirinya di Gazebo.
Ayyana hanya menyengir tak menjawab. "Nglamunin apa, hmm?"
"Makasih ya, Mas?"
"Untuk?" Tanya Liam seraya menaikan sebelah alis tebalnya.
"Untuk 4 tahun kebersamaan kita. Makasih uda ngasih keluarga yang aku impikan selama ini," ucap Ayyana tulus dan menyandarkan kepala di dada bidang suaminya.
Liam tersenyum dan membelai surai hitam lurus Ayyana dengan sayang berlanjut mengecup ubun-ubun istrinya. "Aku yang seharusnya bilang makasih. Uda ngasih keluarga yang lengkap dan bahagia. Semoga kita selamanya seperti ini."
"Aamiin," mereka berdua pun larut dalam kebahagian yang mereka rasakan dengan saling mendekap dan diiringi kecupan mesra sambil sesekali memperhatikan buah hatinya.
***
"Tumben Papi kesini?" Tanya Liam pada Papinya yang mendadak berkunjung ke Golden Subrata Grup.
"Bosen aja dirumah. Papi pikir setelah pensiun dan menyerahkan posisi direktur utama ke kamu tak lantas membuat Papi senang, malah membuat Papi bosan."
"Ya, kalau bosan ya kerja lagi aja, Pi. Tanggung jawab Liam juga berkurang."
"Enggak ... Mamimu bisa ngamuk. Takut penyakit jantung Papi kumat. Lagian setidaknya, saat ini Papi bisa berkebun dan main dengan cucu-cucu Papi," tukasnya dengan meneguk teh hijau yang masih mengepulkan asap.
"Nah ... itu Papi punya kebiasaan baru. Dinikmatin, Pi. Uda waktunya santai lagian Papi juga bisa undang kolega-kolega Papi buat main golf dan berkuda di arena milik Papi ," nasehat Liam.
"Hmm tenang aja... Papi menikmati hidup kok," balasnya santai. "Tinggal mantau kamu, meskipun kamu uda jadi wakil Papi selama 8 tahun dan banyak terobosan dan kemajuan yang kamu buat, tapi tetep Papi pantau," tukas Bratawirya.
Liam yang sibuk dengan laptopnya, menyunggingkan segaris senyum tipis mendengar jawaban Papinya karena Liam tahu betul, Papinya membangun perusahaan ini dari nol dengan perjuangan dan tetesan keringat yang tak sedikit. Jika diibaratkan, perusahaan yang bergerak di bidang industri makanan dan kosmetik ini seperti anak ketiga Papinya.
***
Panas yang terik tak membuat pria dengan manik mata coklat gelap dan rahang tegas yang kadar ketampanannya maksimal itu mengurungkan langkahnya untuk menuju Restoran di Jakarta Pusat. Turun dari mobilnya, Liam merapikan jasnya dan bergerak memasuki Restoran. Seorang pelayan menyapanya ramah, juga menanyakan apakah Liam sudah reservasi apa belum.
"Di sebelah sini, Tuan."
Pelayan tersebut menunjukan arah suatu ruangan setelah Liam mengatakan sudah membuat reservasi atas nama Mr. Ryuzaki. Tiba di ruangan private, Liam dan asistennya sudah disambut oleh Mr. Ryuzaki dengan ramah. Mereka saling berjabat tangan dan tersenyum hangat selanjutnya duduk di kursi masing-masing.
"Maaf saya datang terlambat," ucap Liam.
"Tidak terlambat, hanya saja saya yang datang lebih awal," jawab Mr. Ryuzaki dengan ramah. Meskipun beliau berasal dari negeri sakura, tapi Mr. Ryuzaki fasih berbahasa Indonesia karena pernah tinggal beberapa tahun di Indonesia.
Selanjutnya pelayan datang dan membawa buku menu, mereka memilih beberapa menu yang ada dan selanjutnya pelayan tadi undur diri untuk menyiapkan apa yang telah dicatatnya.
"Jadi apa yang membuat anda hingga membuat janji dengan saya, Mr?" Tanya Liam basa-basi meskipun dia tahu kalau Mr. Ryuzaki tertarik bekerjasama dengannya.
Menampilkan segaris senyum, Mr. Ryuzaki menjawab dengan tenang, "Tentu ada hal yang menarik jika saya mengajak seseorang bertemu."
"Kukira, Anda sedang tertarik dengan produk baru kami tentang ikan laut segar dan beku."
"Saya kagum dengan tebakan, Anda. Baiklah, saya tidak ingin berbasa-basi. Sebelumnya saya sudah bekerja sama dengan perusahan lain untuk menyediakan beberapa ikan yang dibekukan namun tetap kekurangan. Saya tertarik dengan produk, Anda."
Pembicaraan mereka berlanjut dengan kesepakatan yang saling menguntungkan. Dan akan melakukan pertemuan lagi untuk tanda tangan kontrak yang telah mereka sepakati secara singkat. Sesaat kemudian, pelayan datang membawa makanan yang telah dipesan.
***
Waktu bergerak cepat hingga tak terasa mengantarkan Liam pada langit yang menampilkan warna jingga dengan sedikit menyisakan rona kemerahan. Liam mengemudikan mobilnya menuju pinggiran Jakarta menuju rumah orang tuanya.
Meskipun keluarga Liam merupakan keluarga konglomerat, tapi mereka memilih tinggal di pinggiran Jakarta karena dulunya keluarga Subrata ingin membangun rumah yang luas dan besar dilengkapi dengan segala fasilitas yang menunjang olahraga termasuk arena berkuda, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya. Selain itu terdapat jalan-jalan beraspal untuk menuju ke setiap area tersebut. Mereka juga memiliki helikopter pribadi yang berada di belakang rumah yang bisa diterbangkan kapan saja jika ada kondisi darurat. Dan jangan lupakan, banyak pelayan, penjaga keamanan, dan CCTV di setiap sudut untuk meminimalisir hal yang tidak diinginkan.
Setelah satu jam membelah jalanan, Liam sampai di rumah orang tuanya yang langsung disambut pekikan dari putra kesayangannya, siapa lagi kalau bukan Kiano.
"Daddy," teriaknya dengan berlari menuju sang Daddy.
"Haloo sayang," jawab Liam dilanjutkan dengan ia menggendong dan mencium pipi gembil Kiano. Kiano yang geli dengan bulu-bulu tipis yang mulai tumbuh di rahang Liam, tertawa geli dan menjauhkan muka dari Liam.
"Daddy, geyi," ucapnya dengan cadel yang bermaksud mengatakan 'geli' dengan menyentuh dagu sang Daddy agar berhenti mencumi wajahnya.
Mengedarkan pandangannya pada rumah bergaya Eropa dengan banyak kaca, Liam berkata lirih, "Daddy kangen. Mommy mana?"
"Mommy?" Ucap Kiano dengan matanya yang bulat, sejurus itu menyipit terlihat sedikit berpikir sambil mengerjapkan bulu lentiknya."Mommy macak di dapul," jawab Kiano dengan bahasa belum jelas. Namun hal itu malah terlihat menggemaskan di mata Liam.
"Kiano gak bantuin Mommy?"
"Enggak, gak boleh," jawab Kiano polos dan Liam tersenyum melihat itu.
"Masuk dulu, Bang," sahut Mami Liam yang berjalan menuju kearahnya.
"Iya, Mi. Ayyana mana?
"Tuh di dapur," jawab Mami sambil menghampiri Kiano. "Sini sama Oma. Biar Daddy mandi dulu."
Tak menjawab, Kiano menyambut uluran tangan Oma dan berjalan menuju ruang keluarga. Sejurus itu, Liam menuju dapur mencari istri mungilnya dan mengkode Surti yang berada disebelahnya untuk undur diri.