Vie's Pov
Aku menarik nafas ku dalam-dalam mengambil jeda untuk mengumpulkan keberanian menceritakan sebuah kisah yang sebenarnya aku tak pernah menyangka akan di pertanyakan kepada ku. Karena selama ini tak ada yang ingin mengetahui sisi lain dari hidup yang aku jalani hingga detik ini. Aku seperti seorang aktor film profesional yang mampu memerankan topeng ku dengan sangat sempurna.
Flashback on :
Suatu hari ada seorang gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar sedang duduk di bawah pohon rindang yang ada di taman belakang sekolahnya. Gadis itu menatap langit dan tanpa sadar air matanya sudah mulai terjatuh tanpa aba-aba.
Pipi chubby nya basah karena air mata yang terus menerobos keluar dari kedua mata mungilnya. Gadis kecil itu terus mendongakkan kepalanya hanya untuk menahan air yang lama kelamaan mengalir semakin deras membasahi pipinya.
" Aku tak boleh cengeng... Aku adalah anak yang kuat iya aku kuat aku tak boleh menangis aku harus terus tersenyum iya aku ngga boleh keliatan lemah. Air mata please dong berhenti jangan turun lagi aku kan anak kuat kok kamu malah ngalir terus sih ngga mau udahan keluarnya..." - Viana kecil
Gadis kecil itu terus berusaha menghentikan tangisnya yang semakin lama justru semakin menyesakkan dadanya, bahkan beberapa kali tangan mungilnya memukul dadanya untuk mengurangi rasa sesaknya. Hingga pada akhirnya dia menyerah untuk menghentikan tangisnya, menundukkan kepalanya dan membiarkan air matanya mengalir begitu saja. Isak tangisnya masih terdengar, sebuah tangisan yang mampu membuat orang yang mendengarnya ikut merasa pilu.
" Hikz... Kenapa Mama Papa tak pernah melihat keberadaan ku??? Apa salah ku??? Aku nakal di sekolah hanya untuk membuat mereka memperhatikan aku tapi sama saja mereka tidak pernah menganggap aku ada. Hikz... Aku hanya bayangan yang tak akan pernah jadi kenyataan hikz" - Viana kecil
Tak berapa lama suara langkah kaki yang mendekat mulai terdengar dan dengan segera Gadis kecil itu mengusap kasar air matanya menggunakan telapak tangan mungilnya. Langkah kaki yang mendekat itu terdengar semakin keras yang menandakan bahwa jarak mereka sudah semakin dekat.
" Heh anak nakal ayo pulang... Kamu ini bisanya cuma bikin malu Papa Mama. Sampai kapan kamu mau seperti ini??? Apa tak ada gunanya kamu hidup di dunia ini???" - Papa
" Viana kamu dengar tidak??? Kenapa hanya diam saja??? Kamu ini beda sekali dengan kakak mu, contohlah kakak mu, dia itu anak teladan yang berprestasi sedangkan kamu hanya taunya berkelahi saja. Mama malu punya anak seperti kamu ini yang tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu memang tidak berguna tak seperti kakak mu itu, jika saja Mama tau kamu akan tumbuh sebagai anak yang tidak berguna dari dulu Mama gugurkan ketika masih dalam kandungan."
" Pulang kamu bocah tengil, Papa akan menghukum mu..." - Papa
Tangan pria dewasa itu menarik paksa tangan Gadis kecil yang mati-matian menahan air matanya supaya tidak keluar. Tak ada perlawanan sama sekali dari sang Gadis karena dia tau sekuat apapun usahanya akan tetap sia-sia. Gadis itu dipaksa masuk kedalam mobil dan dibawa pulang ke rumah yang menurutnya sangat mirip dengan penjara karena didalam sana terdapat banyak luka.
Gadis kecil itu dibawa masuk dengan cara di seret lalu di dorong kearah sofa, Gadis kecil itu masih berusaha untuk tidak menangis meski sebenarnya dia sangat ingin menangis. Sang Papa langsung mengambil rotan dan mulai memukuli punggung sang Gadis kecil bahkan sang Mama juga mencubit paha nya hingga menghasilkan warna keunguan. Gadis kecil itu menggigit bibirnya untuk menahan jeritan dan air matanya yang sudah siap tumpah.
Tak jauh dari tempatnya, sang kakak sudah menangis sambil menatap iba kearah adiknya yang mendapatkan pukulan dan cubitan di tubuh mungilnya. Deta tidak mampu melakukan apapun selain berdoa supaya orang tuanya berhenti menyiksa sang adik. Dan tanpa sengaja tatapan Viana dan Deta bertemu, bukan tatapan kebencian yang Viana berikan tapi sebuah senyum yang berusaha dia tampilkan seolah mengatakan semua akan baik-baik saja yang membuat air mata Deta justru mengalir lebih deras dari sebelumnya.
Setelah puas melampiaskan kemarahannya, kedua orang tua Viana pergi meninggalkan Viana yang terduduk lemas dengan memar-memar di tubuhnya. Dan saat itu juga Deta berlari menghampiri Viana dan memeluknya sambil terus menangis.
" Dek kenapa kamu bodoh sekali??? Seharusnya kamu mengatakan alasan kenapa kamu berkelahi dengan murid kelas empat itu, harusnya kamu bilang kalau kamu berkelahi hanya demi melindungi aku??? Kenapa kamu tidak menjelaskan kepada mereka bodoh??? Kenapa kamu selalu mengorbankan dirimu sendiri???" - Deta
" Haiiiissss kakak kenapa nangis sih jelek tau... Udah ahhh aku mau ke kamar ya kak. Yang penting kakak baik-baik aja itu udah cukup buat aku hehehe" - Viana
" Kamu masih bisa ketawa disaat kek gini dek??? Apa kamu ngga ngerasa sakit???" - Deta
" Aku baik-baik aja kak. Aku ke atas ya... Daaaa kakak" - Viana
Viana masuk kedalam kamar menguncinya dan memerosotkan tubuhnya bersandar pada pintu kamarnya. Viana menekuk lututnya dan menyembunyikan wajah diantara lututnya, tangis yang sedari tadi coba ia tahan sekarang tak mampu lagi ia tahan.
" Aku bohong kak ketika aku bilang aku baik-baik aja hikz... Aku ngga baik kak sungguh aku tak pernah merasa baik-baik saja... Aku sungguh aku sebenarnya sangat terluka... Tapi aku tak pernah diberikan kesempatan untuk menjelaskan kak hikz... Aku selalu salah meski yang aku lakukan adalah untuk melindungi diri hikz... Salah ku apa kak??? Hikz..." - Viana
Tangisan Viana pecah hingga dia lelah dan tertidur masih dengan posisi yang sama memeluk lututnya sambil menyandarkan punggungnya di pintu dengan lengan yang dia jadikan sebagai bantalan. Waktu berlalu hingga bulan sudah menampakkan wujudnya di atas langit yang sudah nampak menggelap. Karena rasa pegal yang lama kelamaan mulai terasa mengusik tidur Viana yang kemudian membuatnya bangkit menuju kamar mandi.
Gadis kecil itu membuka seluruh pakaiannya melihat pantulan tubuh polosnya di cermin yang memperlihatkan lebam keunguan yang nampak hampir memenuhi setiap inci kulit putih nya. Sesekali dia meringis ketika tanpa sengaja menyentuh lebamnya, tak ingin berlama-lama Viana masuk kedalam bed tube yang telah ia isi dengan air hangat untuk berendam.
" Sepertinya aku harus terus mengumpulkan uang jajan ku jika suatu saat aku sudah tidak kuat dengan perlakuan mereka aku akan pergi meninggalkan rumah ini. Aku tak akan jadi gelandangan jika aku memiliki tabungan" - Viana kecil
Sebagai hukuman karena Viana berkelahi di sekolah dan membuat kedua orangtuanya di panggil oleh pihak sekolah maka Viana tidak akan diberikan jatah makan malam karena itu Viana tidak turun ketika orang tua dan kakak nya makan malam bersama. Viana masih menikmati waktu berendam nya untuk mengurangi rasa ngilu dari luka di tubuhnya itu.
Setelah selesai mandi Viana segera memakai bajunya dan berusaha menutup matanya demi menahan rasa perih di perutnya. Viana belum makan sejak tadi pagi karena bekal makannya dia berikan untuk teman sebangkunya yang berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Hari demi hari berganti Viana kecil sering pergi kerumah sang nenek hanya untuk menghindari bertemu dengan kedua orangtuanya. Neneknya selalu bilang bahwa dia harus menjadi wanita yang kuat, tak ada yang boleh menganggap dia lemah.
Waktu berlalu perlakuan orangtuanya masih sama, memperbandingkan Viana dengan Deta dan lebih mengutamakan pekerjaan mereka dibandingkan Viana. Sedih sudah pasti tapi kata-kata neneknya selalu membuat Viana berusaha terlihat kuat dihadapan orang lain. Tekad Viana mengumpulkan uang jajan membuahkan hasil, dia berhasil membuka sebuah Cafe tanpa sepengetahuan orangtuanya dan karena perkembangan Cafe yang sangat pesat maka dalam beberapa bulan sudah membuka cabang tak berhenti di situ Viana sudah bisa membeli Apartment mewah disaat umurnya saja belum genap 12 tahun.
Viana meminta Andreas Marco selaku orang kepercayaannya untuk mengurus Cafe dan membantunya dalam pembelian beberapa properti. Sebenarnya Viana juga merupakan murid berprestasi hanya saja orangtuanya tidak pernah mau melihat rapor Viana sejak dia masih kelas satu di bangku Sekolah Dasar. Mereka selalu mengatakan Viana bodoh padahal dia murid paling pintar satu angkatan bahkan Viana sering mewakili sekolah dalam beberapa perlombaan dan ketika menang Viana hanya akan bersikap biasa-biasa saja karena orangtuanya pun tak akan pernah melihatnya sama sekali.
Hari itu Viana pulang sedikit terlambat karena harus mengerjakan tugas kelompok di rumah Dira salah satu teman sekelasnya. Begitu sampai rumah Viana yang baru masuk di kejutkan dengan suara Papanya yang terdengar sangat penuh dengan kemarahan. Sebuah tamparan keras diiringi dengan kata-kata yang menyuruhnya untuk pergi dari rumah dan tidak boleh kembali membuat Viana yang tidak tau apa-apa masih syok.
" Baiklah Viana akan pergi maaf selalu menjadi beban kalian dan semoga setelah aku pergi keluarga ini akan baik-baik saja." - Viana
Viana pergi menuju ke apartment nya, di dalam hati Viana sedikit bersyukur setidaknya dia tidak menjadi gelandangan sekarang meski dia sudah di usir dari rumah tanpa mereka mau mendengarkan penjelasan. Ahhhh hal itu sudah biasa mereka tak akan pernah mau memberikan ku kesempatan untuk menjelaskan jadi ya sudah mungkin ini jalan yang harus Viana lalui. Ada rasa sakit yang coba Viana tahan dengan kenyataan yang harus dia jalani tapi dia harus kuat dan tidak boleh ada yang boleh menganggap dia lemah.
Flashback off :
Tanpa terasa air mata mengalir membasahi pipi, aku sangat berharap orangtuaku mau melihat ku sebagai diriku meski hanya sesaat. Aku tak pernah membenci kak Deta tapi aku justru merasa kasihan karena kak Deta dijadikan boneka yang harus mau menuruti apapun keinginan Mama Papa.
Vie : " Itu yang telah aku lalui hingga aku bisa berada disini sendirian, aku tak pernah punya keberanian untuk pulang. Aku sama sekali tidak pernah diberi kesempatan untuk sekedar menjelaskan. Semua alasan itu selalu tersimpan dan biar hanya aku yang tau, aku menyayangi mereka karena itu aku tak pernah kembali supaya mereka tak perlu repot-repot memukuli aku. Aku hanya bisa melihat kak Deta dari jauh karena kakak ku tidak pernah diijinkan untuk mencari ku. Aku sering diam-diam menyamar sebagai orang lain hanya untuk bertemu dengan kakak ku tanpa membuat dia terluka. Aku harus menyamar karena jika orang suruhan Papa tau kak Deta bertemu dengan ku maka pukulan yang biasanya diberikan untuk ku akan dia terima dari Papa. Aku tak ingin kakak kesayangan ku merasakan apa yang aku rasakan, jika harus ada yang sakit biar aku jangan orang lain. Selama ada aku tak boleh ada orang yang merasa sendirian, begitupun kamu Riz. Jangan pernah berfikir akan berjuang sendirian karena aku akan ada di samping mu, membantu mu berdiri kembali ketika kamu jatuh, memberikan kekuatan disaat kamu merasa rapuh, dan aku akan berusaha melindungi mu dari luka. Kita hadapi dunia bersama tak peduli seberapa sering kita jatuh, tak peduli seberapa banyak luka yang kita dapat tapi mari sama-sama berjuang untuk tetap bangkit dalam keadaan apapun."
Ririz : " Bukankah tidak adil jika kamu menerima semua perlakuan mereka tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi???"
Vie : " Bahkan terkadang hidup dan takdir bergerak secara tidak adil hehehe..."
Ririz : " Apa kamu tak pernah berusaha memberontak???"
Vie : " Aku juga melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan. Ada titik dimana aku benar-benar sudah tidak mampu menahan sesak didalam dada ku hingga aku memutuskan untuk mabuk-mabukan saat awal-awal aku di usir tapi lama kelamaan aku sadar semua itu tak membantu mengurangi rasa sakitnya. Jadi yang bisa aku lakukan adalah berdamai dengan rasa sakitnya dan menikmati setiap proses nya. Ketika aku mulai merasa lelah aku akan berhenti untuk sekedar istirahat bukan berhenti karena menyerah. Saat ketika aku merasa lemah maka aku akan berusaha mencari alasan untuk kembali kuat. Dan jika aku merasa hancur maka aku akan membantu orang lain yang sama hancurnya dengan ku untuk mengajaknya membangun lagi serpihan itu hingga utuh. Aku sudah kehilangan hal yang sangat berarti dalam hidupku, setidaknya sekarang aku punya tujuan baru untuk tidak membiarkan siapapun menjadi sama hancurnya dengan aku yang dulu. Aku hanya ingin membuat hidupku ini menjadi memiliki arti dan bermanfaat untuk orang lain, aku tak ingin apa yang dikatakan orang tua ku menjadi kenyataan. Aku tak ingin hidupku sia-sia tanpa bisa melakukan apapun."
Ririz diam tapi aku tau air matanya ikut mengalir membasahi pipinya sama seperti yang terjadi kepada ku. Aku menangis untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku memendam rasa sakitnya. Sungguh aku hanya berusaha berpura-pura kuat hingga aku melupakan bahwa aku sedang berpura-pura. Aku sudah berdamai dengan rasa sakit itu, tak ada dendam yang tersimpan untuk keluarga ku. Aku hanya ingin terus berusaha berjuang untuk hidup ku kedepan, aku ingin menjadi seseorang yang disyukuri keberadaannya.
Aku menarik Ririz kedalam pelukan ku, sambil mengusap punggungnya perlahan untuk membantu menenangkannya. Isak tangisnya masih terdengar namun perlahan mulai mereda aku menatapnya memberikan senyum terbaik yang aku punya sambil membelai lembut rambut panjang nya.
Vie : " Jangan pernah menyerah ya, mari berjuang bersama. Mari buktikan pada dunia jika kita masih mampu berdiri disaat kita baru saja jatuh, mari buktikan jika kita masih mampu menaklukkan takdir kita. Rasa sakit jangan sampai membuat kita menyerah begitu saja."