Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Guardian of Heathfield

kojimamiharu
--
chs / week
--
NOT RATINGS
11k
Views
Synopsis
"Namaku Jasmine, Jasmine опекун. Atau jika kalian membingungkan pelafalannya, kalian bisa memanggilku Jasmine Heathfield. Agak susah dinalar, bagaimana seorang keturunan Rusia-Jepang-Palestina bisa berada di sebuah perumahan tengah kota Jakarta. Namun percayalah, lambat laun kalian akan mengerti." Keluarga Heathfield telah menjalankan misi dalam kurun waktu ribuan tahun. Dengan darah keturunan dan budaya yang kental, tak ada satu anggota keluarga yang lepas dari tanggung jawab untuk melaksanakan tugas mulia, melindungi klan manusia dari perusak keseimbangan. Jasmine bukan seseorang yang bodoh, namun sikap terlalu percayanya dapat membuatnya dalam masalah. Terutama di fase kehidupan ini, ketika dia harus memastikan 4 bersaudara laki-laki yatim piatu, yang bertabrakan tali nasib dengan keluarganya, untuk bergabung dalam jaringan keluarga Heathfield. Tapi ajakan itu tidak akan mudah jika mengingat kekeraskepalaan Arya, ketidakpercayaan Haykal, kata sinis Putra, serta trauma Nata. Bagaimana cara Jasmine mengatasi hal ini? Menginap di rumah empat bersaudara dan berusaha mengambil hati mereka perlahan-lahan? Sepertinya hal itu tidak akan terjadi. Iya kan?
VIEW MORE

Chapter 1 - Jakarta

Namaku Jasmine, Jasmine опекун. Atau jika kalian membingungkan pelafalannya, kalian bisa memanggilku Jasmine Heathfield. Dua bahasa yang berbeda, namun memiliki arti sama. Guardian, penjaga. Rumahku nun jauh di sana, di sudut desa Westernborough, kota Sussex, Inggris. Dan saat ini, aku sedang berada di sebuah perumahan kelas menengah di Jakarta Timur.

Agak susah dinalar, bagaimana seorang keturunan Rusia-Jepang-Palestina bisa berada di sebuah perumahan tengah kota Jakarta. Namun percayalah, lambat laun kalian akan mengerti.

Aku keluar dari taksi, mata mencoba menyesuaikan cahaya pasca penerbangan London-Jakarta. Saat ini pukul 2 siang Waktu Indonesia Barat, artinya baru pukul 8 pagi di London. Sudah 16 jam aku terperangkap dalam kabin, yang meskipun berkelas eksekutif, tetap menyesakkan mengingat teman satu kabinku selalu berusaha memulai pembicaraan. Ketika pesawat baru mendarat, aku langsung melesat mengambil tas dan berlari menuju tempat penjemputan, diam-diam bersyukur karena memutuskan untuk tidak membawa koper Rimowa yang sempat kutimbang untuk perjalanan ke Indonesia kali ini. Tapi aku tidak akan mengambil resiko, orang dengan mata jeli dapat dengan mudah mengenali dan memperhatikanku dengan teliti. Dan menarik perhatian di bandara internasional, adalah satu hal yang paling aku hindari untuk menyelesaikan misi ini.

Beberapa hari yang lalu, ayahku, kepala keluarga besar berdarah Rusia-Jepang, memanggilku ke ruang kerjanya. Hanya butuh satu detik bagiku untuk sadar bahwa panggilan ini bersifat formal, untuk melaksanakan misi keluarga yang selalu berbeda setiap saatnya, dan mengalir dalam darah penguasa panggung belakang dunia. Aku sudah menerima berbagai misi semenjak kecil, dan yang terbaru, mengikuti perkuliahan mahasiswa kedokteran di Oxford untuk bergabung dalam tim Phi Betta Kappa, memastikan seseorang mendapatkan penghargaan Nobel untuk Ilmu Kedokteran. Berdasarkan intel dan algoritma probabilitas kami, orang ini akan membantu menyelesaikan wabah virus dunia, yang akan menyebar 7 tahun lagi. Dan aku membantu risetnya agar lolos uji. Aku cukup menikmati misi itu, karena di sana aku bisa berpura-pura menjadi seorang gadis Palestina yang mendapatkan beasiswa, membuatku dekat dengan beberapa teman satu aliran sufi, merecharge pikiran dan pandangan hidupku. Sedangkan untuk misi ini, aku tidak yakin.

Ayah menyuruhku merekrut 4 yatim-piatu di kota Jakarta untuk masuk ke organisasi nirlaba kami. Empat bersaudara ini tinggal di rumah sederhana, setelah kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan kapal 8 tahun silam. Kapal yang membawa hasil ekspor-impor kayu jati berkualitas tinggi asli Kalimantan ini tenggelam di Samudera Pasifik, setelah tertampar badai monsoon bulan Agustus. Menjadi kuburan bagi 75 awak kapal, barang antik meksiko, serta kedua orang tua mereka yang memutuskan untuk ikut berlayar, memastikan perdagangan berjalan baik karena pada saat itu, permainan pasar amat ditentukan oleh orang yang diajak bertransaksi. Nahas, keuntungan luar biasa yang mereka dapatkan tidak bisa sampai ke tangan anak-anaknya, yang terpaksa harus menjual semua aset yang ada, demi membayar uang duka kepada keluarga awak kapal dan utang perusahaan.

Melihat resume mereka, alisku menyatu, empat bersaudara ini hampir sebaya denganku. Putra sulung mereka, saat ini berusia 28 tahun, menghidupi adik-adiknya dengan bekerja di Kantor Perbankan, sementara putra kedua, 24 tahun, bekerja freelance di rumah menjadi administrator hosting salah satu perangkat pencarian terbesar di dunia. Putra ketiga, berusia 19 tahun, sedang menjalani kuliah kedokteran dengan beasiswa pemerintah di salah satu universitas terkenal Indonesia, dan yang paling kecil, 10 tahun, masih kelas 3 di SD dekat perumahan tempat tinggal mereka.

"Papa," panggilku

"Apa yang menarik dari resume mereka? Sepertinya mereka sudah hidup nyaman karena kedua kakak pertama sudah bekerja, putra ketiga mendapatkan beasiswa, putra keempat memang masih kecil, tapi dia sudah punya 3 kakak laki-laki dewasa yang bisa menjaganya. Apa ada yang belum kuketahui?" mendengar pertanyaanku, ayah tersenyum sedih.

"Glyka mou (cintaku, bahasa Yunani), papa berutang budi kepada mereka" desahnya sembari menautkan kedua punggung tangannya di bawah dagu, gestur khas ayah ketika sesuatu mengganggu pikirannya, atau sebuah masalah serius sedang terjadi.

"Merekalah yang membantu menemukan Mommy-mu, ketika terjebak di San Fransisco, 8 tahun yang lalu"

Otakku memutar kembali ingatan saat aku berusia 14 tahun. Waktu itu aku sedang berada di Austria, mengikuti sebuah kompetisi violin tingkat internasional. Kakakku, Aleks, mengantar ibu menuju San Fransisco untuk menyelesaikan misinya sebelum menjemputku usai pertandingan. Tak lama setelah itu, kami mendengar kabar melalui pelayan keluarga yang ditugaskan untuk menjagaku, bahwa ibu kehilangan kontak. Semua intel terbunuh, dan satu-satunya petunjuk yang kami miliki adalah bahwa ibu kami masih hidup, sempat mengirimkan satu sinyal darurat kepada ayahku yang sedang berada di Tokyo. Pada saat itu juga, keamanan ditingkatkan menjadi level IV, semua anggota keluarga inti dipaksa kembali ke markas besar (rumah kami), di Westernborough. Aku tak henti menangis membayangkan kemungkinan apa yang bisa terjadi kepada ibu. Misi-misi kami selalu berbahaya, dan tingkat kesusahan tertinggi selalu ditangani oleh keluarga inti—Ayah, Ibu, Kakak dan aku. Ketika ibu menghilang, saat itulah aku yakin ibu tak akan selamat. Karena sistem kami selalu bisa bekerja untuk mendeteksi siapapun, bahkan orang yang sedang berada 20km dalam tanah.

Ketika kami amat gelisah, menunggu kabar ibu selama berhari-hari, ayah yang turun langsung dalam pencarian kembali ke London di hari ke-6 semenjak menghilangnya ibu. Baru pada saat itu aku mengetahui bahwa darah keluarga ibu yang berasal dari Palestina, memiliki masa lalu kelam dengan penguasa tanah Israel yang saat ini sedang tinggal di Amerika. Kedatangan ibu ke basis intelnya di San Fransisco memantik pertarungan dan keributan distrik yang melibatkan jumlah kematian yang besar di kedua belah pihak. Ibu selamat karena menumpang kepada sebuah kapal Indonesia, tepat saat kapal itu siap berangkat bersamaan dengan kapal milik Inggris, berkenalan dengan pemiliknya, dan dijemput ayah saat bersandar di Pelabuhan Portland. Musuh-musuh ibu mengejar kapal Inggris, menyabotase, dan membabi-buta membunuh semua awak kapal ketika sadar bahwa mereka menargetkan kapal yang salah. Dan ibuku, dalam kondisi tubuh babak belur mempertahankan diri, diselamatkan oleh pemilik kapal asal Indonesia, bernama Sri Ningsih dan suaminya, Arief Prasetyo.

Tanpa aku ketahui, ayah berterima kasih dengan cara membantu perpajakan serta menelpon semua relasi bisnisnya di semenanjung Canada, Rusia dan Jepang. Membantu melancarkan bisnis ekspor-impor keluarga ini, sekaligus memastikan adanya kerja sama lanjutan untuk masa depan perusahaan. Sayangnya selepas Laut Cina Selatan, kapal ini karam, meninggalkan keluarga yang berduka, tanpa tahu letak pasti tenggelamnya pasca badai besar yang datang sebelum tsunami Jepang.

"Papa mencoba mengontak mereka beberapa bulan setelah peristiwa itu, namun ada seseorang yang amat pintar, menghapus jejak digital keluarga mereka, dan memastikan nama mereka diganti. Tidak ada jejak sama sekali, yang ada hanya ingatan Mommy-mu tentang nama kapal serta nama asli mereka. Saat itu, keadaan belum memungkinkan bagi kita untuk mencari mereka. Ada banyak misi lain yang jauh lebih penting untuk diselesaikan. Dan sekarang, 8 tahun sudah semenjak mereka meninggal, sudah saatnya kita membalas budi."

Aku terbelalak mendengar kisah ini. Bila demikian, misi ini amat penting, dalam usaha untuk menyampaikan bela sungkawa, sekaligus membayar kebaikan mereka untuk menolong ibu. Ayah tidak menunjuk kakak, meski kakak sudah lama tidak mendapatkan misi, dan memintaku, yang baru saja lulus ujian dokter untuk melakukannya. Artinya misi ini tidak boleh diketahui oleh anggota keluarga yang lain, karena tidak ada yang tahu hubungan keluarga ini dengan keluarga kami. Sejenak kulihat perusahaan nirlaba yang ayah rancang untuk mereka tangani, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang sosial, dimana fungsinya adalah menyekolahkan anak-anak tidak mampu dengan sistem beasiswa sukarela. Gaji yang ditawarkan untuk posisi mereka tiap tahunnya melampaui gaji kepala perusahaan lokal di Inggris.

"Empat anak ini pindah dari Surabaya, saat ini tinggal di Jakarta, sebuah perumahan kecil, tanpa keluarga lain. Jemputlah mereka, dan bila mereka bersedia, atur segala serah terima perusahaan, dan pastikan tidak ada yang melacakmu, nak. Waktumu 6 bulan. Pergilah menemui Mommy-mu untuk berpamitan."

Aku mengangguk, memeluk ayah dengan erat, merasakan keletihannya memikirkan segala macam hal untuk keluarga kami. Kukecup pipinya, dan segera kubereskan barang-barang pribadi yang kubutuhkan, sebelum berangkat ke Paris dan Moscow, untuk mengabarkan ibu dan kakakku akan ketidakhadiranku di rumah selama 6 bulan ke depan. Aku akan merindukan London.