Chereads / Guardian of Heathfield / Chapter 3 - Cerita Tersembunyi

Chapter 3 - Cerita Tersembunyi

Ruang tamu rumah ini lumayan nyaman, meski aku bisa melihat tumpukan debu dan beberapa pakaian di setiap sudutnya. Sirkulasi ruangannya baik, meski sinar matahari tertutup oleh tirai tebal dan pintu yang nampaknya selalu ditutup. Mencoba membersihkan beberapa mainan dan barang dari sofa, sementara Adriel membawa Samuel masuk. Anton mempersilahkanku duduk dan tanpa basa-basi, setelah membanting badannya di sofa seberangku, Robin menginterogasi dengan berapi-api.

"Nah, mbak tahu darimana nama orang tua kita, apa bener nyarinya di kantor pusat google, padahal harusnya data itu sudah saya hapus dari lama. Dan saya tadi juga udah memastikan bahwa database itu nggak akan bertahan lebih dari 3 tahun setelah saya hapus, karena sudah saya sistem pakai hapus permanen. Jadi gimana mbak bisa tahu? Mbak ini yang punya google?" cecarnya. Aku tahu, sebutan mbak di sini berarti 'sis' atau kakak perempuan di pulau Jawa. Oleh karena itu bisa langsung kupahami pertanyaannya dengan jelas.

"Nah, tunggu dulu, Robin" potong Anton. Tatapannya kuat menyelidikiku meski ditutup dengan senyumnya yang ramah.

"Sebelumnya saya ingin bertanya dulu, nama nona siapa, sepertinya kita belum berkenalan." Anton menjulurkan tangannya, yang langsung kubalas.

"Panggil saya Sizuka, saya terbang ke sini dari Jepang, untuk menyampaikan pesan dari Papa saya."

"Silahkan, kami mendengarkan," ujar Anton sembari melingkarkan jari tangan kanannya di dagu. Gesturnya membuatku yakin, apapun yang dilakukan oleh Robin a.k.a Haykal, diawasi dan diatur penuh oleh kakaknya yang tertua.

"Baik, terima kasih banyak atas kesempatannya. Tuan Anton, atau Mas Arya" ia agak berjengit tetapi berhasil menenangkan sorot matanya yang tiba-tiba menggelap.

"Delapan tahun yang lalu, orang tua tuan, almarhum bapak Arief dan ibu Sri Ningsih, telah menyelamatkan ibu saya dari kejaran musuh-musuh kami.

"Pada saat itu di San Fransisco, kapal perusahaan orang tua anda, Mutiara Timur, sedang berlabuh di pelabuhan untuk mengisi bahan bakar dan siap untuk berlayar kembali, ketika ibu saya, dalam kondisi berdarah-darah dikejar oleh sekelompok orang bersenjata dari seberang Golden Gates. Ibu kelelahan, setelah 3 hari bersembunyi dan bertarung, dengan penjaga yang mati satu per satu di tangan penguasa San Fransisco dari tanah Israel, David Aronoff, yang telah sekian lama mengincar ibu saya.

"Di ujung pelabuhan, ibu memutuskan melompat ke lautan, tak peduli dengan adanya kemungkinan dimakan hiu, karena tertangkap musuh, artinya siksaan yang tak akan bisa ditanggung. Beruntungnya, seorang wanita yang sedang berdiri di pinggir buritan, melihat hal ini, dan meminta tolong kepada awaknya untuk melempar ringbuoy dan menolong wanita malang ini."

Hari itu berjalan buruk bagi Arief Prasetyo, rencana mereka untuk mengirimkan meubel ke San Jose terpaksa harus dibatalkan karena petugas pelabuhan melanggar perjanjian awal dengan meminta terlalu banyak pajak bongkar muat. Dengan permintaan bagi keuntungan sebesar 50%, perusahaan mereka akan rugi besar dan tak akan mampu membayar gaji awak kapal yang ada. Oleh karena itu Arief mencoba peruntungan lain, menurunkan barang di Portland, tempat dimana rekan kerja yang dia percaya menyanggupi bongkar muat kapalnya sesuai dengan kesepakatan.

Sri Ningsih, istrinya, membesarkan hati sang suami.

"Sudah nggak apa-apa mas, toh namanya juga ikhtiar. Saya tadi sudah mengontak Francis, pengacara kita bilang lebih baik tidak main-main dengan pegawai pelabuhan San Fransisco, karena beberapa kelompok orang-orang dunia bawah terlalu memiliki kekuasaan di sini. Semoga nanti di Portland, Chou Kyun Fat bisa memberi kita harga yang wajar sesuai perjanjian." Ujar Ningsih sembari memijat-mijat bahu Arief. Suaminya tersenyum lembut.

"Iya ning, semoga saja demikian. Lintah-lintah darat ini tidak ada yang punya prinsip dan moral. Kita harus kuat demi putra dan putri kita ya," Arief memeluk Ningsih dan mengelus perutnya yang mulai buncit. Sri Ningsih tertawa gurih.

"Iya mas, masa gini aja takluk. Kan ini tujuan kita ikut langsung pelayaran kapalnya, biar sekalian bisa mengatasi masalah-masalah gini, membantu nahkoda. Sampai-sampai melawan mabuk hamil nih demi menemani bisnis suami hahaha"

"Ning, mas berubah pikiran… Gimana kalau kamu naik pesawat saja, nanti mas aja yang akan mengurus kapal ini sampai Portland. Mas nyusul Ning pulangnya nanti gimana? Biar ning nggak kecapekan di lautan." kening Arief berkerut. Istrinya bersikeras tetap melanjutkan pelayaran meski baru saja mengonfirmasi kehamilannya di dokter kapal. Janinnya sudah berusia 10 minggu.

Anton termenung mendengar ceritaku. Aku menyampaikannya sesuai dengan cerita ibu, ketika kudatangi di Paris kemarin pagi. Robin tampak tenggelam dalam pikiran, mencoba mencerna cerita yang belum terungkap selama delapan tahun terakhir.

Aku menyembunyikan fakta bahwa ayahku berasal dari London. Tidak ada yang boleh tahu markas kami. Dan menggunakan nama Jepang keluarga kami untuk misi ini.

Anton mendesah panjang, lalu bertanya dengan tatapan yang mulai melunak,

"Lantas, apa yang Papamu, bapak Akihito ingin sampaikan kepada kami?"

Aku mengeluarkan tabku, membuka mekanisme kunci pupil, sidik jari beserta suhu tubuh, dan password yang selalu berganti tiap dibuka, kemudian menunjukkan softfile perusahaan nirlaba papa.

"10.000 poundsterling tiap bulan? Dan itu hanya gaji pokok tanpa tunjangan?" Anton terjerengat kaget. Robin yang awalnya hanya melongo, buru-buru melihat layar tabku dan matanya yang selalu tampak ketus, melebar luas seperti anak kecil melihat cokelat.

"Ya." Jawabku tegas

"Beserta asuransi jiwa, kesehatan dan properti yang terjamin setiap tahunnya. Untuk Adriel dan Samuel, terdapat asuransi pendidikan yang bisa dipakai sampai umur 22 tahun…"

Dapat kulihat pemikiran Anton berputar cepat. Kusadari, delapan tahun terakhir sangat mempengaruhi hidupnya. Bahunya kokoh untuk menanggung ketiga adiknya, alisnya dalam, penuh dengan pertimbangan. Ia sudah berusaha keras menjadi tulang punggung dan menjaga kesejahteraan keluarganya. Pada saat orang tuanya meninggal, ia masih berkuliah di salah satu univeritas terkemuka Surabaya. Kehilangan penopang keluarga, ia terpaksa bekerja sampingan sembari memastikan kuliah serta sekolah adik-adiknya tidak terganggu.

Setelah beberapa lama, Anton menurunkan tabku. Dengan menundukkan pandangan, (ia seperti sedang berdoa), Anton mengangkat kepalanya dan kulihat kembali ketegasan dari kedua bola matanya.

"Mohon maaf, kami tidak bisa menerima tawaran ini." Jawabnya sambil tersenyum. Robin yang sibuk mengambil alih tab membelalak.

"Bro! Mas! Eh, mas, ini serius lho mas. Kita cuma cukup jadi CEO, sama Divisi Programming, terus gaji kita udah jauh dari mencukupi buat kita satu keluarga, bahkan bisa-bisa melebihi pendapatan kedua orang kita dulu. Coba dilihat lagi mas, ayo.." Robin memohon-mohon bersimpuh di kaki kakak pertamanya.

"Haykal Prasetyo, bangun."

Instruksi singkat kakaknya menggunakan nama asli cukup untuk membuat Robin berhenti merengek dan duduk jerih menatap kakaknya. Anton mengalihkan pandangannya kepadaku.

"Sebelum nona benar-benar menyampaikan tujuan nona di sini, saya tidak akan menyetujui apapun." tegasnya.

Aku tersenyum senang, untunglah orang di hadapanku ini tidak sedangkal yang kutakutkan. Aku tidak mau menaruh orang yang tidak tajam terhadap semua permasalahan dalam salah satu perusahaan yang akan sangat berpengaruh bagi jalannya keluarga kami ke depannya.

"Baik, dengan senang hati.

"Tapi sebelum itu, tolong matikan kamera yang ada di kolong meja tamu ini, serta kamera taman dan pojok pagar luar gerbang."

Saat ini, kedua bersaudara, Anton dan Robin yang terkejut.