Pria bernama Garvin itu masih memandang dengan kening mengernyit pada James. Sedangkan James masih menyengir jahat dengan sebatang rokok diantara sela jarinya.
"S-siapa kamu?" Garvin masih bertanya dan James tergelak kecil menggelengkan kepala.
"Aku James Harristian. Masih ingat padaku?" Garvin langsung tersenyum dan mendekati James.
"James... kamu James?" James tak bergeming ia masih memandang saja pada Garvin.
"Kamu kemana aja?"
"Oh, kamu tanya aku kemana! Tidak salah... bukankah kamu yang sudah membuat Ayahmu mengusirku ke panti asuhan!" balas James setengah menghardik. Garvin nampak menyesal. Ia lusuh tak terurus dengan pakaian kotor dan sobek.
"Aku bukan anak kecil yang sering kamu jahili dulu," tambah James lagi.
"Aku minta maaf... aku tau aku sudah sangat bersalah padamu dari dulu. Gara-gara aku, kamu dibawa ke panti asuhan itu." James menyengir sinis dan membuang mukanya.
"Mama kamu sudah meninggal James," sambung Garvin.
"Aku tau. Aku ke makamnya tadi." Garvin mengangguk dan tersenyum.
"Dia menghabiskan hidupnya dalam penyakit yang membuatnya sangat menyesal sudah membuang kamu. Papaku juga malah menyingkirkan dia hanya untuk menikah dengan wanita muda yang lain," ujar Garvin bercerita sekilas tentang Maya, ibunda James.
"Bukankah kamu senang? Ibuku bukan Ibumu!" sindir James. Garvin menggeleng.
"Mama-mu mengurusku dengan sangat baik dulu." James tergelak sinis.
"Sayang dia tidak melakukan itu pada anak kandungnya!"
"Maafkan aku, James... sebaiknya aku pergi saja." Garvin pun berbalik dan mengambil kembali panggulannya.
"Tunggu...!" Garvin berhenti dan berbalik lagi pada James.
"Ikut aku," ajak James membuang rokok dan berjalan ke depan Garvin. Garvin kemudian mengikuti James yang ternyata masuk ke sebuah warung kopi kecil di tengah pasar.
Garvin kemudian menitipkan panggulannya dan mengikuti James masuk ke dalam ruang sempit kumuh dan tak jelas antara bau rokok dan kopi. Ditambah juga bau badan orang-orang pasar yang bergumul dalam satu tempat.
Semua mata memandang heran melihat seorang pria tinggi tegap dengan wajah bersih dan mulus juga wangi maskulin masuk ke warung kumuh seperti itu. Ia bahkan memakai jas mahal bermerek dan tak segan duduk di salah satu kursi plastik tanpa sandaran.
Buru-buru si pemilik warung membersihkan sisa kopi yang melengket di atas meja kayu mika lusuh yang entah sudah berapa lama tak pernah diganti. Garvin menyusul dan sedikit ragu untuk kemudian duduk berhadapan dengan James.
"Kamu mau pesan apa?" tanya James pada Garvin. Kakinya sudah terlipat dengan siku bersandar pada meja.
"Kopi saja." James pun memanggil salah satu pelayan yang masih gadis belia untuk memesan.
"Kopi dua..." gadis itu tersenyum kecil dan mengangguk malu-malu. James lalu menghela napas dan memandang Garvin. Ia mengeluarkan bungkus rokok dan menyodorkannya.
"Makasih." Garvin lalu mengambil salah satu batang dan menyalakannya ujungnya.
"Aku udah lama gak merokok... maklumlah, uangnya selalu habis buat makan," ujar Garvin sambil tersenyum. James hanya menaikkan ujung bibirnya. Tak lama dua buah gelas kecil kopi hitam tersaji di depan meja ditemani dengan sepiring gorengan.
"Ceritakan apa yang terjadi sebenarnya!" ujar James setelah Garvin sempat menyeruput kopinya.
"Mama kamu sakit setelah satu tahun kamu hilang dari panti itu. Ada satu kejadian aneh, si pemilik panti bunuh diri dan semua anak-anak dititipkan ke Dinas Sosial oleh seseorang. Aku dengar ada mobil mewah datang malam itu bersama beberapa orang berjas. Lalu keesokan harinya pemilik panti itu malah mati!" James mengernyitkan kening.
"Semua anak ada kecuali kamu, jadi polisi pikir kamu sudah hilang. Mama kamu kira kamu sudah mati," ujar Garvin lagi menyelesaikan ceritanya.
"Kenapa dia tidak mencariku saat aku masih disana?" James balik bertanya. Garvin menghisap rokok dan membuang asapnya.
"Ayahku yang melarang. Juga gara-gara aku karena kita selalu berkelahi." Garvin malah tersenyum mengingat masa lalunya bersama James.
"Kok kamu malah senyum?"
"Aku adalah anak tunggal bertahun-tahun, saat tau ternyata aku bisa punya saudara aku jadi kelewat senang. Jadi aku suka jailin kamu." James membuang muka dan menggeleng sambil mendengus.
"Lalu apa yang terjadi?"
"Mama kamu mulai nyari kamu kemanapun. Dia mengaku hanya ingin menitipkan kamu bukan membuat kamu diambil orang. Jadi dia terus menyesal dan kesehatannya menurun. Kemudian dia sakit kanker dan Papa mengusirnya." Garvin terlihat sedih dan menunduk.
"Aku mencoba membela Mama, tapi Papa malah memukulku. Padahal waktu itu aku sudah menikah, istriku sedang hamil. Kami masih tinggal di rumah besar itu karena Mama Maya masih di sana. Papa sering berbuat kasar sama Mama, malah makin sakit dia makin disiksa." James sedikit menunduk dan menggeram.
"Sampai satu hari dia bawa perempuan lain ke rumah. Lebih muda, dia bahkan lebih cocok jadi adikku. Papa mengaku kalo dia udah nikah siri sama perempuan itu. Aku marah dan kesal dan berniat bawa Mama Maya pergi untuk tinggal sama aku, tapi dia gak mau." Garvin menyeruput kopi dan mengisap lagi rokoknya.
"Satu malam, Papa udah gila ngusir Mama karena mereka bertengkar masalah istri muda Papa. Sampai semua tetangga keluar, aku gak tau gimana malu nya saat itu. Dan Mama Maya terus mengemis di kakinya supaya gak diusir Papa." Garvin menarik satu tarikan napas panjang dan berat. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku marah, aku sayang sama Mama Maya. Dan karena dia diperlakukan seperti itu aku membalas Papa. Aku jaminkan semua aset Papa di sebuah investasi. Aku tau investasi asuransi itu gak beres, jadi aku sengaja melakukannya." Garvin makin dalam mengisap rokoknya. Beban di hatinya benar-benar besar dan ia ingin mengeluarkannya.
"Aku ingin membuktikan sama Papa kalo perempuan yang dia nikahi itu cuma ngincer hartanya aja. Buktinya, sebelum rumah disita, dia bawa kabur mobil mewah Papa sama cowoknya." James masih diam memperhatikan Garvin.
"Akhirnya Papa bangkrut dan rumahnya disita. Semua hartanya ludes. Dia Papaku tapi dia yang masukkan aku penjara karena dianggap sudah menipunya. Aku diberhentikan dari pekerjaanku dan gak pernah bisa lagi membangun karir sejak saat itu," ujar Garvin lagi.
"Mama Maya meninggal, selama aku dipenjara. Papa bahkan gak mau datang saat ia dimakamkan. Hanya istri dan anak-anakku yang datang."
"Sekarang aku kerja serabutan apa aja untuk memenuhi kebutuhan hidup agar bisa makan dan anak-anak bisa sekolah." James mengangguk.
"Jadi dimana Papa kamu sekarang?" Garvin mengangkat bahunya.
"Dia udah meninggal, di panti jompo." James mengangguk lagi.
"Kehidupan membawa kita jadi seperti ini sekarang. Tapi aku senang bisa lihat kamu lagi James. Apa lagi... kamu sekarang sangat jauh berbeda. Kalo aku boleh tau, kamu tinggal dimana sekarang?" tanya Garvin pada James yang mulai merasakan kopi murah di warung kopi kecil. Keningnya sempat mengernyit sebelum melihat Garvin dan menjawab pertanyaannya.
"Italia, aku tinggal di Napoli. Aku gak hilang, Garvin. Aku dijual oleh pemilik panti dan dijual lagi pada sebuah keluarga yang membawaku ke Italia. Aku pulang kemari karena ada urusan dengan saudara angkatku," jawab James datar setelah meletakkan kopinya.
"Wah... sepertinya hidupmu berjalan dengan baik?"
"Menurutmu begitu?" James mendengus dan menggeleng.
"Setidaknya lebih baik dariku," balas Garvin tersenyum tipis. James kemudian melihat jam tangannya dan menaikkan alisnya.
"Aku harus pergi, lusa aku akan kembali ke US lalu pulang ke Italia." Garvin mengantupkan bibirnya dan mengangguk.
"Terima kasih sudah mau mengunjungiku. Sekali lagi aku minta maaf atas kesalahanku dulu." James tersenyum kecil lalu merogoh saku jasnya. Ia mengeluarkan dompet kecil dan sebuah kartu gold.
"Aku tidak sedang membayarmu Garvin. Tapi aku ingin berterima kasih padamu karena sudah merawat Ibuku." James menyodorkan sebuah kartu kredit gold pada Garvin. Garvin menatap kartu itu lalu melihat James dan menggeleng.
"Jangan... aku baik-baik saja."
"Ambillah, untuk biaya sekolah anak-anakmu." Garvin mengigit bibir bawahnya dan menundukkan kepala. Airmatanya turun satu persatu sambil menelan ludah dan menarik napas yang sedikit tercekat karena haru.
"Aku benar-benar menyesal sudah memperlakukanmu dengan tidak baik dulu. sungguh, aku benar-benar minta maaf." James mengangguk.
"Aku sudah memaafkanmu. Ambillah, pergunakan untuk kebutuhan hidup dan biaya sekolah anak-anakmu. Sampaikan saja salam Om James untuk mereka." Garvin tergelak kecil dan mengangguk.
"Terima kasih, James... terima kasih," balas Garvin lagi dengan nada rendah.