James baru berhenti setelah tangannya memerah setengah terluka usai memukul punch bag terlalu keras tanpa pelindung tangan. Ia berjalan keluar dari ruangan itu dengan kemeja setengah terbuka kusut lalu masuk ke salah satu kamar mandi untuk membersihkan diri.
James hanya diam saja mencoba meredam kemarahan yang masih bergelayut di dalam hatinya. Di bawah guyuran air yang biasanya bisa membuatnya lebih tenang, James hanya jadi makin kesal. Ia melempar semua yang bisa diraihnya di kamar mandi mewah itu karena kata-kata Delilah terus terngiang di benaknya. Untuk apa dia begitu terpengaruh dengan kata-kata pembunuh yang disematkan Delilah padanya.
Bukan sekali dua kali James telah membunuh. Rasanya bukan hal yang luar biasa. Lalu kenapa dia harus marah saat Delilah menyematkan panggilan pembunuh untuknya? Toh itu adalah kenyataan. Tapi hati James tak mau menerimanya. Usai mandi dan berpakaian, James duduk di taman kecil di dekat salah satu kamar tempatnya biasa menenangkan diri.
Ia terus memandang kolam renang kecil di taman yang tenang itu. namun gemericik air yang menenangkan tak bisa menghapus keresahan hati James. Sebuah ketukan di pintu kemudian membuat James sedikit menoleh.
"Apa Tuan jadi berangkat ke pelelangan?" tanya Grey mendekat. James tampak diam dan terlihat sedikit berpikir.
"Siapkan mobilnya. Kita berangkat sekarang!" Grey mengangguk lalu keluar dari kamar itu tanpa bertanya apapun lagi. Sementara James masih duduk di sana lalu merogoh salah satu saku celana dan mengeluarkan ikat rambut milik Delilah.
Tangannya meremas ikat rambut hitam itu beberapa saat lalu hendak membuangnya ke kolam di dekat kakinya. Tapi tangannya hanya naik ke atas kepala tanpa melempar. Tangan itu perlahan turun dan makin membuat James kesal.
"Aaahhkk!" sembur James begitu kesal tapi kebingungan. Sambil mengucek kepalanya dengan kesal, ia menggerutu sambil berdiri dan berjalan keluar kamar. Lebih baik tidur dengan seorang gadis dan bersenang-senang daripada memikirkan Delilah. Setidaknya itulah yang dianggap James sewaktu ia keluar rumah dengan setelan jas rapi bermerek tanpa dasi.
Delilah yang awalnya ditinggalkan oleh James telah berhenti menangis di atas ranjang. Ia lalu bangun dan berjalan ke arah pintu kamar. Delilah mencoba mengintip setelah membuka pintu kamar. Tak ada siapapun kecuali beberapa pengawal yang mondar mandir tak jauh dari kamar.
Delilah sedang mencari cara agar ia bisa ke basement lagi untuk berbicara dengan Oliver. Ia yakin jika Kakaknya pasti mau menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tapi Delilah tak bisa sendiri ke basement itu, James pasti takkan mengijinkannya.
Ia mencari cara lain dengan menghampiri Lordes. Lordes yang terlihat tengah menyiapkan makan malam lalu tersenyum saat Delilah menghampirinya.
"Nona Delilah..." Delilah tersenyum dan mendekat lalu memegang lengan wanita paruh baya itu.
"Lordes, maukah kamu membantuku?" tanya Delilah. Lordes mengangguk.
"Tolong bawa aku ke basement. Aku harus melihat keadaan Kakakku Oliver!" Lordes melebarkan matanya lalu mengajak Delilah untuk bicara ke salah satu sudut dapur.
"Kita tidak bisa sembarangan ke basement itu. Tuan Harristian bisa marah jika ia tau,' ujar Lordes setengah berbisik.
"Tapi Lordes, aku harus bertemu dengan Kakakku... aku harus tau menceritakan yang sebenarnya. Dia bilang jika Tuan J adalah pembunuh Ayahku. Aku harus tau siapa yang sudah membunuh Ayahku!" Lordes terdiam dan masih memandang dengan wajah cemas.
"Aku mohon, Lordes. Tolong bantu aku... sekali ini saja," pinta Delilah makin memohon pada pelayan itu.
"Baiklah... tapi hanya sekali ini saja." Delilah tersenyum dan mengangguk. Delilah lalu mengikuti Lordes yang kemudian membawa makan malam untuk penjaga di basement. Termasuk makan malam untuk Oliver. Lordes meyakinkan para penjaga jika ia sudah mendapat ijin membawa Delilah bersamanya. Setelah diberi ijin, Delilah pun masuk dan berjalan ke arah kurungan di salah satu sudut basement tersebut.
"Oliver..." panggil Delilah mendekat ke jeruji. Oliver yang terlihat tengah menundukkan kepalanya lalu menghampiri Delilah.
"Kamu baik-baik saja? Apa dia menyakitimu?" tanya Oliver sambil memegang kedua pipi Delilah. Delilah menggeleng dan menggengam tangan Kakaknya dari balik jeruji besi.
"Katakan padaku, Oliver. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa bisa seperti ini?" tanya Delilah dengan wajah sendu. Ia berharap Kakaknya jujur. Oliver sedikit menundukkan pandangan sebelum ia kemudian menatap Delilah kembali.
"Dengarkan aku Delilah. Kamu tak bisa percaya pada James Belgenza. Dia sudah menjadikan keluarga kita seperti ini." Delilah mengernyitkan keningnya.
"Apa maksudmu, Oliver? Bukankah kamu dan Ayah yang sudah mencuri dari kasinonya?"
"Memang, tapi dia kan orang kaya. Sangat kaya. Kamu tau kekayaannya bahkan bisa membeli seluruh negara ini. Untuk apa dia memikirkan uang 50 ribu Euro!" Delilah terdiam. Ia pernah berpikir hal yang sama tapi...
"Aku dan Ayah melakukan ini agar kita bisa keluar dari Italia dan kembali ke Amerika. Tuan Moretti akan membawa kita pergi dari tempat busuk ini. Kita tidak akan lagi hidup miskin. Tapi sebelum itu terjadi, Belgenza malah membunuh Ayah!" tambah Oliver lagi. Delilah makin bingung namun juga sedih pada saat yang bersamaan. Sekarang apa yang harus ia lakukan?
"Aku melihat sendiri dia menghabisi Ayah!" bisik Oliver makin mempengaruhi Delilah. Tangan Oliver lalu membelai rambut Delilah yang lembut.
"Aku... takkan pernah menjerumuskanmu. Meskipun aku sering berbuat hal yang menyakitimu tapi aku takkan menjualmu Delilah. Kita harus keluar dari sini!"
"Bagaimana caranya?" tanya Delilah kemudian. Oliver memandang mata Delilah dengan serius dan makin mendekat.
"Apa kamu sadar jika Harimau Daga Nero itu menyukaimu?" ujar Oliver dan kening Delilah mengernyit.
"Apa maksudmu?"
"James Belgenza menyukaimu, Delilah."
"Tidak mungkin!" Oliver mendengus dan memegang dua jeruji dengan kedua tangannya.
"Aku dengar dia memanggilmu dengan sebutan Candy. Dia juga memakaikan pakaian mahal padamu. Aku bahkan melihat sendiri dia tak memukulmu meski kamu menamparnya beberapa kali. Itu artinya dia menyukaimu, dia tak ingin menyakitimu." Delilah diam saja memperhatikan Oliver sambil sedikit membuka mulutnya. Ia tak pernah berpikir sejauh itu sebelumnya.
"Ini kesempatanmu, Delilah. Bunuh dia... saat dia lengah. Dengan begitu kita akan bebas dari sini!"
"Apa! Kamu memintaku membunuh!" Oliver mengangguk.
"Hanya itu satu-satunya jalan untuk lolos dari orang seperti Belgenza. Setelah dia mati, Tuan Moretti akan memberi kita kehidupan yang kita inginkan. Jauh dari kemiskinan... dan utang. Kita bisa mulai hidup baru bersama." Oliver terus meyakinkan Delilah. Delilah menggeleng dan menunduk.
"Delilah. Aku tau kamu pasti berpikir jika membunuh adalah dosa. Tapi yang kamu bunuh adalah pembunuh Ayah dan penjahat paling sadis di negara ini. Kamu tidak akan bersalah, percayalah padaku!" Delilah menatap Oliver lagi dan menelan ludahnya beberapa kali.
"Aku sayang padamu. Sungguh, aku takkan meninggalkanmu. Kita akan keluar dari tempat ini bersama-sama," ujar Oliver meraih tangan Delilah dan menggenggamnya. Delilah hanya diam saja sampai ia dipanggil setengah berbisik oleh Lordes. Ia lalu membelai kedua pipi Oliver sambil tersenyum.
"Aku juga menyayangimu, Oliver. Aku takkan meninggalkanmu." Oliver tersenyum dengan mata berkaca-kaca lalu mengangguk. Delilah kemudian bangun dan buru-buru pergi dari penjara itu. Oliver menghela napas dan menempelkan keningnya di jeruji itu.
"Maaf aku berbohong padamu, Delilah. Aku tidak mau kamu terjerat oleh iblis itu. Jika kamu berhasil membunuhnya, kita akan keluar dari sini. Aku janji akan menjadi Kakak yang baik untukmu. Aku janji... Lindungi adikku, Tuhan!" gumam Oliver sambil meneteskan airmatanya.
DUBRICH, RUMAH LELANG
Tak seperti biasanya, James pasti setidaknya tertarik untuk melihat berbagai macam wanita yang ditawarkan di layar. Tapi kali ini, ia kerap tak konsentrasi. Tangannya baru menekan tombol tawar setelah hampir 10 gadis berlalu. Sudah ada lima gadis dengan rambut se-pirang Delilah yang ditawarkan tapi baru gadis ke sepuluh James menekan tombol dengan asal.
Ia kehilangan selera sama sekali dan tak tau mengapa ia bisa seperti itu. Grey yang menunggu di belakangnya hanya diam saja melihat tingkah tuannya.
"Nomor 23 terjual dengan harga 250 ribu Euro pada Tuan J. Selamat!" ujar suara di interkom. Seorang gadis berambut pirang, berkulit pucat dan bermata biru terjual pada James. James keluar dari ruangannya dan sedianya akan kembali ke mansion membawa barang yang sudah ia beli.
Grey kemudian mengikuti ia keluar dari ruangan tersebut dan berjalan di koridor. Langkahnya terhenti saat melihat seorang pria kemudian berhenti dihadapannya.
Pria itu hanya memandang dingin dan menaikkan alisnya lalu berjalan hendak melewati James.
"Selamat atas pembelianmu, Belgenza!" sapa pria dengan wajah imut dan rambut coklat itu tanpa senyuman. James sedikit menoleh dan tak menjawab. Pria itu lalu berjalan melewati James dengan kawalan seorang pria lain dibelakangnya.
James masih berdiri di koridor itu lalu menoleh pada Grey. Grey hanya mengantupkan bibirnya.
"Apa yang dilakukan Shawn Miller disini?" tanya James usai pria yang menyapanya pergi.
"Dia salah satu anggota VIP sama sepertimu, Tuan," jawab Grey.
"Aku tau. Tapi untuk apa dia ikut lelang di sini. Aku pikir dia tinggal di Boston!"
"Entahlah, tapi dia ikut menawar gadis pilihanmu, Tuan." James memandang Grey lalu memandang pada koridor tempat Shawn Miller keluar. James kemudian berbalik dan berjalan kembali ke arah keluar. Ia akan pulang ke mansion untuk menikmati kencan semalamnya di depan Delilah.