"Mengapa begitu banyak pertanyaan dalam dirimu? Apa kau sangat penasaran?" tanyaku kembali. Aurora membalas pertanyaanku dengan anggukan. Aku menghela nafas panjang. Menatap langit-langit.
"Buka pintunya! Aku mohon! Seseorang yang ada di luar sana! Aku mohon buka pintunya!" teriakku, sambil memukul-mukul pintu. Aku dikurung paksa di gudang sekolah oleh sekumpulan remaja wanita di kelasku, hanya karena aku menolak perintah mereka.
Ini sudah tengah malam, dan aku kehabisan tenaga. Ponselku juga kehabisan daya, tidak bisa dinyalakan sama sekali. Aku bersandar di balik pintu, menangis dan berharap secara bersamaan. Aku menutup mataku, ruangan ini sangat gelap, dan menakutkan.
Aku mendengar suara. Spontan, aku mencari-cari dari mana asal suara itu. Suara itu semakin kuat dan keras. Aku ketakutan. Aku menutup telingaku dengan sekuat tenaga. Suara itu mengerikan. Itu, suara teriakan dan tangisan seorang gadis yang tersiksa. Tubuhku gemetar, bulu kudukku merinding. Sangat menakutkan.
Semakin lama semakin kuat, suara itu memecahkan telingaku. Aku menangis histeris, mulut tidak bisa berteriak. Kepalaku pusing, tanganku melemah, dan hingga akhirnya aku terjatuh.
Aku terbangun, penglihatanku masih kabur. Seseorang berdiri tepat di hadapanku. Aku menatapnya, ternyata dia seorang wanita. Aku harap itu bukan ibuku. Itu wali kelasku.
"Ibu, di mana kita sekarang?" kataku lirih. Wanita itu tersenyum, lalu mengusap rambut panjangku.
"Syukurlah kau sudah sadar nak. Kita sekarang sedang berada di rumah sakit. Kau ditemukan pingsan di gudang sekolah, jadi kau langsung di bawa ke sini," jelasnya dengan lembut.
"Wanita-wanita itu?"
"Mereka sudah di keluarkan dari sekolah, dan tidak akan bisa bersekolah lagi. Tidak akan ada sekolah yang mau menerima mereka."
Aku menunduk, yang ada di hadapanku sekarang adalah guruku, dan bukannya orang tuaku.
"Tadi ayahmu datang nak, dia memberikan ini," ujar ibu guru, sambil menyerahkan sebuah kotak kado untukku. Kotak itu berwarna kuning, dengan pita warna biru. Mataku berkaca-kaca, tidak bisa menahan luka di hatiku. Aku menangis, dan berkata, "Ayah. Kenapa kau meninggalkanku? Kenapa? Tidak bisakah kau berada di sampingku untuk saat ini. Jangan ucapkan selamat ulang tahun padaku. Aku tidak suka itu! Jangan mengirimiku hadiah. Beri aku kasih sayangmu. Kembalikan bahagiaku."
Aku menangis dalam waktu yang lama, aku melihat kalender, ini sudah tanggal 25 Mei.
"Ibu, berapa lama aku pingsan?" tanyaku, yang sadar banyak waktu yang kulewati.
"3 hari nak, kau mengalami syok berlebihan, dan itu sangat bahaya bagi kesehatan tubuhmu," jelasnya. Aku menunduk, menatap kotak kuning itu lagi.
"Kapan ayahku memberikan kotak ini? Dimana?" tanyaku lagi. Sebenarnya masih banyak lagi pertanyaan yang ingin kukeluarkan. Tetapi aku terlalu takut dengan jawabannya. Aku takut, jawaban yang aku dapat akan sangat menyakitkan.
"Ayahmu memberi kado itu 2 hari yang lalu. Ibu bertemu ayahmu di gerbang masuk sekolah. Tentu saja membawa kotak kuning itu. Ayahmu menunggumu hingga petang. Ibu langsung menceritakan keadaanmu, jadi kami langsung ke sini. Ayahmu di sampingmu semalaman, tidak tidur, tidak makan."
"Lalu apa yang terjadi? Ke mana ayah pergi?" tanyaku, menahan Isak tangis yang membuat suaraku gemetar.
"Istri ayahmu menjemputnya, dan meninggalkan kotak kuning ini. Lihatlah, ada secarik kertas di sela pita biru itu. Ayahmu bilang, kau harus membaca tanya." Aku mengambil kertas itu, aku membukanya. Hatiku tersentak, sangat sakit. Kata-kata itu diukir rapi penuh perasaan.
"Kaulah penyebab aku selalu menangis Ayah, kau," ucapku, sambil menyeka air mataku.
"Hari ini kau sudah diperbolehkan pulang nak. Kesehatan mentalmu mulai pulih, itu artinya kau bisa kembali ke keseharianmu, termasuk bersekolah. Tapi saran ibu, jika kau belum siap untuk kembali ke sekolah, jangan di paksa ya. Ibu akan pulang ke rumah. Biaya administrasi sudah ditanggung oleh ayahmu. Jaga kesehatanmu." Ibu guru berkata dengan suara lemah. Aku tahu dia berusaha menahan air matanya. Hidupku memang menyedihkan, dan itu semua dimulai semenjak aku menginjakkan kaki di dunia ini.
Sepertinya yang dikatakan oleh wali kelasku, aku sudah bisa kembali bersekolah. Hari ini, sepertinya langit sedang berduka. Awan hitam datang mewakili perasaanku.
Aku berada di lorong lantai 2 sekolahku. Ruang kelasku ada di ujung lorong itu, tetapi setelah melihat tatapan tajam dari teman-temanku yang berdiri di sepanjang lorong, kakiku tidak bisa bergerak. Lorong ini terasa seperti tak berujung.
Aku menarik nafas panjang-panjang. Melangkah, mengabaikan tatapan yang menyerang batinku.
"Apa yang kau lakukan di sini? Apa belum cukup bagimu setelah menjadi aib di sekolah ini?" kata teman sekelasku, yang menghalangku di pintu masuk kelas. Aku menunduk, menggenggam lengannya erat-erat, lalu membantingnya ke depan. Pria itu merintih kesakitan.
"Dasar anak pelakor!" teriaknya. Aku berhenti, membalikkan badan, menatapnya dengan tatapan tajam. Air mataku keluar tanpa aba-aba. Kepalaku sakit, hatiku tak bisa merasakan apa-apa. Aku berlari meninggalkan ruang kelas. Berlari sekencang mungkin.
Aku berhenti di atap gedung sekolah 3 lantai ini. Aku berdiri di atas pembatasnya, menatap langit dengan kesedihan yang mendalam. Seharusnya aku di lahirkan tanpa seorang ibu. Karena wanita itulah yang membuatku menderita. Ke mana pun aku berlari, ke mana pun aku bersembunyi, bayangannya terus saja mengikutiku. Aku tidak bisa menghilangkan bayangannya, walaupun aku membawa banyak cahaya dengan tanganku.
"Ayah, maafkan aku. Sepertinya aku sudah membawa begitu banyak penderitaan di dalam hidupmu. Tapi itu tidak akan lama. Aku akan pergi, meninggalkanmu. Dan aku akan membawa penderitaanmu dimasa lalu, dan juga masa depan. Aku mohon, jangan cintai aku. Jangan menyayangiku. Aku hanya akan membuatmu terluka," kataku, menatap lautan awan hitam dengan mata yang sendu. Berharap, ayahku ada di sana, menatapku sambil tersenyum hangat.
"Aku akan melangkah kaki dari atas gedung ini. Ayah, gedung ini cukup tinggi untuk membunuhku. Jangan bertanya kenapa aku ingin mengakhiri semua ini. Karena jawabanku sama saja. Aku benci di lahirkan di dunia, tetapi aku menyayangimu. Aku sadar, kau sudah banyak mendengar keluhanku. Pasti hatimu sangat sakit mendengar itu. Maafkan aku."
"Apa yang kau lakukan?" teriak seseorang dari belakangku. Aku membalikkan tubuhku