Aluna termangu, dia menatap batu nisan yang ada di depannya. Air mata tak henti-hentinya mengalir di wajah. Dia memegang dadanya, mencoba menahan rasa sakit yang dirasakan. Aluna tak pernah membayangkan akan bertemu dengannya dalam kondisi seperti ini.
Zaedan hanya diam. Meski ia sakit dan cemburu melihat sang istri menangisi pria lain. Tapi tak mengapa, dia ikhlas untuk kali ini. Lagi pula pria itu tidak mungkin merebut istrinya.
Bu Tatik dan Bu Cici hanya melihat, mereka berdiri di belakang Zaedan. Tidak ada yang buka suara, semuanya diam. Hanya ada isak tangis yang keluar dari mulut Aluna.
"Hiks.., hiks.., hiks..," Aluna menangis tersedu-sedu, "Kang..., saya sudah mengikhlaskan akang. Terima kasih..., Terima kasih karena sudah menjadi teman baik saya dulu. Terima kasih akang selalu ada untuk saya. Terima kasih.., saya..., saya tidak tahu harus bicara apalagi"