Pagi ini mentari agak malu menampakkan dirinya, ia memilih masih menyelimuti diri dengan awan yang berwarna sedikit abu.
Udara terasa lembab hari ini, yang mampu membuat seorang gadia malas berjalan memasuki loby kantornya.
"Pagi... Nadira.."
Sebuah sapaan dengan suara yang akhir-akhir ini Nadira rindukan begitu saja.
Angkasa. Lelaki yang diam-diam kini tengah memasuki jauh ke dalam hatinya.
"Pagi juga.. Mas Asa.." balas Dira dengan senyumnya yang selalu disukai Angkasa.
"Nah gitu dong ceria. Masa aku lihatin tadi jalannya lemes banget. Kenapa?" Tanya Angkasa.
"Males aja. Suasananya sih bikin males. Jadi gampang bosen deh kerjanya, apalagi nanti udah ada tumpukan dokumen yang harus di acc kan. Males. Pengen pulang aja.." gerutu Nadira benar-benar malas.
Angkasa tersenyum sedikit. "Jangan begitu. Anggap selalu tempat kerja itu sebagai rumah kedua. Kita kan setiap hari disini, nah sekarang anggap aja begitu. Jadinya nggak perlu bosan lagi. Kan ini kewajiban kerja juga.." ujar Angkasa yang mampu menenangkan hati Nadira dalam sekejap.
"Hehe gitu yaa.. iya deh Dira coba mas.."
"Gitu dong.. semangat yaa.."
"Iyaa.. Mas Asa juga yang semangat.." balas Dira.
Angkasa tersenyum lagi. "Aku udah semangat. Kalo disemangatin lagi ya tambah semangat. Apalagi sama kamu.."
Deg! Nadira ingin sekali langsung memeluk Angkasa. Namun ia tahu itu tidak boleh dilakukannya.
Dengan sedikit menahan tawanya karena melihat wajah Nadira tersipu, Angkasa pamit. "Yaudah mas ke atas dulu ya.."
"Iya mas.. aku juga mau ke ruangan.." ujar Dira lalu mempercepat langkah kakinya yang merasakan desiran darahnya panas dingin.
Ternyata begini ya rasanya saling jatuh cinta? Sebut saja sama dengan senam jantung.
Namun satu hal yang Nadira masih simpan dalam benaknya. Yaitu, seorang Angkasa Putra tidak pernah mengajaknya keluar ataupun sekedar mengunjungi rumahnya untuk berkenalan dengan Mama atau Papanya. Angkasa juga belum pernah benar-benar menjelaskan perasaannya kepada Nadira. Namun, Nadira yakin Angkasa menyayanginya karena setiap hari mereka saling bertukar pesan, bertelepon, hingga telepon video saat malam.
Angkasa juga sering mengantar Nadira pulang jika gadis itu ada tugas lembur yang menghabiskan waktu hingga jam 8 malam.
Tidak mungkin kan kalau seorang lelaki yang berperilaku seperti itu tidak ada perasaan sayang? Tidak mungkin juga hanya menganggapnya teman, yang sementara saja teman lainnya tidak mendapatkan perilaku yang sama.
Hanya Nadira saja. Bahkan Angkasa pernah menemaninya di jam lembur hanya untuk menjaga gadis itu saat sendirian di ruangan.
Apa masih bisa disangkal bahwa itu bukan bentuk dari rasa sayang? Jika bukan, kemungkinannya hanya kecil sekali.
"Hei! Pagi-pagi udah ngelamun aja.. mikir apaan siiihh?" Ujar Karina yang baru memasuki ruangan umum dan langsung melihat ekspresi bengong Nadira yang mejanya dekat dengan pintu masuk.
Nadira yang tersentak kecil hanya terkekeh pelan. "Gapapa kok mbak.."
"Ciiieeee lagi seneng ya?" Tanya Karina.
Nadira hanya membalasnya dengan senyum yang tersipu malu.
Karina yang tidak melanjutkan jalannya menuju mejanya sendiri malah beringsut mendekati Nadira dengan berbisik. "Lagi deket sama siapa siiihh? Kok tiap hari berbunga-bungaa.. moga cepet jadian yak..hehe"
Nadira terkekeh lagi mendengar bisikan itu. "Mbak Karin kenal kok sama orangnya. Mungkin udah kenal lebih lama daripada aku.."
Karina agak kaget. "Oh ya? Siapa? Orang sini dong?"
"Ya orang sini laaahhh.. orang Mutasi noohhh yang ada di lantai dua. Biasaaa.. yang dijulukin itu tuuhh, raja tampannya Mutasi itu noh.." bukan Dira yang menjawab. Itu adalah sahutan spontan dari Akbar yang baru saja masuk ruangan umum untuk melihat Dinda tujuannya.
Dinda yang mendengar suara menggelegar dari mulut Akbar pun membelalakan kedua matanta kaget. Ingin sekali ia segera menendang Akbar hingga menembus plafon atas. Dengan gelisah ia segera mendekat ke arah Akbar yang menginjak kaki lelaki itu tanpa sepengetahuan Karina dan Nadira.
"Hah? Angkasa Bar?" Tanya Karina merasa tak pasti.
Akbar yang melihat reaksi Dinda langsung teringat bahwa sekarang ini kondisi darurat yang dibuatnya sendiri. Dengan gugup ia berusah menjawab. "I-iya kayaknya. Hehe tanta aja sama Nadira.." ujarnya pelan.
Alis Karina terangkat lalu menoleh menatap Dira. "Bener Ra? Angkasa? Angkasa Putra?"
Reaksi yang berbeda dari semua, Nadira menjawab sembari tersenyum malu. "Emm iya mbak Karin. Baru deket kok.."
Entah mengapa setelah jawaban Nadira, seakan dunia di atas kepala Karina mendadak runtuh dan membuat lidahnya kelu. Perempuan itu hanya menjawab 'oh iya' lalu berbalik arah menuju mejanya. Berusaha mengatur langkahnya dan deru napasnya. Berusaha mengabaikan pikirannya yang terasa berantakan.
Kemudian tangan kanannya meraih ponselnya yang berbunyi dalam tas selempangnya. Ada sebuah panggilan masuk dari sana. Tentu saja Aris yang menelponnya.
"Halo?"
"Karina? Kamu ngangkat telpon aku? Aku pikir kamu nggak akan angkat lagi.. aku mohon Rin beri aku kesempatan untuk membuat kamu memiliki rasa yang sama ke aku seperti sebelumnya.. aku mohon.. aku nggak ingin kita berakhir begini Rin.."
"Iya."
"Apa? Kamu jawab iya Rin? Aku nggak salah dengar kan?"
"Tentu kamu tidak salah dengar mas. Jawabanku tidak bisa diulangi lagi.."
"Iya iyaa.. makasih ya sayang. Aku ada diskusi siang ini. Selesai jam setengah 3 sore. Apa bisa kita bertemu?"
"Iya. Kamu jemput aku ya."
"Beneran? Aku seneng kamu balik lagi kayak dulu.. yaudah aku kerja lagi.. love youuu.."
"Iya."
HAMBAR! Ya. Dunia Karina mendadak berantakan. Entah karena apa Karina malu mengakuinya. Namun ia tahu, masih ada Aris yang mencintainya sampai pada titik ini. Titik yang membuat hubungan mereka sempat berantakan dan Aris tetap mempertahankannya.
Terkadang semesta memang terlalu jahat. Tragis bila cinta dikatakan terlambat. Untuk sang waktu yang seolah juga terhambat.
Dinda menyeret Akbar keluar ruangan membawa lelaki itu masuk ke dalam ruang kesehatan. "Gila ya lo Bar!! Lo gak mikir dulu apa yang nanya gitu itu Karina? Padahal lo sendiri juga tau kalo Karin itu sekarang mulai mengakui perasaannya ke Asa kan!! Mulut gak lo jaga sih. Kebiasaan jadi orang!" Gerutu Dinda yang benar-benar marah kali ini.
Akbar bingung hendak membela dirinya sendiri dengan kalimat apa, karena dirinya memang dikatakan salah.
"Udah ah gue capek ngomongin lo. Mending gue ngurusin temen gue daripada ngurusin elo. Minggir!!" Dinda menggesar paksa tubuh Akbar yang berdiri di pintu masuk dengan kasar.
"Din.. dindaa.. aelah tunggu napa.. Diiinn wooiii gue kan gasengaja Diiiinnn.." teriak Akbar dramatis.
Dinda yang mempercepat jalannya menahan wajahnya yang memanas karena malu bersisipan dengan para karyawan lain yang baru saja datang pagi ini.
Masa bodoh saja dengan kelakuan Akbar yang membuat moodnya hancur pagi ini. Bukan moodnya saja, namun perasaan Karina lah yang patut ditanyai apa kabar. Hingga Dinda akhir-akhir ini tak mampu mendekati sahabatnya itu hanya untuk sekedar menanyai ada masalah apa dalam hati Karina.
Sementara Karina, perempuan itu hanya diam dibalik komputernya. Memikirkan mengapa hatinya merasa sangat sakit. Ia hanya menatap komputer di hadapannya dengan pandangan kosong. Enggan mengerjakan tugasnya hari ini.
Memang kadang ada hati yang sedang mekar, tapi di samping itu ada hati yang perlu dikorbankan.
***
"Sesuai garis kehidupan. Kita diciptakan berpasang-pasangan. Hanya saja, sang waktu yang mampu menjawab kapan kita dipertemukan."
-OKTAVIA R-
***