Chereads / Irish dan Ruang Fisika / Chapter 2 - 01

Chapter 2 - 01

"Kita harus sukses bersama"

***

Laboratorium Fisika terasa lebih hening dari biasanya. Semua sibuk dengan sepuluh soal essay fisika yang hampir membuat mereka pingsan. Aku berkali-kali menggaruk leher yang tidak gatal. Soal-soal ini terasa menyakitkan karena aku belum mempersiapkan apa-apa untuk seleksi ini. Aku sudah selesai menjawab semua pertanyaannya, namun aku tidak tahu apakah jawaban yang aku tulis benar adanya.

"Irish! Lo udah selesai?" tanya Ipat. Dia juga ikut seleksi club fisika ini. Dia sekelas denganku. Aku mengangguk ragu. "Kumpulin sekarang yuk." Aku mengangguk, lalu memeriksa kembali jawaban yang aku tulis sebelum akhirnya aku menyerahkan jawabanku kepada Pak Arie yang menjadi tutor kami. Aleah, Rora dan Nando sudah mengumpulkan jawaban mereka lebih dahulu.

Beberapa menit kemudian, dua puluh anak club fisika sudah menyelesaikan pekerjaan mereka masing-masing. Detak jantungku berdebar kencang begitu Pak Arie sudah mengkoreksi semua jawaban. Hari ini adalah hari eliminasi. Anak yang dianggap kurang mampu, tidak akan diikutkan pada OSN bulan depan.

"Terimakasih sudah mau bekerja keras untuk menjawab soal seleksi ini, sekarang saya akan mengumumkan siapa saja yang tereliminasi di babak ini. Sepuluh anak akan saya pilih berdasarkan nilai paling tinggi." Suara Pak Arie menggema di sudut-sudut ruangan. Ketegangan benar-benar memasuki jantung kami.

"Untuk rangking hari ini, saya akan bacakan dari nilai terendah" Pak Arie mengambil kertas lain di meja beliau, lantas membacakannya dengan lantang.

"Riani Fathia, 87. Prasertya Haryadi, 89. Natasha Aleah, 89. Nando Saputra, 90. Aurora Septiani, 90. Alfiani Amelia, 92. Salman Al-Farisi, 95. Aurin Belvania, 95. Irishiana, 98. Yang terakhir, Aaron Blenda, 100."

Semua bertepuk tangan, menyoraki Aaron si tukang tidur dari kelas 11 MIPA B. Walaupun dia tukang tidur, dia termasuk orang yang sadar saat pelajaran fisika.

Tetapi, walaupun semua orang yang ada di ruangan ini merasa bahagia, ada satu orang yang menyesal karena dia terpilih.

***

Sudah hampir 2 minggu aku disibukkan dengan bimbingan untuk bimbingan olimpiade yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Aku akhir-akhir ini selalu meminta izin dengan guru-guru bela diriku karena aku tidak bisa latihan rutin bersama mereka. Aku akan memberikan yang terbaik untuk olimpiade tingkat provinsi ini. SMA Galaksi tidak boleh kalah. Kita harus memborong semua medali di olimpiade, apapun mapelnya.

1 minggu yang lalu, Pak Arie mengeluarkan tiga orang. Ipat, Prasetya dan Nando. Nilai mereka turun beberapa hari lalu.

Minggu ini, Pak Arie berniat mengeluarkan 2 orang. Karena setiap sekolah hanya boleh mewakilkan 5 siswa terbaiknya untuk setiap mapel. Malam ini aku belajar lebih keras. Walaupun minggu lalu aku mendapatkan nilai sempurna, aku tidak boleh lengah. Aku tidak boleh bermalas-malasan.

Keesokan harinya, begitu aku sampai di sekolah, aku masuk ke kelas dan menitipkan surat izin untuk tidak masuk kelas. Hari ini aku sepenuhnya berada di laboratorium fisika. Ditemani Faris, Aaron, Rora, Alfia, Aurin dan Aleah. Pak Arie sementara digantikan oleh Pak Ghofur karna Pak Arie sedang ada urusan mendadak dengan panitia penyelenggara olimpiade.

Pak Ghufron memberikan sedikit pengarahan sebelum akhirnya membagikan kertas soal beserta lembar jawaban dan kertas buram untuk coret-coret. Waktu tiga jam dimulai. Semua mengerjakan dengan sangat serius. Aku sendiri berusaha mengerjakan soal dengan teliti. Namun di beberapa nomor, aku mengalami keraguan dalam mengisi jawabannya.

Faris yang berada di meja sampingku terlihat mengerjakan soal dengan sangat santai. Walaupun sesekali terlihat kebingungan, namun dia dapat mengerjakan soalnya kembali dengan lancar. Aaron Blenda, walaupun dia terlihat mengerjakan soal-soal dengan lancar, sesekali dia menguap dan mengucek matanya. Ada kantong berwarna hitam di bawah matanya menandakan bahwa dia begadang semalaman untuk belajar.

"Cukup. Waktu kalian sudah habis. Kalian boleh istirahat selama satu jam. Nanti saya hubungi lagi kalau nilai kalian sudah keluar. Kertas dan lembar jawaban ditinggal di meja masing-masing dengan posisi terbalik." Kami semua mengangguk, lantas meninggalkan laboratorium fisika dan berjalan menuju foodcourt untuk kembali mengisi perut yang kosong. Kami memesan satu meja untuk tujuh orang agar bisa berbagi cerita bersama-sama.

"Gue sih nggak berharap lulus." Celetuk Aaron yang spontan membuat kami terkejut. Bagaimana bisa? Bukankah dia sudah 3 kali mendapatkan nilai sempurna?

"Kok gitu Ron? Emang kenapa?" tanya Faris. Aaron berdecih pelan. Dia memutar bola matanya. "Dari awal gue nggak ada niatan buat masuk fisika kali.. Gue lebih minat masuk tim astronomi kalo nggak komputer."

Aurin sebagai saudaranya sendiri heran. Ada apa gerangan? "Lho Ron, tau gitu kenapa lo masuk fisika sampe sejauh ini? Langkah lo udah jauh banget. Kenapa ngomong mundur nggak dari start aja? Ini udah hampir finish lho."

"Gue terpaksa ikut fisika yang sialnya, hoki gue ada disana. Gue nggak ada minat sama sekali buat ikut fisika. Melia yang bener-bener pengen ikut, malah tersingkirkan. Pokoknya, kalo nanti gue lolos, gue bakal ngundurin diri."

"Lo segampang itu ngundurin diri? Lo nggak lihat orang-orang disekitar lo pada berjuang mati-matian biar ada di posisi lo. Posisi lo selalu aman. Lo juga didukung sama orang-orang sekitar lo. Nggak kaya gue yang berjalan sendirian. Lo kenapa masuk fisika sih? Kepaksa sama siapa?" nada bicara Faris agak lebih menusuk dari biasanya.

"Gue ikut fisika, gara-gara Melia yang nyuruh gue. Sekarang kalo Melia aja mundur, gue nggak ada harapan buat maju dong."

"Emang Melia itu siapa kamu sih? Segitunya amat sama tu orang." tanyaku dengan nada mencibir. Emosiku mulai tersulut perlahan. Entah mengapa, aku tidak suka dengan apa yang dibicarakan Aaron. Aaron dengan gampangnya mengundurkan diri saat olimpiade tinggal di depan mata. Mengapa dia mengundurkan diri dengan tiba-tiba?

Aaron berdiri dari kursinya. "Melia? Dia pacar gue."

Aku memutar bola mata dan menudingnya dengan telunjukku. "Aku nggak peduli siapa itu Melia dalam hidup kamu dan apa peranan dia dalam hidup kamu dan seberapa besar pengaruhnya dalam hidup kamu. Pokoknya sampe OSN berakhir, kamu nggak boleh out dari tim fisika."

"Eh Irish, emang lo siapa sih? Ngatur-ngatur hidup gue!"

"Aku? Aku emang nggak ada peran apa-apa dalam hidup kamu. Aku ketua tim fisika. Dan kamu nggak bisa ngundurin diri tanpa persetujuan dari aku dan Pak Arie. Pak Arie dari awal udah tahu gelagat jelek kamu. Makanya beliau nggak nunjuk kamu jadi ketua tim. Jadi, karena aku nggak ijinin kamu keluar dari tim, kamu nggak bisa seenak jidat ngundurin diri kaya gini."

"Sh*t!" umpatnya. Lalu dia meninggalkan kami yang terpaku dengan pikiran masing-masing.

***

Kami berenam -tanpa Aaron- kembali ke laboratorium fisika setelah satu jam beristirahat. Setelah satu jam yang lalu mengerjakan soal seleksi olimpiade fisika untuk tingkat provinsi. Pak Arie yang sudah kembali dari Kota Provinsi siap mengumumkan hasil seleksi terakhir hari ini. Sebelumnya, aku harus melaporkan sikap Aaron kepada Pak Arie.

"Pak, Aaron mengundurkan diri." Laporku to the point. Pak Arie hanya tersenyum. Beliau mengusap rambutku.

"Tidak apa-apa. Lepaskan saja. Saya sudah menyiapkan cadangan yang tidak pernah kalian ketahui sebelumnya."

"Cadangan Pak? Olimpiade sudah di depan mata. Kita tidak punya waktu untuk membuat cadangan yang bapak siapkan itu mampu dengan materi kita. Bukannya menganggap mereka tidak mampu, tapi..."

Pak Arie tersenyum misterius. Beliau malah menyuruh kami untuk duduk di kursi mendengarkan hasil nilai yang telah kami dapatkan. "Tak usah terburu-buru. Biar saya membacakan hasil seleksinya dulu, baru kita bahas masalah ini."

Laboratorium fisika menjadi sangat hening. Tidak ada suara. Semuanya menatap Pak Arie lekat dan menunggu Pak Arie membacakan nama yang akan didiskualifikasi untuk tidak ikut OSN mapel fisika perwakilan SMA Galaksi di tingkat provinsi.

"Yang pertama. Alfiani Amelia. Kamu hebat. Kamu mampu bertahan sejauh ini. Tetap semangat, jangan berkecil hati. Mungkin belum takdirmu untuk mengikuti OSN tahun ini. Kamu boleh mencobanya lagi tahun depan." Alfiani tersenyum. Dia menunduk sedih. Aurin yang duduk disebelahnya pun memeluknya. Memberinya semangat.

"Yang kedua. Natasha Aleah. Nilai kamu memang naik beberapa hari terakhir. Tapi, entah apa yang membuatmu tidak fokus pada seleksi ini hingga membuat nilaimu berubah drastis dari biasanya. Kamu hebat. Kamu mungkin kurang beruntung, dan cobalah lagi tahun depan." Aleah tersenyum getir. Hari ini memang badannya agak kurang sehat. Mungkin itu yang membuat nilainya turun.

Pak Arie meletakkan papernya di meja, lalu menatap kami semua lekat-lekat. "Dan karena saudara Aaron Blenda yang lolos seleksi kali ini mengundurkan diri, mari kita rapat sejenak untuk menyelesaikan masalah ini bersama-sama."

"Pak Arie masih mau narik dia jadi tim?" tanya Aurin. Pak Arie mengangkat bahu. Tidak berkomentar. Aku mengangkat tangan, mencoba mengajukan suaraku. "Mohon maaf Pak, sebenarnya saya sangat ingin Aaron tetap berada di tim. Tapi disisi lain, saya khawatir, dia tidak lagi kompeten pada olimpiade fisika ini. Mengingat dia bergabung di tim karena pacarnya."

Pak Arie tidak mengomentari pendapatku. Beliau bertanya pada Faris, karena dia adalah satu-satunya lelaki selain Pak Arie di ruangan ini. "Bagaimana menurutmu Faris?"

Faris tersenyum miring. Dia menjawab dengan tenang. "Pertanyaan saya kembalikan kepada Bapak. Seberapa siap cadangan yang Bapak siapkan. Pastinya sebelum kami memberitahukan ketidaksanggupan Aaron terhadap olimpiade ini, Pak Arie sudah tahu dan langsung mempersiapkan cadangannya jauh-jauh hari."

Pak Arie tertawa. "Kau ingin mengeluarkan Aaron, Faris?" Faris diam tak bergeming. Dia menunggu kalimat berikutnya dari Pak Arie.

"Baiklah Faris, kau memaksa saya untuk menceritakan hal ini." Kami semua memasang telinga lebar-lebar, mendengarkan penuturan yang lebih jelas dari Pak Arie.

"Sejujurnya, sama seperti Irish. Saya masih mau menarik Aaron masuk lagi ke dalam tim. Kalian tahu mengapa? Dia lebih serius daripada siapapun. Dia mempunyai tekad yang tinggi terhadap fisika. Awalnya saya menganggap pernyataan dia pada awal kali kita bertemu adalah gurauanya dia. Saya pernah secara langsung mengajaknya untuk langsung bergabung kedalam tim inti. Namun dia menolak. Saya memaksa dan dia bercerita tentang alasan klise dia. Saya terima penolakannya, tapi dengan syarat, dia harus masuk kedalam 7 besar"

"Lalu sekarang, bapak akan melepaskannya?" tanya Rora

"Itu perjanjian kita sejak awal." Jawabnya.

"Lalu kita kekurangan orang bukan? Apa bapak akan menarik diantara Aleah dan Alfiana masuk kedalam tim lagi?" tanyaku.

"Saya sudah mempersiapkan cadangan sejak awal perjanjian saya dengan Aaron. Dia tidak pernah ikut bimbingan bersama kalian karena saya membimbingnya secara privat. Dia pintar, tapi saya tahu dia tidak sepintar Aaron. Tapi dia sanggup untuk ikut OSN bersama kalian." Nafas kami tertahan.

"Saya panggilkan....."

###