Chereads / Broken White / Chapter 1 - Menolak Patah Hati

Broken White

🇮🇩Sekarani
  • 282
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 348.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Menolak Patah Hati

Patah hati itu jelas menyakitkan. Kamu memang tidak bisa melihat serpihan hatimu yang terlanjur hancur secara kasat mata tanpa terkendali tapi itu benar-benar menyiksa. Kamu merasakan sesak yang teramat hingga mungkin jadi sulit bernapas. Kamu tidak selalu menangis tersedu-sedu tapi itu sebenarnya menandakan kesedihan yang lebih parah.

Patah hati yang paling menyedihkan? Semua orang tentu punya versinya sendiri. Namun bagi Kirana, itu adalah ketika hatinya dipatahkan seseorang yang mestinya bahkan tak punya hak untuk melakukan apapun terhadap perasaannya. Seseorang yang sejak awal bukan pilihannya dan tidak pernah berniat memilihnya pula.

Ini seharusnya bukan kisah cinta bertepuk sebelah tangan.

Kirana yakin dia tidak mencintai lelaki itu. Dia tidak menyangka kalau ternyata keyakinannya itu salah besar.

Dia jatuh cinta. Dia menghindar. Dia mengelak. Akhirnya, dia patah hati.

"Bodohmu ini mau dipelihara sampai kapan?"

Setelah mengatai dirinya sendiri bodoh, Kirana memutuskan untuk mengabaikan perasaannya. Lagi.

***

Ini adalah pagi yang paling melelahkan. Setelah hampir lima hari mengurung diri di sebuah kamar home stay, Kirana akhirnya bisa sedikit bernapas lega.

Sebenarnya tidak mengurung diri dalam arti sesungguhnya, sih. Kirana masih sempat keluar untuk sesekali menghirup udara segar, menikmati pemandangan alam yang didominasi hijau perkebunan teh. Bagaimanapun, dia sengaja memilih tempat yang jauh dan tenang untuk menuntaskan proyek novel barunya. Terlalu sayang jika cuma di kamar seharian.

Namun, lebih dari 20 jam dalam seharinya, Kirana mengasingkan diri di kamar. Dia mungkin hanya tidur kurang dari tiga jam setiap hari. Dua malam terakhir bahkan terasa lebih berat karena dia hampir benar-benar tidak bisa memejamkan mata akibat terobsesi untuk membaca naskahnya berulang kali, memastikan tidak ada yang terlewat, apalagi kesalahan sepele seperti salah ketik.

Jadi tidak berlebihan jika Kirana merasa pagi ini begitu melelahkan. Dia baru tidur selepas subuh, belum sampai dua jam, tapi kemudian dipaksa bangun oleh orang paling menyebalkan yang sialnya adalah sahabat andalannya.

"Bangun, Na! Makan dulu, terus terserah kalau mau tidur lagi," kata Firda, si sahabat andalan Kirana sambil menggoyangkan tubuh Kirana yang masih bertahan dengan selimut tebalnya.

"Aku berangkat abis subuh dari rumah. Jauh-jauh ke sini bukan cuma buat jemput kamu. Aku mau jalan-jalan pagi di kebun teh juga. Tapi aku harus mastiin kamu sarapan dulu. Bangun, Na!"

Kirana bahkan tidak paham apa hubungan Firda ingin jalan-jalan pagi di kebun teh dan jadwal sarapannya. Dia tidak ingin mengunyah apapun sekarang, dia hanya butuh tidur lebih lama.

"Kirana!" suara Firda naik satu oktaf.

"Ya.... Kasih aku 10 menit lagi...," Kirana menyerah. Dia tahu Firda tidak akan diam sebelum dirinya bangun dan makan, sesuai kehendaknya.

Sahabat andalan tapi menyebalkan.

***

"Tempat ini jauh lebih baik ketimbang yang kukira ternyata. Wah, mereka bahkan punya WiFi. Pantes kamu bisa betah sampai lima hari di sini."

Kirana tidak menanggapi celotehan Firda. Dia hanya duduk tenang di bangku yang ada di beranda kamar, mengunyah nasi goreng plus telur dadar sebagai sarapannya dengan mata sayu khas orang kurang tidur.

"Kamu udah tahu juga, kan? Kemarin heboh banget di medsos. Udah kayak berita seleb kawinan gitu."

Kirana sempat berhenti mengunyah karena merasa terusik dengan pertanyaan Firda.

"Seharusnya dia beneran pergi sekarang. Kali ini, jangan bukain pintu lagi kalau dia datang. Dia tamu yang nggak jelas," Firda melanjutkan kalimatnya karena tidak mendapatkan balasan dari Kirana.

Keduanya sedang duduk di balkon kamar Kirana yang berhadapan langsung dengan hamparan perkebunan teh. Ini sudah hampir pukul 8 pagi tapi udaranya masih sangat dingin. Sebagian area perkebunan masih tertutupi kabut, mungkin bahkan sampai menjelang tengah hari nanti.

"Gimana rasanya, Da?" Kirana akhirnya bersuara.

"Rasanya apaan?"

"Menikah sama orang yang sebelumnya nggak kamu kenal."

Firda curiga Kirana sedang mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Pertanyaan itu tidak ada hubungannya dengan apa yang dia jadikan bahan obrolan tadi. Ini masalah berbeda.

Apapun itu, Firda memang memutuskan menikah dengan pria pilihan orang tuanya. Suaminya adalah anak dari teman baik ayahnya. Namun, sebelumnya mereka benar-benar tidak pernah saling mengenal.

"Kami udah hampir empat bulan bareng. Sejauh ini semua berjalan sebagaimana mestinya. Dia bukan pria sempurna tapi dia luar biasa sabarnya," kata Firda.

Kirana cukup puas dengan jawaban Firda, terlebih soal 'luar biasa sabar'. Sahabatnya bukan orang yang mudah ditangani. Pemangkasan waktu tidurnya pagi ini adalah contoh nyata dalam versi paling sepele.

Suami Firda pasti juga merasakan penderitaan serupa. Kalau habis subuh dia sudah harus menyetir demi mengantarkan sang istri, jam tidurnya jelas bisa dipastikan terpangkas secara dramatis.

"Ngapain tanya begituan? Jangan bilang kalau kamu juga mau pasrah aja?" selidik Firda. "Orang tuamu bukannya santai banget, ya? Mereka udah berubah pikiran?"

Baru saja Kirana ingin menjawab rentetan pertanyaan itu, tiba-tiba perhatiannya teralihkan dengan dering ponsel miliknya. Kirana pun dengan malas-malasan masuk ke kamar, mengangkat telepon, lalu kembali ke balkon untuk duduk di samping Firda lagi.

"Nanti sore paling udah sampai rumah, Bu. Ini yang jemput malah udah datang," kata Kirana. "Firda, dong. Siapa lagi?"

"Ya, kamu emang cuma punya aku.... Awww!" Firda pikir dia hanya menggumam pelan tapi ternyata Kirana dengar juga, sampai berujung kena jitak.

Reaksi Firda yang kini mengeluh kesakitan sambil memegang kepalanya terkesan berlebihan. Tangan Kirana bahkan tidak benar-benar mendarat ke kepalanya. Dia cuma melakukan gerakan menjitak di atas kepala Firda. Namun begitulah Firda, harus banget dibikin dramatis.

"Iya, Bu. Mana ada aku punya rencana kabur. Sebelum magrib aku sampai rumah, deh. Ini mau nemenin Firda jalan-jalan dulu," Kirana yang masih berbicara dengan seseorang di telepon.

Sialnya, Kirana langsung menyesali kalimat terakhir yang ia ucapkan barusan. Dia melihat wajah Firda sekarang sudah sangat antusias dan penuh harap. Kirana yakin Firda setelah ini akan menagih realisasi omongannya. Padahal, tadinya setelah makan dia berniat rebahan lagi sampai siang.

Tak lama kemudian, telepon ditutup. Kirana melanjutkan sarapannya.

"Di deket sini katanya ada air terjun. Nanti ke sana, ya! Beberapa hari kemarin hujan, kan? Airnya pasti banyak. Bagus buat foto, Na!"

Sesuai dugaan. Hilang sudah kesempatan Kirana tidur seharian sebelum pulang.

Eh, tapi bagaimana jika Kirana mencoba mengalihkan perhatian Firda? Siapa tahu minatnya jalan-jalan minimal jadi agak berkurang.

"Calon suamiku nanti sore mau ke rumah sama keluarganya. Kita pulang agak cepet, gimana?" kata Kirana dengan santai, lalu kembali memasukkan sesendok nasi ke mulutnya.

"Hah? Gimana? Gimana? Calon suami? Nanti sore ke rumah?"

Kirana tersenyum. Firda benar-benar kelihatan lebih heboh ketimbang membahas perkara jalan-jalan tadi. "Iya, calon suami. Hebat, kan, aku? Mendadak pamer calon suami."

"Siapa orangnya? Aku kenal?"

"Kayaknya kamu nggak kenal, deh."

"Orangnya kayak apa? Baik? Ganteng? Kaya?"

"Nggak tahu, deh."

"Kok, gitu???"

Kirana hanya mengangkat kedua bahunya. Iya, memang kenyataannya Kirana tidak tahu apapun tentang calon suaminya. Sebelum ini, dia terlalu tidak peduli dengan kehidupan orang itu.

***

"Kamu udah sejauh ini dan nggak cerita apapun sama aku? Wah, ternyata pertemanan kita nggak sedekat itu, ya."

Kirana akhirnya menceritakan kronologi rencana perjodohan dengan seseorang yang kisahnya terlalu klise itu.

"Sejauh apa, sih, maksudmu? Dimulai aja belum, lho," Kirana malas-malasan menanggapi Firda. Dia berharap bisa tidur sebentar sebelum sampai rumah.

Mereka baru saja keluar dari area perkebunan teh di wilayah Kulonprogo, Yogyakarta, dan diantar suami kesayangan Firda kembali menuju pusat kota. Sungguh perjalanan pulang yang melelahkan bagi Kirana.

Ya, tentu saja mereka pulang setelah sebelumnya Kirana menemani Firda jalan-jalan sambil menahan kantuk setengah mati. Dugaannya meleset. Ternyata fokus Firda tetap tidak teralihkan. Dia menuntut cerita lengkap tapi juga masih harus ditemani mendatangi beberapa tempat wisata di sekitar perkebunan.

"Rencananya udah ada sejak 2 tahun lalu, Na. Ini jelas bukan main-main. Kalau kamu iya-iya aja kayak begini sekarang, bisa jadi bulan depan kamu udah jadi istri orang," Firda masih heboh.

"Nggak apa-apa. Jadi istrinya GM kayaknya lumayan juga. Aku bisa berhenti kerja terus alih profesi jadi sosialita."

"Heh? GM? General Manager?"

Firda baru sadar kalau ada satu hal yang luput dari perhatiannya sejak tadi, yakni pekerjaan calon suami Kirana. Sejak awal Kirana belum menyebutkan perihal itu, Firda juga lupa bertanya.

Kirana suka punya teman ekspresif kayak Firda. Kadang, membuat Firda heboh dan bereaksi berlebihan begini bisa jadi hiburan untuknya.

"GM di mana, Na?" Kali ini pertanyaan bukan datang dari Firda, melainkan suaminya. Penasaran juga ternyata. Kirain bakal cuma jadi pendengar sepanjang perjalanan.

Sayangnya, rasa penasaran pasutri itu tak bisa langsung terbayar. "Nggak tahu. Lupa. Nanti, deh, aku tanyain pas ketemu," jawab Kirana sekenanya.

"Ampun, deh, Na! Kamu beneran nggak tahu apa-apa soal dia? Jangan secuek ini, dong. Kalau dia ternyata punya catatan kriminal gimana? Pernah korupsi? Perusahaan dia sekarang jadi pusat money laundry? Atau, dia punya maksud terselubung nikahi kamu?"

Terserah Firda mau bilang apa lagi. Sahabatnya itu kebanyakan membaca fiksi. Lebih baik Kirana tidur.