Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

survive.

DaoistQhIFvm
--
chs / week
--
NOT RATINGS
8.7k
Views
Synopsis
Saat itu terjadi begitu saja. Aku menyaksikan semua awal mula bencana ini terjadi. Bencana yang telah merubah seluruh hidup ku dan kota ini hanya dalam waktu sekejap. Saat itu sebuah kecelakaan beruntun terjadi di depan aparment ku. Kecelakaan tersebut merubah siang hari yang normal menjadi sangat kacau. Jalanan macet seketika. para pejalan kaki dan pengendara turun ke jalan hanya untuk melihat apa yang terjadi, beberapa dari mereka berhamburan menolong korban yang tergeletak di jalan maupun yang terjepit di dalam kendaraannya sendiri. Namun itu semua bukanlah bencana yang ku maksudkan tadi. Bencana itu bermula saat orang-orang teralihkan oleh para korban kecelakaan. Mereka mengabaikan truk box yang terguling itu tergeletak dengan pintu boxnya yang terbuka. Tanpa menyadari kita semua sudah membiarkan monster itu keluar dari sana. Membiarkan seorang bocah laki-laki berkulit pucat dengan darah berlumuran pada mulut dan badannya memulai semua bencana ini.
VIEW MORE

Chapter 1 - bab 1

Aku mengambil sebotol besar orange juice dan mengeluarkan seporsi lasagna yang baru saja ku hangatkan di microwave dengan sebelah tanganku yang masih kosong. Sebelah pundakku masih menahan telepon agar tetap menempel di pundakku. Akhir-akhir ini mba Wina sangat bawel menanyakan kapan pengerjaan novel ku ini selesai, padahal dia tahu sendiri aku tidak suka di buru-buru begini.

"Tenang mbak bulan-bulan ini cerita ku beres ko. Aku tuh lagi mikirin untuk buat ending cerita ku ini ngga ke tebak, biar plot twist cerita ku ini ambyar, mba kan tahu penggemarku suka novel ku karna plot twist cerita yang bagus," aku menendang pintu, membuka pintu balkon apartment ku-tempat favorit ku untuk menemukan ide untuk cerita ku.

Aku bisa mendengar mba Wina menghela nafas dari balik teleponnya,

"Lisa.. mba percaya novel kamu ini bakal jadi novel terbaik dan best seller seperti karya-karya kamu sebelumnya, tapi pak Jhonny sudah bawel banget nanyain kapan karya kamu selanjutnya bisa di terbitin, kasih aja mba tanggal pastinya jadi mba bisa kasih tau pak Jhon-"

"Mba," aku memotong ucapan mba Wina dan menaruh orange juice dan lasagna yang dari tadi ku bawa ke atas meja.

"Aku ngga bisa ngasih tanggal pastinya ini selesai, karna kegiatan aku tuh bukan cuman menulis aja mba, aku masih harus ngurus Tania yang baru pindah sekolah tambah lagi kerjaan rumah yang numpuk ngga beres-beres jadi kalau pak Jhonny ngga bisa bersabar, bilang ke dia aku bakal cari penerbit baru." Aku menutup telepon dan memasukkannya ke saku celana.

Aku rasa itu cukup membuat mereka hening untuk saat ini. Aku tidak suka jika terus di baweli seperti itu. Menulis tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan, dan aku juga butuh waktu untuk menyelesaikannya.

Aku mengambil lasagna yang tadi ku taruh di meja, mood ku untuk menulis sudah hilang karena telepon berusan, sekarang aku hanya ingin menyantap kudapanku ini sambil melihat-lihat sekitar seperti yang sering ku lakukan .

Siang hari ini semuanya terlihat normal seperti biasanya dari lantai 3 apartment ku. Lalu lalang kendaraan yang cukup padat, para pejalan kaki yang kebanyakan pegawai kantor yang sedang mencari makan siang, semua cukup jelas terlihat dari sini.

Mengamati hal yang tidak penting seperti ini sudah menjadi kebiasaan ku semenjak pindah ke apartment ini. Aku memutuskan untuk membeli apartment ini karena berada di dekat pusat kota Jakarta sehingga tidak perlu jauh-jauh untuk ke mana pun. Sekolah Tania, rumah sakit, mall, perpustakaan, kantor penerbit semuanya tidak membutuhkan waktu lebih dari 15 menit dari sini. Aku menyukainya. Semua masalah jadi mudah ter-handle saat aku tinggal di sini.

Aku mengalihkan perhatianku dari jalan dan memperhatikan restaurant cepat saji di seberang apartment ku, ada yang mencuri perhatianku di parkiran restaurant itu.

Aku melihat seorang pria yang sedang berargumen dengan seorang wanita. Laki-laki itu berdiri membelakangi ku tapi entah kenapa sosoknya tampak tidak asing untuk ku. Aku memicingkan mata melihat lebih jelas sosok perempuan itu. Aku mengenalinya. Dia pacar baru bang Vino, aku tak tahu siapa namanya tapi aku hafal wajah itu.

Bang Vino, dia itu memang payah menjalin hubungan asmara, semenjak berpisah dengan almarhum kak Tya, bang Vino tidak pernah awet berpacaran, yang paling lama dengan yang sekarang ini, itu pun baru berjalan sebulan dan kalau ku perhatikan kerjaan mereka hanya bertengkar. Kadang kasihan juga melihat abang ku itu ngga bisa move on dari kak Tya tapi kalau di pikir-pikir nasib ku ini jauh lebih menyedihkan.

Perempuan itu terlihat mendorong mendorong bang vino dan pergi meninggalkannya. Sepertinya kali ini mereka sudah benar-benar berakhir. Aku mengambi telepon dari kantong celana ku dan menelefon bang Vino. Waktunya sang adik menghibur kakaknya.

"Halo.." suara bang Vino terdengar tenang di telepon.

"Lo baru di putusin ya bang," jawabku langsung ke inti,

"Loh Lo tau..," bang Vino tidak melanjutkan omongannya, ia menengok ke apartment ku, menangkap sosok ku di atas sini.

Aku menyengir," bang lo udah mau berkepala tiga serius dikit ngapa pacarannya," aku melahap lasagna ku yang sudah mulai dingin.

"Lisa sayang, urus aja urusan lo sendiri, cari papah tuh buat Tania, jangan cuma ngomentarin hidup gua mulu," bang Vino mengacungkan jari tengah padaku,

"Tania udah punya papah bang, gue papah sekaligus mamah buat dia dan itu cukup," aku membuang muka dari bang Vino lebih memilih untuk mengamati ramainya jalan raya.

Bang Vino selalu begitu, menyuruhku untuk berkencan dan aku tidak pernah tertarik melakukan itu. Aku merasa baik-baik saja, hanya ada aku dan Tania itu sudah cukup untukku, selama aku masih sanggup membiayai sekolah, makan, dan hidup Tania semuanya akan baik-baik saja.

"Lo tau ngga kemaren Tania nanya ke gue, katanya kenapa dia ngga bisa punya papah lagi Hahaha," kata bang Vino

"Trus lo jawab apa?" tanya ku penasaran, Tania jarang menanyakan papahnya padaku, ia lebih suka bertanya pada bang Vino.

"Gue bilang 'sabar nanti juga Tania bisa punya papah lagi yang ganteng kaya bang Vino' hahaha"

"Gila lo!" semburku mendengar perkataan bang Vino.

Aku menyuap suapan terakhir lasagna ku sambil terus mengamati jalan, tapi kali ini mata ku tertuju pada sepeda motor itu. Sepeda motor yang berada di ujung jalan sana sangat mengganggu pikiranku.

Sepeda motor itu berjalan ngebut ke arah sini tapi kenapa motornya terlihat sedikit oleng?

"Sa lo denger ngga?! Dari tadi gue ngoceh lo diem aja,"

"Iya-iya gue denger," jawab ku bohong.

Aku terlalu fokus pada sepeda motor itu, semakin dekat ia kemari semakin jelas aku melihat si pengendara mencoba untuk menyeimbangkan motornya. Tangannya terus menekan rem tapi sepertinya benda itu tidak berfungsi. "Ngga.. ngaa.." aku bergumam sendiri,

"Ngga-ngga apaan sa?" Tanya bang Vino bingung,

"Itu rem blong bang, motornya rem blong!" teriak ku.

Aku melihat ke depan sana, tepat di depan motor rem blong itu ada motor lainya yang tidak mungkin bisa ia hindari dengan kecepatan seperti itu. Pengendara motor rem blong itu pun berkali-kali membunyikan klakson memperingati pengendara di depan.

"Motor siapa yang blong sa-," ucapan bang Vino berhenti saat suara tabrakan yang cukup kencang terdengar dari telepon maupun dari atas sini.

Suara jeritan orang-orang terdengar nyaring saat motor itu di tabrak dari belakang tak jauh dari restaurant cepat saji. hantaman yang kuat membuat keduanya terpelanting dan terpisah dari sepeda motornya.

Suara jeritan semakin menjadi-jadi saat salah satu pengendara yang terpelanting mendarat tak berdaya di jalur berlawanan- tepat di depan truk box yang sedang melaju kencang. Munculnya tiba-tiba seseorang tergeletak di depan truk membuat pengendara truk itu dengan cepat membanting stir tepat sebelum bannya menggilas si pengendara motor.

Suara decitan dari ban truk itu terdengar nyaring sampai ke sini. Bantingan stir yang mendadak membuat kendaraan itu kehilangan keseimbangan, sebelah badannya mulai terangkat ke samping dan jatuh terguling menabrak pengendara mobil dan motor lain di dekatnya.

Saat itu juga kecelakaan beruntun telah terjadi di depan mataku, membuat semua orang di sekitar terkejut dengan kejadian itu tidak terkecuali diriku sendiri, tanpa aku sadari kotak makan ku bergetar di tangan dan keringat mulai mengalir di keningku. Ini kali pertamanya aku menyaksikan sebuah kecelakaan.