Rintik-rintik air hujan tampak turun dengan derasnya sembari membasahi permukaan bumi.Beberapa kali menghantam atap rumah, menimbulkan bunyi-bunyi bising yang cukup menenangkan.
Remaja bernetra ruby itu keluar dari arah dapur, membawa secangkir kopi panas.Menduduki sofa ruang tamu, remaja itu membuka laptop miliknya.Seluruh isi pikirannya telah terfokuskan dan teralihkan pada satu titik, yaitu layar laptop dan isinya.
'Kriieeeet!'
"Kami pulang"
Seruan dan deritan pintu yang terdorong membuatkan kedua mata Halilintar terlempar jauh kearah sumber suara.Kedua adiknya, Taufan dan Gempa baru pulang? Melirik ke jam dinding yang tergantung tak jauh dari keberadaan mereka, Halilintar berdecak samar.
"Kenapa pulang terlambat? Kalian tahu kan ini hampir larut?" Pertanyaan Halilintar yang terdengar dingin dan datar menghentikan aktivitas keduanya.
Gempa menundukkan kepalanya, dia tahu pasti Kakaknya akan marah.Apalagi dia kan tidak suka dengan kata terlambat. "M-maaf Kak, kita telat.Soalnya tadi_"
"Yeah kau tahulah Kak, dijalan itu macet parah ditambah lagi dengan hujan lebat yang tak berkesudahan.Makanya kita telat, ehehe..." Sebelum Gempa mengatakan hal yang sebenarnya Taufan sudah memotongnya lebih dulu, seperti biasa dia selalu bisa tersenyum lebar dalam kondisi apapun.
Terdiam sejenak, sebenarnya melihat perangai Taufan membuat Halilintar sedikit curiga namun alasan yang diberikan Taufan memang benar sih.Tadi dia juga sempat terjebak macet, untung dia masih bisa pulang cepat karena dia naik motor bukan mobil.
"Oke, kalian ganti baju sana terus mandi" Titah Hali, kembali menurunkan pandangannya dan menatap layar laptop yang bercahaya.
"Baik, Kak"
Mengangguk patuh, Gempa mulai menapakkan kakinya menaiki anak tangga.Sedangkan Taufan? Oh jangan ditanya, dia mah sudah melenggang pergi lebih dulu sebelum Halilintar mengatakan kalimat itu.
Akhirnya suasana kembali lengang, Halilintar kembali disibukkan oleh beberapa laporan yang diberikan oleh paman mereka.Panggil saja Paman Chen, dialah orang yang amat berjasa bagi mereka bertiga.
Karena tanpa dia, mungkin Halilintar dan adik-adiknya yang lain takkan bisa bertahan hidup layaknya manusia normal.Sedari kecil mereka terbengkalai dan terbuang, mereka tak memiliki seperak uang pun untuk membeli secuil makanan.
Namun ketika mereka bertiga bertemu dengan Paman Chen semuanya berangsur berubah.Paman Chen menawari sebuah pekerjaan pada Halilintar, menjadi seorang pengurus perusahaan dan menjadi wakil langsung dari Paman Chen.
Yeah, diusia yang terbilang amat muda seharusnya Halilintar takkan mampu mengurusi semua urusan orang dewasa itu.Tetapi lagi-lagi keajaiban berpihak pada Halilintar, dengan bantuannya saat ini Paman Chen sudah hampir menguasai dan bekerja sama dengan perusahaan dikota ini.
Dan sekarang, Halilintar ditugaskan untuk mengurusi perusahaan Paman Chen yang ada di kota Newyork, Amerika Serikat.Ada beberapa kendala disana, seperti kekurangan tenaga kerja dan sumber daya alam.Nah disanalah Halilintar ditugaskan untuk mencari orang-orang yang bisa diajak kompromi dan bekerja sama.
Tengah fokus membaca laporan yang diberikan oleh sekretaris Paman Chen, getaran kecil yang berada di dalam kantong saku celananya membuatkan seluruh pikiran Halilintar buyar.
Merogoh kantong celana miliknya, Halilintar mengambil ponsel tersebut. "Halo?"
*****
"Assalamu'alaikum, Maya pulang" Maya
berseru sembari mendorong daun pintu lantas melangkahkan kaki kearah depan.Memasuki ruangan.
Kehadiran Maya disambut baik oleh Tante Jenny yang tengah sibuk mengurusi putrinya, Akira.Maya melepas kedua sepatunya, menaruhnya diatas rak dimana tempat sepatu berada.Melepas tas ransel yang selalu setia menempel dipunggungnya, Maya berjalan mendekati Tante Jenny lantas menyalaminya.
"Eh Maya, diluar kan masih hujan kamu kok gak basah?" Tanya Tante Jenny setengah heran.
"Hehe iya Tan, tadi ada temannya Maya yang nganterin"
"Wah baru sebentar saja kau sudah punya teman juga ya? Siapa namanya? Laki atau perempuan?" Ucap Tante Jenny setengah meledek.
"Idih, Tante Jenny apaan sih?" Elak Maya seraya membuang arah pandangannya, menahan malu.
"Itu jaket yang kamu pakai punya siapa, May? Tante jamin seratus persen itu bukan punyamu kan?"
Maya meringis kikuk, menggaruk rambut panjangnya yang tak gatal. "Iya Tan, ini punya teman Maya namanya Gempa"
"Eh, Gempa? Gempa bumi'kah?" Ujar Tante Jenny, tak terlalu paham.
"Idih bukanlah Tan, Gempa itu nama orang.Memang sih namanya sedikit unik tapi dia anaknya baik kok, Tan"
"Laki-laki ya?" Lagi-lagi Tante Jenny mulai meledek Maya dengan menggerakkan kedua alisnya keatas.
Menggelembungkan salah satu pipinya yang gemoy, Maya merengut.Mengibaskan tangan kanannya keudara, memasang wajah sok ngambek. "Ih tahulah Tan, Maya capek mau istirahat"
Melihat sang keponakannya yang merajuk, Tante Jenny terkikik geli. "Okelah, kamu mandi terus ganti baju ya biar gak demam"
"Iya, iya" Jawab Maya yang mulai melangkahkan kakinya menuju kearah kamar kepunyaannya.
Membuka pintu kamar pelan, Maya melenggang masuk kedalam kamarnya yang serba pinky itu.Menaruh tas ranselnya diatas meja belajar, Maya mulai membersihkan diri.
Seperti ganti baju sampai mandi, ia lakukan didalam kamar mandinya.Tak perlu membuang waktu yang lama, Maya timbul dari ujung pintu wcnya beberapa menit kemudian.Memakai pakaian tidur berwarna putih polos dengan celana yang senada dengan pakaian miliknya, Maya semakin menawan dengan rambut yang terurai.
Berjalan kecil menghampiri jendela, pandangan Maya terlampau lurus menghadap keatas.Menatap jauh kearah gumpalan awan yang sendu, Maya mulai bernostalgia dengan peristiwa yang baru saja ia lalui tadi siang.
Entahlah apa yang terjadi tapi Maya tak bisa berhenti memikirkan laki-laki itu.Ya kalian benar, Gempa.Satu-satunya laki-laki yang berhasil membuat Maya luluh dalam sekali pertemuan, sudah genap dia jatuh cinta pada pandangan pertama.
Gempa itu termasuk laki-laki yang disukai oleh Maya.Baik, ramah, santun, penolong, dan tampan.Kalau diibaratkan, Gempa itu adalah paket lengkap.Sempurna dan tidak ada kekurangannya.
Tapi...apakah Gempa juga merasakan hal yang sama pada Maya?
Oh ayolah, Maya tak ingin bertepuk sebelah tangan.Dia ingin Gempa juga jatuh hati pada dirinya namun kalau tidak bagaimana? Mengacak rambutnya sejenak, Maya berteriak frustasi pada dirinya sendiri.
"Akh! Taulah, kayaknya aku udah baper berat deh sama Gempa.Huuaaa Gempa, jadi orang jangan terlalu baik dong! Kan sekarang gue jadi baper, kalau udah baper gini salah siapa coba" Gumam Maya seorang diri, kembali menatap gumpalan awan yang menghitam.
Membayangkan bagaimana reaksi Gempa yang menabraknya tadi pagi sampai tiba dimana dia mengantarkan Maya sampai didepan rumahnya, entah kenapa membuat Maya ingin bersorak bahagia pada alam semesta.
Tanpa disadari, kedua sudut bibir Maya tertarik samar.Menimbulkan sebuah senyuman tipis yang sangat sulit diartikan oleh kata-kata, itu membuat Maya terlihat semakin cantik dan manis.
Oh iya Maya teringat satu hal, ia memutar kepalanya.Berjalan menghampiri sebuah jaket yang tersampirkan diatas kasurnya, Maya menggapai jaket tersebut.Duduk diatas hamparan ranjangnya yang empuk, Maya memangku jaket milik Gempa.
"Ya ampun, melihat jaketnya saja sudah membuat jantungku lari marathon apalagi kalau besok aku harus berjumpa lagi dengannya!"
🌺~~*~~🌺