Chereads / TERPERANGKAP PESONA CEO (20) / Chapter 46 - MENENANGKAN DIRI

Chapter 46 - MENENANGKAN DIRI

-POV Reza-

Saya sudah berkemas. Dan tidak ada satu pun yang tahu, kalau saya tidak jadi pergi ke Kepulauan Mentawai. Terlalu jauh dari sini. Saya nanti susah bertemu Nayla. Walau pun dalam kondisi seolah terbuang seperti ini. Tak mengapa asalkan saya bisa terus melihat Nayla.

Diam-diam saya mengurus proses pengambilan mobil, yang sudah diderek oleh petugas. Dan dengan kendaraan itu pula, saya akhirnya memutuskan untuk pergi berlibur ke Pulau Anyer.

Setelah banyak pertimbangan, saya memilih lokasi tersebut, karena dekat dari Jakarta. Untuk menuju Pulau Ayer, saya memang harus menempuh perjalanan sekitar 20 hingga 30 menit menggunakan speedboat dari Marina Ancol.

Tak mengapa, kendaraan saya tinggalkan di tempat penginapan mobil, di Marina Ancol. Saya pergi pagi-pagi sekali, di saat Papa dan Mama belum terbangun.

Ketika sudah sampai di Pulau Anyer, saya pergi ke penginapan. Pulau Ayer sendiri menawarkan cottage biasa dan floating cottage.

Kebetulan saya memilih floating cottage, saya ingin bisa mendengar deburan ombak dan melihat hamparan laut yang luas. Bagi saya, ini dapat membuat hati dan perasaan saya sedikit banyak menjadi nyaman.

Terlalu pelik kehidupan yang saya jalani ini. Apa mungkin karena saya masih dianggap terlalu muda untuk memimpin dan mengambil keputusan? Apa saya terlalu memperturutkan sisi emosional saya sebagai seorang lelaki muda?

Apa yang telah saya perbuat ini salah? Hingga merugikan kejayaan bisnis Papa. Sungguh pertanyaan-pertanyaan ini membebani otak di dalam kepala.

Saya sudah duduk di depan cottage yang saya sewa. Deburan ombaknya benar-benar membuat perasaan saya menjadi sedikit terobati, dari semua ketidak nyamanan yang saya ciptakan. Sendiri di sini, membuat saya jadi bisa memikirkan banyak hal, terlebih dengan suguhan hamparan laut yang membentang luas, laksana permadani alam, berwarna biru, yang menyejukkan mata.

Matahari mulai meninggi, saya sempat terlelap di teras cottage, yang terbuat dari kayu. Percikan air laut sempat mengenai wajah tampan saya. Kaca mata hitam yang saya gunakan, cukup membantu mengelabui tetangga penghuni cottage yang lain. Mereka pikir saya hanya sedang berleha-leha di teras ini.

Jarak antara satu cottage dengan cottage yang lainnya, kira-kira 100 sampai 150 meteran. Dipisahkan oleh jembatan yang juga terbuat dari kayu. Cukup aman dan kokoh. Pulau Anyer, selalu ramai. Sebab fasilitasnya lengkap. Pulau Ayer, menyediakan banyak rumah makan. Bahkan, ada juga restoran mengapung.

Di sini juga bisa melakukan aktivitas di air seperti banana boat, surf bike atau jet ski. Ketika menjelang sore, suasana pantai dan sunset indah juga sudah menunggu untuk dinikmati.

Selain itu, bagi yang hobi memancing juga bisa dilakukan di pulau indah ini. Bahkan, jika mendapatkan ikan, bisa langsung membakarnya dan menyantapnya di pinggir pantai, sambil ditemani deburan ombak yang menenangkan.

Tak hanya itu, pulau ini juga memiliki fasilitas seperti lapangan basket, voli, trek jogging, bahkan kolam renang. Fasilitas itu bisa digunakan secara gratis.

Sayangnya, tak bisa snorkeling di Pulau Ayer. Letaknya yang berada dekat dengan Pantai Jakarta membuat pencemaran di Pulau Ayer cukup tinggi. Jadi, Pulau Ayer cukup berbahaya untuk snorkeling.

Untungnya, saya tidak menyukai aktifitas yang berada di bawah air. Saya tidak bisa berenang, tapi, suka dengan suasana pantai.

Perut ini rasanya bergemuruh. Perlahan saya bangkit, dan menuju restoran. Banyak pelancong lokal dan internasional di sini. Saya tahu, banyak mata yang memandang ke arah saya. Postur tubuh yang sempurna begini, tinggi, tegap, serta perawakan yang memikat, mana mungkin akan dilewatkan oleh banyak kaum hawa.

Setiap meja yang saya lewati, berbisik-bisik, jika penghuninya wanita. Saya cuek saja, sesekali merapikan rambut, yang diterbangkan angin. Masih dengan kaca mata hitam. Ini wajib untuk dikenakan, saat berada di kawasan, yang dinaungi sinar mentari langsung.

Saat ini, saya hanya mengenakan baju kaos tanpa merk, dan celana pendek, khas pakaian yang dikenakan saat sedang berwisata di kawasan pantai.

Saya memilih duduk sendiri di pojokan, sambil bermain ponsel. Pesanan saya belum datang.

Saat menggunakan ponsel, yang selalu terbayang hanya Nayla. Keinginan menghubunginya begitu kuat sekali.

Saya akan menelponnya. Ini adalah jam makan siang, jadi dia pasti sedang makan bekal dari Tante Melati, di dapur.

"Hallo, Nayla."

Saya buru-buru menyahut, saat dia mengangkat telepon.

"Ya, hallo, Pak Reza."

Dari suaranya, tampak sedang sibuk. Mengerjakan apa dia?

"Sedang apa kamu, Nayla?"

"Ini, saya sedang memfotocopy file, Pak."

Saya kembali memastikan jam di tangan.

"Ini waktu istirahat! Siapa yang menyuruhmu mengerjakan itu!"

Entah kenapa, rasanya dada saya bergemuruh. Semena-mena sekali mereka pada Nayla, di saat tidak adanya saya di kantor.

Nayla tidak langsung menjawab, ia malah terdengar mencoba tertawa kecil.

"Atau jangan-jangan kamu kembali bekerja di toko fotocopy itu?"

Saya tidak sabar, makanya saya tanyakan kembali.

"Nggak, Pak Reza. Saya di kantor, Nabastala. Saya dimintai bantuan, sebagai karyawan di sini, saya tidak mungkin menolak, sebab, pekerjaan saya lebih banyak free dari pada sibuknya."

Nayla ini terlalu baik, apa memang sangat naif sekali.

"Siapa yang memintamu melakukan ini semua?"

Nayla tidak langsung menjawab, dia seperti sedang ragu.

"Nayla, kamu dengar saya?"

"Iya, Pak, saya dengar."

"Tolong katakan, siapa yang meminta kamu melakukan ini di saat jam istirahat. Ingat Nayla, kamu punya magh akut, jangan terlambat makan."

Saya jadi sangat khawatir dengan keadaannya.

"Iya, Pak. Sedikit lagi kok."

"Saya tanya siapa yang menyuruh kamu melakukan pekerjaan ini?"

Saya kembali menegaskan pertanyaan yang diabaikan Nayla.

"Nggak perlu Pak Reza tahu, saya nggak apa-apa kok!"

"Kenapa Nayla? Kesehatan kamu itu lebih penting!"

"Saya butuh tambahan uang, Pak Reza!"

Kalimatnya itu membuat saya terbungkam. Ya Tuhan, kenapa saya sampai lupa mengurus pembayaran lemburnya waktu itu.

"Apa uang kamu sudah habis sekali?"

Nayla menjawab dengan, "Mmm."

"Baiklah, Nayla. Sekarang kamu istirahat saja, makan dulu. Saya akan transfer uang lembur kamu sekarang. Tolong kirimkan nomor rekening kamu," ucap saya padanya.

Nayla terdengar agak meragu. Tapi, pada akhirnya dikirimkannya juga, setelah sambungan telepon saya akhiri.

Saya langsung memeriksa dana di rekening via mobile banking. Beruntung sinyal di sini cukup bagus.

Tak lama, proses transfer pun berhasil. Saya mengirimkan dua juta rupiah padanya.

Kemudian saya hubungi lagi Nayla.

"Hallo Nayla. Lemburmu sudah saya bayarkan. Apa kamu masih di depan mesin fotocopy?"

Saya mencoba memastikan, sebab tidak ingin dia menyiksa diri sendiri, hanya karena butuh uang tambahan.

"I-iya, Pak. Terima kasih. Saya ... sedikit lagi, tanggung."

Saya menghela nafas dalam. Makanan pesanan sudah datang. Rasanya, takkan mudah menyantapnya, sementara Nayla di sana justru belum makan sama sekali.

***

***