Mayang duduk di kursi meja kasir, ujung jarinya mengetuk-ngetuk sisi meja, dan satu tangannya menopang dagu dengan pikirannya yang melayang, memikirkan apa yang diucapkan oleh Marven.
"Apa aku harus ikut kontes itu ya?" Gumam Mayang. Sari yang ada di belakangnya langsung bertanya dengan nada pelan, namun hal itu membuat Mayang terjingkat kaget tak menyangka jika ada yang mendengar apa yang sedamg Ia gumamkan.
"Kontes apa Buk?" Tanya Sari.
"Ih, kamu Sar, ngagetin aja."
"Tadi Sari dengar, Ibu mau kontes. Tapi kontes apa?"
Mayang menarik nafas panjang lalu duduk menyandar di kursinya. "Kontes masak, tingkat internasional."
"Wah, ikut aja buk, nanti kalau menangkan restoran kita kan jadi tambah besar, atau mungkin kita bisa cepet selesaikan resort kita yang dipinggir pantai itu buk dari hasil ibu memenangkan kontes." Ujar Sari.
"Betul juga ya, Sar."
"Iya buk, kan sayang pembangunan resort itu kan tinggal sedikit lagi buk, mangkrak akibat dana. Coba ibu bilang sama bos Riko pasti udah dibantuin jadi resort cepet selesai. Atau Bos Marven."
"Aku sudah banyak merepotkan mereka. Sar."
"Tapi kan mereka baik buk, ibu juga baik."
"JUstru karena mereka baik, aku jadi sungkan, Sar. Aku ga mau merepotkan mereka lebih dari ini."
"Ya udah buk, ibuk ikut aja kontes itu. Siapa tau menang kan lumayan uangnya bisa buat menyelesaikan resort dan pasti restoran kita ini lebih ramai."
Mayang terdiam sejenak, lalu melirik pada Sari,"Oke deh aku ikut." Ucap Mayang sambil menjentikkan jari di depan wajah Sari.
"Nah, gitu dong buk. Semangat buk, urusan restoran ini biar Sari sama sapto yang urus, ibuk konsen aja sama kontes." Ucap sari mantab.
"Bener ya, awas lho… kalau sampai restoran kacau selama aku ikut kontes."
"Siap. Tapi kontes di sini kan buk?"
"Kayaknya sih iya, kontesnya diadakan di salah satu hotel dekat pantai ga jauh dari resort yang mangkrak itu."
"Baguslah, jadi ibuk ga harus pergi jauh-jauh dari kota ini, kasian juga kan dedek Zee."
"Iya."
"Selamat Pagi…" Sapa Marven yang tiba-tiba saja sudah berdiri di seberang meja kasir.
"Selamat pagi Marven."
"Selamat Pagi, ganteng." Ucap Sari, Marven langsung tersenyum pada Sari dan mengedipkan satu matanya pada gadis yang berdiri disamping Mayang yang sudah mengeliat persis cacing kepanasan karena melihat Marven yang tiba-tiba datang.
"Masih aja, ga pernah berikut nih mbak Sari, masih tetap cantik." Goda Marven.
"Ahhh… yang bener, Bos Marven juga makin tambah ganteng." Jawab Sari dengan senyum mengembang.
"Udah sana balik ke dapur, ga usah keganjenan. Nanti Sapto lihat baru tahu rasa kamu." Mayang mendorong Sari agar pergi ke dapur meninggalkan dirinya dan Marven.
"Jadi?"
"Oke, aku ikut kontes."
"Nah gitu dong."
"Mau kopi?"
"Mau lah, apa lagi yang bikinin cantik kayak gini."
Mayang hanya geleng-geleng kepala dengan godaan Marven, sudah terlalu biasa dia menghadapi godaan laki-laki yang satu ini.
"Duduklah aku bikinkan kopi sebentar." Marven menurut lalu mengambil posisi di sudut ruangan yang langsung menghadap ke jendela besar kearah jalanan.
Mayang pun langsung berlalu menuju ke mesin pembuat kopi dan membuatkan kopi kesukaan Marven. Sepuluh menit kemudian Mayang menghampiri Marven yang duduk di sudut, meletakkan kopi diatas meja dan ikut duduk satu meja dengan Marven.
"Aku senang akhirnya kamu mau ikut kontes memasak itu,"
"Ya, siapa tahu menang, lumayankan hadiahnya." Ujar Mayang sambil tersenyum lebar.
"Okelah, aku akan mendaftarkanmu."
"Nanti malam bisa temenin aku ke acara makan malam dengan klien?"
"Alaah biasanya juga kamu datang sendiri."
"Itu kan kalau di kantor pusat dan aku sekarang berada disini, jauh dari rumah dan jauh dari…"
"Lani…" Cetus Mayang, membuat Marven cemberut.
Mayang tertawa senang, "Oke, oke aku temani kamu nanti malam."
"Jam berapa?"
"Jam 7 malam."
"Oke, kamu jemput aku jam 7 malam."
"Siap."
"Lalu bagaimana dengan resort kakek kamu yang kamu renovasi, apa sudah selesai?"
Mayang mengeleng lemah lalu menyandarkan pungungnya di sandaran kursi.
Tanpa mereka sadari ada Tio sang bodyguard mendengarkan seluruh percakapan mereka.
"Nyonya Mayang akan mengikuti kompetisi memasak tingkat internasional, Bos." Lapor Tio pada Firman.
"Kontes memasak?"
"Iya bos, sepertinya itu kontes yang diadakan oleh salah satu pemilik hotel bintang lima yang sangat terkenal. Siapa ya namanya Aleanro Marven."
'Marven?' Tio baru menyadari sesuatu.
"Baiklah apa lagi?"
"Nyonya Mayang ternyata mempunyai sebuah resort peninggalan kakeknya, dan sekarang masih dalam proses pembangunan. Tapi pembangunan tersebut berhenti karena kekurangan biaya, sepertinya Nyonya Mayang tidak mencari investor, melainkan dengan uangnya sendiri dari hasil restoran."
"Ehm…. Baiklah, lakukan terus pengamatan mu dan jaga istriku dengan baik."
"Baik, Tuan."
Tio mematikan panggilannya pada Firman lalu kembali menyimak apa saja yang Mayang dan Marven perbincangkan.
"Mayang, bagaimana jika aku mencarikanmu investor untuk pembangunan resort?" Ujar Marven sembari menyesap kopinya.
"Investor?"
"Iya, bagaimana?"
"Aku malas, dengan kerja sama yang ribet, dan malas untuk membuat perjanjian kerjasama dengan pihak lain."
"Itu tak perlu kamu pikirkan, biarkan aku yang mengerjakan segalanya, kamu hanya tahu seluruh usahamu berjalan lancar, bagaimana?"
"Tapi, aku takut akan menjadi masalah suatu saat nanti."
"Tidak akan, percaya saya padaku? Aku kan membantumu dalam perjanjian kerja sama dan tentang untung ruginya nanti aku akan bantu mengangarkan dana dan sebagainya."
Mayang menarik nafas panjang, "Tadinya aku pikir jika aku menang maka uang itu akan bisa aku jadikan modal untuk pembangunan resort."
"Itu tak perlu kamu lakukan, kau cukup punya investor, dan uang yang kamu dapatkan dari hasil kontes dapat kamu alokasikan untuk memperbesar restoran ini, bagaimana?"
"Oke, bagus juga idemu."
"Baiklah, aku akan menghubungi kenalanku, siapa tahu ada yang tertarik untuk menginvestasikan uangnya di resortmu."
"Oke, aku tunggu kabar darimu."
"Baiklah, terimakasih untuk kopinya, dan aku harus pergi ke kantor dulu."
"Ok, hati-hati, dan Terimakasih atas semua bantuanmu."
"Kau bagian dari keluargaku walau kau tak mau jadi istriku, dank au tahu itu. Jadi simpan rasa terimakasihmu untuk orang lain."
"Baiklah."
Marven langsung tersenyum lalu kkeluar dari restoran milik Mayang.
"Hallo, Firman. Aku harap kau masih mengingatku." Ucap Marven saat panggilannya diterima oleh Firman.
Saat ini Marven sedang mengendarai mobilnya menuju kantor Firman yang ia ketahui dari Rangga, jika Firman berada dikota yang sama dengan Mayang.
"Marven."
"Bagus kau masih mengingatku, brengsek. Aku ingin bertemu denganmu."
"Baiklah, aku tunggu di kantorku."
"Oke."
Marven langsung menuju ke kantor Firman setelah membuat janji terlebih dahulu dengan Firman, ingin sekali rasanya Marven menghajar Firman karena di anggap laki-laki itu cukup pengecut untuk tidak menemui Mayang dan anak mereka. Tanpa Marven tahu keadaan Firman yang sebenarnya.A