"Tunggu!"
Refleks Xiao Ara berhenti dan membalikkan badannya. "Apakah Anda berbicara denganku?" tanya Ara sembari menujuk dirinya sendiri.
"Dengan kaki yang cedera seperti itu, kau tidak akan bisa lari dan menyelamatkan diri jika seseorang berniat jahat kepadamu," kata wanita tua itu. Akhirnya mata mereka bertemu.
"Ah, maksdumu adalah kakiku? Ini hanya cedera biasa dan akan segera…"
"Kemarilah…" kata wanita tua itu menginterupsi ucapan Xiao Ara. Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan berjalan menuju ke gubuknya.
Ara tak tahu harus memberikan respon seperti apa, wanita tua itu terlihat sedikit…. Aneh? Tanpa berpikir lama, ia mengikuti wanita tua tersebut dengan perasaan ragu-ragu.
Merasa sedikit canggung, Ara tidak mengikuti wanita tua itu memasuki gubuknya dan hanya berdiri di depan pintu, sembari menunggu.
Berselang beberapa menit, wanita tua itu akhirnya muncul dengan sebuah mangkuk yang terbuat dari tempurung kelapa. Ia keluar dan melewati Ara tanpa mengatakan apapun seolah-olah gadis itu tidak ada di sana.
"Kemari dan duduklah, rentangkan kakimu," ucap wanita tua itu tepat setelah mendaratkan tubuhnya di kursi panjang yang terbuat dari bambu.
Ara tidak tahu apa yang akan dilakukannya, namun ia tetap menuruti perintahnya.
"Angkat kakimu, biarkan aku melihatnya," kata Nenek itu, salah satu tangannya masih terlihat meremas dedaunan hijau di mangkuk yang ada di tangannya.
Ara menurutinya tanpa bertanya sedikitpun. 'Apa yang akan dia lakukan dengan kakiku?' batin Ara bertanya-tanya, namun detik berikutnya ia mengerang kesakitan, menggigit bibirnya, berusaha meredam perasaan sakit di kakinya.
Tanpa peringatan apapun, wanita tua itu tiba-tiba meletakkan mangkuk di tangannya dan langsung memijat kakinya, menggoyang-goyangkannya ke kiri dan kanan, ke depan dan ke belakang lalu melakukan gerakan memutar di kakinya. Lalu memijatnya pelan.
Perasaan sakit yang ia rasakan perlahan memudar. Xiao Ara mengatur napasnya pelan.
"Minumlah!" kata wanita tua tersebut sembari menyodorkan mangkuk berisi dedaunan dan cairan berwarna hijau.
"Apa?" kening Ara berkerut jelas, melihat cairan di mangkuk itu, lalu memalingkan wajahnya ke tangan wanita tua itu, ia meneguk ludahnya kasar. Entah kenapa ia merasa jijik.
"A-aku tidak haus. Terima kasih atas pertolonganmu, Nenek. Sekarang kakiku sudah tidak sakit lagi. Aku akan pergi sekarang," ucap Xiao Ara segera menurunkan kakinya dari kursi.
"kau hampir kehabisan energy, pakaianmu penuh darah, kakimu terkilir, beruntung kau bisa selamat dari bahaya yang mengancammu. Ini adalah obat untukmu. Minumlah," kata Nenek itu dengan tatapan menilai.
Ara terdiam, lagi-lagi tak tahu harus memberikan respon seperti apa. Ia memang lelah. Namun… meminum cairan berwarna hijau itu…
"Lupakan jika kau tidak mau melakukannya. Pergilah jika kau ingin pergi, aku hanya berniat membantumu. Jika kau menolaknya, itu bukan urusanku. Lagipula kita tidak saling mengenal," kata wanita tua itu sembari meletakkan mangkuk itu di kursi lalu berdiri.
"Pergilah, aku ingin melanjutkan pekerjaanku. Ini sudah tengah hari, kau hanya akan menggangguku," ucapnya lagi, ia berjalan menuju tumpukan kayu bakar yang belum selesai ia susun tadi.
Sudut bibir Ara berkedut.
'Mengganggunya? Hei… dia yang memanggilku ke sini, dan aku dianggap pengganggu? Dasar nenek aneh.
Ara tidak beranjak dari posisinya dan tetap duduk di sana, ia memperhatikan segala gerak gerik wanita tua itu, sesekali matanya melirik cairan berwarna hijau di sebelahnya.
'Cairan itu adalah obat?' Membayangkan cairan berwarna hijau itu mengalir di tenggorokannya, Xiao Ara bergidik.
Sementara di sisi lain, wanita tua itu sibuk dengan aktifitasnya, tak memperdulikan Xiao Ara lagi seolah-olah di tempat itu hanya ada dirinya sendiri.
"Nenek, kenapa kau menolongku?" Xiao Ara bertanya. Namun tak mendapat tanggapan apapun dari wanita tua itu, membuatnya menghela napas kasar.
Dari kejauhan terlihat beberapa orang mendekat, seorang wanita dan pria, beberapa orang yang mengenakan pakaian yang tidak asing baginya juga memasuki pandangannya.
Prajurit Istana!
Ara tidak menunggu lebih lama lagi dan segera masuk ke dalam gubuk tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Nenek menoleh dan melihat bayangan gadis itu masuk ke dalam gubuknya. Refleks ia menghentikan aktifitasnya, berdiri dari posisinya dan ingin menyusul ke dalam gubuk.
Namun langkahnya terhenti ketika melihat beberapa orang berjalan ke arahnya, dua diantaranya adalah oranng-orang yang ia kenali, mereka adalah orang-orang kepala desa. Apa yang mereka lakukan di sini?
"Nenek Chiyo…" teriak seorang wanita, mempercepat langkahnya menuju ke arahnya.
"Akhirnmya kami menemukanmu," ucap pria yang bersamanya, napasnya terdengar memburu.
Wanita tua itu mengerutkan kening, tak bersuara sedikitpun. Perlahan ia menilai orang-orang yang bersamanya.
"Sejak pagi tadi kami menyusulmu, kami mencoba melewati jalan pintas yang biasa kamu gunakan namun kami tersesat sangat jauh sebelum akhirnya menemukan keberadaanmu," ucap pria itu lagi menjelaskan, seolah tau isi benak Nenek Chiyo.
"Kepala Desa meminta kami untuk mencarimu. Beberapa orang terluka parah dan membutuhkan bantuanmu," tambahnya lagi.
"Siapa?" satu kata keluar dari bibir wanita tua itu.
"Tidak ada waktu lagi. Nanti kau akan tahu sendiri, sekarang ayo kita beranjak, ini perintah kepala desa."
"Baiklah, tunggu aku sebentar," kata Nenek Chiyo lalu berjalan memasuki gubuk. Ia segera mengambil tas lusuh yang tergantung di dinding lalu berjalan ke arah pintu keluar.
Xiao Ara berdiri di sudut ruangan, tak bersuara sedikitpun. Berusaha mengecilkan keberadaannya. Nenek Chiyo meliriknya sekilas, mata mereka bertemu.
Ketika Ara berpikir bahwa wanita tua itu akan mempertanyakan sikapnya yang sangat aneh, wanita tua berbalik dan melanjutkan langkahnya.
Xiao Ara mengintip di balik jendela, setelah melihat wanita tua dan orang-orang itu berjalan menjauh, helaan napas lega terdengar lolos dari bibirnya. Tubuhnya merosot ke lantai yang ternyata hanya berupa tanah.
"Selain acuh, wanita itu tidak memiliki kekhawatiran sedikitpun," gumam Ara pelan.
Jika itu orang lain, mungkin dia sudah memberinya banyak pertanyaan, dan mengusirnya sebelum meninggalkan gubuknya. Bagaimana bisa ia meninggalkan gubuknya dengan perasaan tenang dengan orang asing di dalamnya? Hah… nenek ini benar-benar sesuatu.