"Sekretaris baru?"
Lili dan Ridwan berseru hampir bersamaan.
Kecemburuan di mata Lili kembali muncul, tapi dia tidak bisa menahannya selama beberapa waktu, jadi dia harus menundukkan kepala untuk menutupi emosinya. Tubuhnya sedikit gemetar karenanya
"Pak Direktur… Apa Anda bercanda?" Ridwan bertanya sambil tersenyum, mencoba memastikan, "Bunga, dia…"
Sebelum dia selesai berbicara, Arnold memotongnya "Apa kamu pikir aku sedang bercanda?"
Sepertinya ada sedikit keraguan di dalam nada suaranya, tapi rasanya ada sarkasme dan rasa jijik di dalamnya.
Ridwan tidak bisa berpikir jernih, jadi dia tidak memperhatikan nada suaranya, tapi dia menganggapnya sebagai sebuah pernyataan, jadi dia mengangguk dengan cepat, dan melanjutkan kata-katanya "Aku tahu sifat asli seseorang sepertinya, Pak Direktur. Bagaimana mungkin Anda bisa tertipu ... "
Perkataannya itu benar-benar lucu.
Bunga menggelengkan kepalanya, dan mengambil beberapa langkah ke depan. Dia sama sekali tidak memperdulikan keberadaan Ridwan, melainkan menyerahkan beberapa file yang sudah disortir kepada Arnold dan berkata, "Pak Direktur, file ini adalah laporan dari departemen desain."
"Baiklah, terima kasih." Arnold mengambil file itu dan hanya melihatnya sekilas, lalu dia mengarahkan tatapannya ke arah Bunga, mengerucutkan bibirnya, dan berkata, "Bukankah aku sudah bilang bahwa kau harus memanggilku Arnold?"
Bunga tercengang, rasa malu terlintas di wajahnya, kepalanya menunduk dan dia tidak menjawab.
Ini adalah hubungan antara atasan dan bawahan. Seharusnya dia tidak membawa perasaan pribadi.
"Dulu kau memanggilku begitu." Arnold menatap Bunga dengan tegas, dan masih belum mau menyerah.
Bunga tidak menduga Arnold akan mengungkit masa lalu, dan sedikit terkejut karenanya.
Arnold memang berusia satu tahun lebih tua darinya dan merupakan seniornya di sekolah menengah atas. Keduanya bertemu di klub sekolah. Pada saat itu, Arnold mengejar-ngejar Bunga. Bunga menolak pernyataan cintanya karena dia tidak ingin diganggu sebelum ujian masuk perguruan tinggi tahun depan. Dia mengira Arnold akan menyerah setelah dia menolaknya, tapi dia sama sekali tidak menduga bahwa Arnold masih belum menyerah.
Arnold masih berusaha mengejarnya hingga lulus sekolah. Masalah tidak berhenti sampai disini. Saat mereka bertemu kembali, perasaan Arnold masih tetap sama.
Kalau dipikir pikir lagi, pasti sudah lima tahun sejak mereka terakhir kali bertemu.
Sudut bibir Bunga sedikit naik. Dia mulai tersenyum kecil, lalu mengikuti kata hatinya, dia berkata, "Arnold."
Arnold belum memberikan respon, tapi Lili telah kehilangan kesabaran. Tiba-tiba saja dia mengangkat kepalanya dan memandang ke arah Arnold. Suaranya sangat tajam dan ekspresinya terdistorsi oleh kecemburuan "Pak Direktur, apa Anda tahu wanita ini baru saja batal menikah dengan Ridwan. Apakah Anda serius menyukainya?"
Mengapa Bunga selalu sangat beruntung ... Bahkan setelah dia merebut Ridwan, Bunga selalu saja bisa menemukan seseorang yang lebih baik … seseorang yang lebih kaya dan lebih berpengaruh.
Ini benar-benar konyol!
Lili telah dibutakan oleh kecemburuan, dan kecemburuan mengalir deras di dalam dirinya, membuatnya tidak bisa melihat apa yang ada di sekitarnya.
"Pak Direktur, bagaimana mungkin wanita seperti dia layak untukmu?"
"Oh?" Arnold akhirnya menatapnya untuk pertama kalinya, tapi dengan tatapan jijik. Dia menatapnya untuk waktu yang lama, tiba-tiba saja tersenyum, lalu bertanya, "Kalau dia tidak layak, apa kamu lebih layak?"
Bujukan yang jelas di dalam kata-katanya membuat mata Lili bersinar, seolah-olah dia telah mendapatkan beberapa kartu truf. Tiba-tiba saja dia menunjukkan senyum puas, melangkah maju dua langkah, matanya sedikit memerah, seolah-olah dia telah menerima penghinaan, tapi bujukan yang dilontarkan pria itu memang sangat menggoda.
"Pak Direktur... bagaimana mungkin Anda bisa mengatakan itu padaku?"
Dibandingkan dengan Ridwan, Arnold jelas berada di level yang lebih tinggi. Yang ada di dalam benak Lili saat ini hanyalah bahwa Arnold tertarik padanya, jadi bagaimana mungkin dia mempedulikan pendapat Ridwan? Dia hanya ingin melakukan semua yang bisa dilakukannya untuk membuat Arnold melihatnya, dan secara alami mengabaikan tatapan curiga Ridwan.
Bunga melihat Lili membelai rambutnya dengan gaya menggoda di sana dan melihat ekspresi Arnold yang jelas-jelas mempermainkannya. Pembuluh darah di dahinya menegang tanpa bisa ditahan lagi.
Bagaimanapun juga, dia adalah saudara perempuannya sendiri, meski dia menganggapnya saingan, dia benar-benar tidak ingin melihatnya jatuh ke dalam lubang.
"Lili!" Bunga mengerutkan kening dan mencoba menghentikan perilakunya. Sebelum dia bisa mengatakan apa-apa, Lili segera menyamar sebagai korban.
"Kak, aku ..." Lili memandang Bunga dengan takut-takut, hampir menangis karena terkejut "Apa kamu cemburu? Tapi aku tidak melakukan apa-apa."
Salah, tadi dia sudah melakukannya.
Bunga mengangkat tangannya untuk menyentuh dahinya. Dia mengira dirinya bukanlah orang yang bisa kehilangan kendali seperti ini. Itu tadi jelas merupakan tindakan yang dilakukan Lili untuk menggoda atasannya, dan membuatnya langsung menghardik Lili.
"..... kau pergi." Dia menatap Lili dengan dingin, melontarkan dua kata, lalu berbalik dan duduk kembali di kursinya.
Karena dia sendiri sudah kehilangan kesabaran, Arnold tidak lagi repot-repot melibatkan Lili. Dia menunjukkan senyum mengejek, menatapnya dengan sikap merendahkan, dan berkata dengan nada suara dingin "Hanya itu? Bukankah itu agak terlalu tinggi untukmu. Meski ada beberapa orang yang buta, bukan berarti semua orang itu buta."
Kalimat pertama menyingung Lili, dan kalimat terakhir menyalahkan Ridwan karena telah dibutakan olehnya.
Bagaimana mungkin Ridwan tidak mengetahui tentang ini? Wajahnya langsung tersipu, dan dia tidak berbicara lama-lama.
Apa lagi yang bisa dia katakan? Bukankah Lili tadi segera berusaha merayu Arnold? Kukira Lili itu murni dan polos, tapi aku sama sekali tidak mengira kalau dia adalah wanita yang seperti itu.
Dia tampak bimbang cukup lama, tapi setelah dia melihat bahwa Arnold akan kembali ke dalam ruangannya, dia mengertakkan gigi dan melangkah maju, lalu berkata "Pak Direktur ... Hari ini aku datang karena aku akan dipindah ke kantor pusat. Berkasnya... …"
Seperti yang dia katakan, dia menyerahkan dokumen di tangannya ke arah Arnold.
Arnold tidak mengambil file itu, hanya melihatnya sekilas, lalu berkata dengan nada ringan, "Kamu tidak bisa pindah."
"Eh, kenapa?" Ridwan berseru, dan segera menyadari ada yang tidak beres. Dia tertawa dengan dibuat-buat dan merendahkan suaranya, tapi dia masih terdengar sedikit kaku dan tidak senang, "Pak Direktur memang dikenal sangat tegas."
"Untuk bisa pindah ke kantor pusat, kriteria evaluasi pertama adalah karakter." Arnold tidak berbicara dengan nada keras, tapi sepertinya hal itu sebanding dengan tamparan di wajah Ridwan, membuatnya membeku di tempat, telapak tangannya mengepal.
Arnold tidak terlalu peduli. Dia melirik ke arah Lili yang berdiri di samping pria itu dan belum pulih dari keterkejutannya, lalu berkata dengan dingin, "Terlebih lagi, aku belum pernah melihat ada siapapun yang melaporkan urusan kantor bersama teman wanitanya,"
"Kamu tahu sendiri, tidak semua orang di perusahaan ini bisa mendapatkan promosi."
Kalimat terakhir itu diucapkannya dengan ringan, tapi itu seperti palu berat yang menghantam hati Lili dan Ridwan, membuat mereka berdua tampak pucat, dan mata mereka berkedip karena panik.
Dia dengar... berapa lama dia mendengarkan percakapan mereka tadi!
Arnold tidak ingin bermain-main dengan mereka lagi. Dia mengerutkan kening dan berbalik untuk kembali ke kantor. Dia berhenti sebelum membuka pintu ruangannya dan berkata dengan ringan.
"Bunga, tolong antarkan para tamu keluar."
Bunga mengangguk, berdiri dan memasang senyum sempurna, yang tampak sangat ironis bagi keduanya.
"Kalian berdua, silahkan ikuti saya,"