Karena jarak Citra dan Satya yang terlalu dekat, mereka bisa merasakan terpaan napas masing-masing. Citra ingin melepaskan tangan pria itu dari dagunya, tapi tenaga Satya terlalu kuat dan Citra tidak bisa bergerak.
"Jangan bergerak, nona. Saya akan membersihkan wajah Anda," ujar Satya. Kotak tisu itu ditempatkan di antara mereka berdua. Satya menopang dagu Citra dengan satu tangan, dan tangan lainnya menyeka noda di wajahnya dengan tisu. Dia membersihkan setiap kotoran di wajah Citra dengan sangat lembut.
Citra tidak bisa tenang. Di dalam mobil sport yang mahal ini, dia tidak bisa mencium wangi apa pun karena hidungnya dipenuhi aroma harum dari pria di depannya. Tanpa sadar, Citra berusaha menebak wangi apa yang menguar dari tubuh Satya. Apakah itu gel rambut, sampo, atau krim cukur? Yang pasti aroma tubuh Satya sangat menyegarkan.
Setelah membersihkan wajah Citra dengan beberapa lembar tisu, Satya menyadari bahwa dia tidak bisa membersihkan noda yang sudah menempel. Satya mengerutkan kening dan bertanya, "Apakah ada tisu basah?" Citra membuka tas, menundukkan kepalanya, menemukan tisu basah di dalamnya, dan menyerahkannya kepadanya.
Satya mengelap wajah Citra lagi sebanyak dua kali, kecuali luka berdarah di dahinya. Kini wajah Citra sudah bersih seperti sedia kala. Akhirnya, Satya membuang tisu-tisu yang telah dia gunakan, dan menatap Citra, "Nona, sekarang Anda dapat memberitahu saya mengapa Anda tadi berdiri di antara kerusuhan yang dilakukan para penggemar Anda?"
Citra mengerucutkan bibirnya dan berkata dengan bingung, "Penggemarku… Meskipun aku ada di sana tadi, tapi cahayanya sedikit lebih gelap, jadi tidak satu pun dari mereka yang mengenaliku. Kamu tidak perlu mencemaskannya."
Setelah beberapa saat, Citra tiba-tiba mengangkat kepalanya dan menatap pria tampan dan acuh tak acuh di depannya, "Kamu… Bagaimana kamu bisa tahu kalau itu aku dari jarak sejauh itu?"
Satya melirik Citra sekila, dan menjawab pertanyaannya, "Tentu saja mereka tidak bisa mengenali Anda. Lagi pula, tinggi Anda tidak lebih dari 1,6 meter. Anda tidak memakai sepatu hak tinggi hari ini, jadi mereka mungkin tidak menyangka Anda akan berdiri di sana menyaksikan semua itu."
Citra diam saja mendengarkan jawaban tidak nyambung dari Satya. Dia tahu bahwa Satya tidak memiliki atau tidak mau menjawab pertanyaannya itu. Citra memilih untuk bersandar di jendela mobil, melihat pemandangan malam yang dipenuhi gemerlap lampu dari gedung-gedung. Kota Medan di malam hari tampak sangat cantik.
Citra teringat apa yang terjadi di rumah sakit barusan, tapi dia tidak ingin memikirkannya. Dia memejamkan mata dan menggigit bibirnya dengan keras, berusaha untuk mengendalikan pikirannya. Mobil sport itu berhenti di depan apartemen mewah milik Citra.
Satya keluar dari mobil untuk membukakan pintu untuknya, dan Citra keluar dari mobil sambil memegang pakaiannya yang kotor. Dia berkata, "Aku bisa naik sendiri, kamu bisa kembali dengan temanmu." Citra cemberut dan melanjutkan kalimatnya dengan sedih, "Aku akan mencuci pakaianmu dan mengembalikannya padamu, atau aku akan membeli pakaian yang persis sama nanti. Maafkan aku telah membuatnya kotor."
Satya memasukkan satu tangan ke dalam saku celananya, menatap luka di dahinya, dan bertanya dengan lembut, "Anda bisa mengobati luka itu sendiri?" Citra menjawab dengan acuh tak acuh, "Itu hanya luka kecil. Kamu kira aku tidak bisa melakukan apa pun?"
Satya meliriknya dan berjalan ke arah mobil. Dia melambaikan tangan dan berseru pada temannya, "Kamu pulanglah duluan." Temannya yang ada di kursi pengemudi tersenyum dan mencibir, "Kenapa? Kamu akan bermalam di rumahnya?" Satya menjawab dengan ketus, "Luka di keningnya perlu ditangani. Aku harus membantu mengobatinya."
Pria di dalam mobil menggelengkan kepalanya dengan senyum genit, "Jika pria sepertimu berada di samping kekasihku, maka aku akan membunuhmu. Ya sudah, aku pergi dulu!"
Wajah Satya membeku sebentar. Lalu, dia berbalik dan berjalan menuju Citra. Citra yang mengetahui Satya akan menemainya di sini tidak menolak atau pun memberi persetujuan. Dia berdiri di tempat dengan pandangan yang masih mengarah ke mobil sport yang perlahan hilang.
"Satya, bolehkah aku bertanya padamu?" ujar Citra tiba-tiba. Pria itu agak kedinginan, tetapi tetap menjawab dengan sopan "Ada apa, nona?"
Saat ini Citra menatap Satya dengan tatapan menyelidik, "Apakah mobil yang kamu pakai saat menjemputku di sekolah kemarin juga milik pria itu?"
Satya masih tidak mengerti, "Hah?" Citra yang seolah bisa menyimpulkan jawaban sendiri berkata, "Oh, benar rupanya. Ternyata dia tidak hanya sangat kaya, tetapi juga sangat tampan, ya." Satya jelas tidak tertarik untuk membicarakan masalah ini, dan hanya berdeham saat menanggapi ocehan sang majikan.
"Apa dia benar-benar temanmu?" lanjut Citra masih merasa penasaran. "Apa lagi yang harus saya buktikan agar Anda percaya?" Satya menanggapi dengan dingin kali ini.
Setelah itu, Satya menundukkan kepalanya dan menatap Citra. Dia berkata dengan nada serius, "Nona, Anda sebaiknya berhati-hati jika Tuan Miko sedang bersama dengan Nona Yulia."
Ekspresi wajah Citra menjadi suram seketika, tapi dia tidak berkata apa-apa. Dia berjalan masuk ke apartemennya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dan Satya mengikutinya di belakang.
Saat tiba di apartemennya, Citra yang tidak suka memakai pakaian kotor segera mengganti bajunya setelah mandi dan sebelum minum obat.
Meskipun Satya mengerutkan kening, dia tidak mengatakan apa-apa pada akhirnya. Dia menunggu Citra selesai mandi.
Citra berada di dalam kamar mandinya untuk waktu yang lama, dan dia keluar dengan mengenakan jubah mandi. Satya memperhatikan bahwa mata gadis itu tampak lebih merah daripada saat dia di mobil tadi. Tidak salah lagi, Citra pasti menangis saat di kamar mandi.
Tatapan Satya perlahan menjadi lebih dingin dari biasanya. Sejak awal, dia tahu bahwa Miko tidak pernah menyukai Citra, tapi gadis itu terus mengejarnya. Sekarang, setelah dia menjadi tunangan Miko, hidupnya justru dipenuhi dengan tangisan karena Miko lebih memperhatikan mantan kekasihnya dibanding dirinya.
Citra masih terbungkus oleh jubah mandinya dan duduk bersila di sofa. Dia memegang bantal dan membiarkan Satya memberikan obat pada lukanya dengan kapas. Karena baru saja keluar dari kamar mandi, Satya bisa mencium aroma sabun mandi yang harum dari tubuh Citra. Entah kenapa, bayangan tentang kejadian semalam saat dia tidak sengaja melihat Citra sedang telanjang muncul di kepalanya.
Satya mengutuk dirinya sendiri. Dia seharusnya langsung menutup mata saat melihat gadis itu tadi malam, tetapi dia malah menatapnya dalam diam selama hampir sepuluh detik, sehingga setiap lekuk tubuh Citra kini terekam dengan jelas dalam pikirannya.
Sekarang Satya berada begitu dekat dengan Citra hingga dia bisa dengan jelas melihat kulit putih dan mulus gadis ini. Terlebih, aromanya yang sangat harum membuat Satya sedikit tegang saat ini. Namun, dia berusaha dengan keras untuk menahan diri karena selama ini dia tidak pernah memainkan bahkan menyentuh wanita mana pun. Dia selalu menjaga martabatnya sebagai seorang laki-laki.
"Satya," Citra tiba-tiba memanggil namanya, mata indah gadis itu kini menatap wajahnya. Tanpa diduga, mata Satya bertemu dengan matanya. Dia merasa gugup, dan suaranya menjadi serak, "Apakah ini sakit, nona? Jika iya, saya akan berhenti." Citra masih menatap Satya. Dia bertanya, "Ibu Miko meminta Miko untuk menemaniku mencoba gaun pengantin besok."
Setelah hening beberapa saat, Satya menjawab dengan cuek, "Lalu kenapa, nona? Apa yang harus saya lakukan?"