Chereads / Pelayan Itu Adalah Pengeran Baruku / Chapter 21 - Keberanian Seorang Satya

Chapter 21 - Keberanian Seorang Satya

"Mobilku tidak pernah mogok." Citra berkata dengan lemah, "Mobilku juga tidak rusak. Sungguh." Dia melanjutkan, "Kalau begitu panggil seseorang untuk ke sini dan memperbaiki mobil ini."

Satya menatapnya dalam diam. Citra menundukkan kepalanya setelah sadar bahwa ponsel mereka berdua telah dilemparnya ke jurang.

Karena hari sudah malam, suhu di gunung sangat rendah, ditambah dengan perubahan cuaca yang tiba-tiba. Citra merangkul tubuhnya sendiri sambil melihat pria di sebelahnya, "Apa yang harus kita lakukan?"

Tempat mereka berada saat ini sangat sepi, jadi jarang ada mobil yang lewat. Satya melihat tubuh Citra yang semakin bergetar kedinginan, dan tanpa sepatah kata pun, dia melepaskan mantelnya dan membungkus tubuh gadis itu. Dia tidak tahu berapa banyak pakaian yang telah dia berikan pada gadis itu akhir-akhir ini.

Citra menerima perlakuan Satya dan mengenakan mantelnya. Begitu Citra mendongak, dia melihat Satya melepaskan sabuk pengamannya dan mendorong pintu untuk keluar dari mobil. Dia bertanya dengan heran, "Apa yang kamu lakukan?"

"Saya akan memeriksa mesin. Hujan deras, Anda tetap di dalam mobil saja," jawab Satya.

Hujan di luar memang sangat deras, seolah-olah ada seseorang yang menumpahkan air dari atas. Cahaya mulai redup karena lampu jalan yang hanya sedikit. Citra dapat melihat sosok tinggi pria itu sedang mengangkat kap depan mobilnya.

Citra menggulung lengan panjang mantel pria itu yang sedang melekat di tubuhnya, beranjak ke kursi belakang untuk mencari payung, dan turun dari mobil. Hawa dingin menyambut dirinya, dan dia menggigil kedinginan.

Ide Citra untuk membawakan payung untuk Satya sebenarnya hampir sempurna, tapi dia tidak berpikir bahwa pria itu tingginya 187 meter, bahkan jika dia membungkuk, tampaknya agak sulit bagi Citra untuk memegang payung agar hujan tidak mengenai tubuh Satya.

Ketika Satya melihat Citra keluar dari mobil, dia segera mengerutkan kening, dan meraih payung di tangan Citra untuk melindungi mereka berdua, "Nona, apa yang Anda lakukan?"

Citra menyeka hujan dari wajahnya dan menatapnya dengan polos, "Aku akan memegang payung untukmu." Lelaki itu melirik ke arah payung kecilnya yang tidak akan mungkin membuatnya terlindungi dari hujan. Dia berkata, "Masuk ke dalam mobil." Citra mengelak, "Aku punya senter. Aku bisa memeganginya untukmu, jadi kamu bisa menyelesaikan ini lebih awal."

Citra berkata sambil mengeluarkan senter kecil di saku jaketnya, dan segera menyinari bagian mobil yang sedang diperbaiki oleh pria itu. Hujan semakin deras, suaranya juga nyaring. Citra dan Satya tidak bisa melihat satu sama lain dengan jelas.

Satya memandang wanita di bawah payung yang sepertinya berjuang untuk berdiri. Satya hanya merasa bahwa Citra ternyata sangat kecil dan mungil sehingga bisa membuatnya terpesona kapan saja.

Satya menggenggam lengan Citra dengan jari-jarinya, menuntunnya untuk kembali ke mobil. Dia mengambil senter dan payung dari tangan gadis itu. Sepuluh menit kemudian, pria itu kembali ke mobil.

Citra buru-buru bertanya padanya, "Apakah bisa diperbaiki?" Satya menjawab singkat, "Ya, bisa."

"Benarkah?" ujar Citra merasa bahagia. "Ya, jika kita punya peralatannya," jawab Satya dengan wajah datar.

Tentu saja Satya bisa memperbaiki mobil, tapi mustahil baginya untuk memperbaiki mobil dengan tangan kosong tanpa peralatan. Citra menatap Satya yang masih berusaha memperbaiki mobil seperti seorang pria yang baru saja keluar dari air. Pakaian dan celana panjang gelapnya basah kuyup. Rambut hitam pendeknya juga terus menerus meneteskan air yang mengenai pangkal hidungnya, membuatnya terlihat seksi.

Setelah Satya masuk ke mobil, Citra tiba-tiba teringat, "Sepertinya ada tas berisi pakaian di belakang. Ada satu set pakaian pria di dalamnya. Ambil dan gantilah bajumu."

Satya melirik Citra dan berkata dengan lemah, "Saya baik-baik saja, tidak perlu."

"Tenang saja. Kamu tidak perlu sungkan. Pakaian itu sebenarnya untuk Miko saat kami pergi ke hotel beberapa hari yang lalu." Citra tidak terlalu senang untuk menyebutkan ingatannya di hotel, tapi dia melanjutkan, "Aku baru membelinya di mal saat itu. Tidak ada yang memakainya, jadi kamu bisa memakainya sekarang." Malam itu, Citra telah melakukan persiapan yang cukup, bahkan dia telah membeli pakaian ganti untuk Miko kenakan keesokan harinya.

Satya diam, dan berkata dengan nada rendah, "Saya harus memperbaiki mobil ini lagi nanti, jadi percuma jika saya mengganti baju sekarang."

Citra menggigit bibirnya karena merasa agak kecewa bahwa kebaikannya ditolak oleh pria ini. Selain itu, Citra merasa bahwa mereka telah mengenal satu sama lain selama beberapa tahun, atau bahkan tinggal bersama selama beberapa tahun, tapi sikap dinginnya tidak pernah berubah. Meskipun Satya adalah pengawal pribadi yang sempurna, terkadang Citra merasa kesal dengan sikapnya yang selalu menjaga jarak.

Ini hanya tentang pakaian. Citra berpikir bahwa apa yang dia lakukan sangat wajar dalam hubungan antara teman, atau bahkan antara majikan dan pengawal, 'kan?

Citra melepas mantel Satya dengan wajah dingin, tidak mengatakan sepatah kata pun, lalu melemparkannya dengan keras. Setelah itu, dia menoleh dan melihat hujan di luar jendela mobil. Dia sangat kesal karena pria itu selalu cuek.

Suasana di dalam mobil begitu sunyi sehingga hanya tersisa suara hujan. Setelah beberapa saat, Satya dari mobil dengan payung kecil Citra. Usai mengurus ini dan itu, dia kembali ke dalam mobil lagi, dan tiba-tiba berkata sambil mengambil tas berisi pakaian yang dibilang Citra, "Saya akan ganti pakaian. Bisakah nona duduk di belakang?"

Citra akhirnya menoleh dan melirik ke tas kertas putih yang diambil Satya. Lalu, dia berkata, "Bukankah kamu tidak mau memakainya? Jika kamu tidak mau, tidak usah dipaksakan dan biarkan dirimu basah kuyup seperti itu sampai ada mobil yang lewat dan mau menolong kita." Satya menatapnya tanpa suara. Citra tidak mau kalah, dan menatapnya dengan dingin.

Semenit kemudian, pria itu tiba-tiba mengangkat tangannya, dan jari-jarinya yang ramping membuka kancing kemeja yang basah di tubuhnya. Dalam sekejap dadanya yang bidang terpampang dengan jelas.

"A-apa yang kamu lakukan?" tanya Citra. Satya berkata dengan ringan, "Ganti pakaian." Di saat yang sama, hanya tersisa dua kancing kemeja yang belum terbuka. Citra tidak berharap bahwa Satya akan melakukan ini di hadapannya. Dia tiba-tiba menjadi gugup, "Kamu… Kamu kenapa ganti baju di sini? Aku sedang membuka mataku. Apakah kamu pria mesum yang suka melepaskan pakaian di wanita?"

"Saya sudah meminta nona untuk pindah ke kursi belakang, tapi sepertinya nona tidak mau," ujar Satya dengan tenang. "Aku tidak bilang begitu. Aku akan ke belakang sekarang," jawab Citra.

Satya meliriknya, "Sudah terlambat, saya sudah menggantinya." Dia melepas kemeja hitamnya yang menutupi seluruh bagian atas tubuhnya. Dengan sayup-sayup dia berkata, "Apakah nona akan ke belakang sekarang? Saya ingin melepas celana saya."

Citra mendengus dingin dan memaksakan diri untuk tenang, "Kalau kamu mau, lepaskan saja di sini. Apakah kamu pikir aku tidak berani melihatmu melepas celana?"

Satya menatapnya dan berkata dengan ekspresi yang sama, "Kalau begitu, Anda bisa melihatnya sebagai ganti karena saya tidak sengaja melihat Anda telanjang terakhir kali." Setelah berkata seperti itu, Satya mengulurkan tangannya untuk melepaskan sabuk. Selanjutnya, dia menurunkan ritsleting.

Citra berteriak. Dia berguling ke kursi belakang, dan kemudian menutupi kepalanya dengan jaketnya. Dia berpikir bahwa Satya tidak akan berani melakukan hal itu, jadi dia berkata padanya untuk melepas celananya di depannya.