Jeong Il's pov
15:00 KST
Aku menghela napas panjang dan menatap pintu masuk sebuah rumah yang ku huni beberapa tahun terakhir. Aku memutuskan pindah rumah setelah kedua orangtuaku meninggal saat aku baru lulus SMA. Bukannya aku tidak ingin tinggal disana, hanya saja jika aku berada disana aku tidak bangkit dari keterpurukanku dan hidup seperti sekarang. Hidupku sudah sempurna dengan kedatangan seseorang yang menjadi salah satu alasanku bangkit kembali.
Memikirkan tentangnya, aku kembali teringat Ha Wook. Aku sangat bingung sekarang, bagaimana aku menghadapinya setelah ini? Rasa bersalah bersarang di hatiku sekarang, haruskah aku mengatakan segalanya padanya?
Jika aku menceritakan padanya, dia akan meninggalkanku dan aku tidak mau itu. Seperti yang ku katakan sebelumnya, hanya dia yang ku miliki sebagai keluarga.
Aku membuka pintu mobil dan bergegas turun. Perasaanku semakin kacau seiring kakiku melangkah menuju pintu. Aku memencet password pintu dan membukanya.
"Hyung sudah pulang?" suara seseorang yang sangat ku kenal menyambutku hangat begitu aku sampai rumah. Aku tersenyum dan berjalan ke arahnya yang sibuk memasak sesuatu di dapur.
"Kau sedang memasak apa?" tanyaku menatapnya.
"Hanya sup kacang merah. Tak apa kan, Hyung?" aku tersenyum memandang wajah adik laki-lakiku ini.
"Bagaimana kuliahmu hari ini?"
"Semuanya lancar. Seperti biasa, tugas menggunung dan nanti malam Hyung harus membantuku mengerjakannya."
"Oke."
"Hyung, pergilah mandi. Aku akan menyiapkan semuanya." katanya kembali fokus pada supnya. Bukannya menuruti perkataannya, aku menatapnya lekat-lekat.
Salahkah aku jika tidak mau berterus terang mengenai keluarganya?
Aku memeluknya sangat erat, aku yakin dia terkejut. "Kau akan bersamaku dalam waktu yang lama kan, Yoon-ah?"
"Tentu saja, Hyung. Kenapa Hyung masih bertanya padaku? Aku hanya memiliki Hyung di dunia ini. Hyung tahu aku kehilangan keluargaku karena mereka meninggalkan rumah satu tahun setelah aku pergi." Aku tersenyum dan mengangguk.
Ha Wook-a, mianhae.
Maafkan keegoisanku yang menyembunyikan kakakmu.
#
Ha Wook's pov
15:00 KST
"Ayo semuanya, dibeli. Ikan laut ini sangat segar! Lihatlah ada kepiting, udang, lobster dan semua seafood ada disini!" Aku yang menata ikan tuna menatap Ho Jae dan Jun Goo yang berteriak dengan ikan segar di tangan mereka. Setelah pulang sekolah kedua sahabat laki-lakiku itu memaksa ikut ke pasar ikan untuk membantu Halmoni.
Toko ikan dan hewan laut ini sudah ada sejak kami sekeluarga pindah ke Seoul. Harabodji yang merintisnya dan sekarang dikelola Halmoni. Dari sinilah sumber dana keluargaku berasal. Atas alasan inilah aku tidak ingin membolos sekolah. Biaya sekolah itu sangat mahal dan aku tidak ingin mengecewakan Eomma dan Halmoni. Ya, walaupun aku pernah hampir membolos.
Hampir ya.
Jadi, dulu saat kelas 10 aku pernah mencoba kabur dari sekolah saat mata pelajaran Bahasa Korea bersama Jun Goo dan Ho Jae. Namun, belum sempat kami berhasil melompati pagar kantin, Hwang Seonsaeng selaku guru keamanan memergoki kami. Sejak kejadian itu Hwang Seonsaeng memberikan perhatian lebih padaku dan aku mendapatkan teguran juga hukuman dari guru kesayangan Golden Stars, Baek Seonsaeng.
Eh, beliau apa kabar ya sekarang?
Dua hari tanpa beliau membuatku merindukannya.
Ah, kenapa aku random sekali?
Aku mengeluarkan ponsel dari sakuku dan melihat pesan dari grup dengan nama 'Butterfly'. Mereka sedang protes padaku karena aku melarang mereka bertiga ikut denganku berjualan. Bukan apa-apa, aku tidak enak saja dengan mereka. Seorang putri Raja tidak mungkin berjualan ikan di pasar. Aku hanya membacanya sekilas saja tanpa ada niatan membalas. Jika aku muncul di grup keadaan akan semakin ramai.
"Aigoo, lihatlah tangan kalian berdua jadi kotor. Berikan ikan itu dan bersihkan tanganmu." Halmoni hendak mengambil alih ikan di tangan mereka.
"Tidak Halmoni, kami bisa melakukannya. Halmoni tahu, dengan kemampuan menjual kita akan lebih banyak pembelinya." Jun Goo berbalik dan kembali menawarkan dagangan kami pada pengunjung lain. Benar saja, tak lama kemudian banyak orang datang dan menggerumbul di lapak kami. Aku dan Halmoni disibukkan dengan melayani pembeli.
"Jun Goo, bantu aku!" teriakku pada Jun Goo yang langsung meletakkan ikannya dan berlari ke arahku. Ho Jae menatapku dengan senyuman manis di wajahnya. Aku bersyukur memiliki sahabat seperti Ho Jae dan Jun Goo.
#
21:00 KST
Sreeeek
Aku menutup pintu dan berjalan masuk ke dalam rumah dengan senyuman melekat di bibirku. Setelah selesai menjual ikan di pasar, kami makan malam di kedai milik Bo Tong Eomma yang merupakan ibu dari Ho Jae. Keluarga Ho Jae memiliki usaha keluarga yaitu kedai Odeng atau fishcake. Kami lama berada disana karena Halmoni dan Bo Tong Eomma mengobrol, maklum mereka baru bertemu setelah beberapa minggu.
"Kau tidak pernah belajar kesalahan dari masa lalu, ya?" Eomma keluar dari kamarnya dan berjalan ke arahku.
"Tadi aku-"
"Kau ini benar-benar anak tak tahu diri! Kau tahu Ibuku bekerja banting tulang setiap hari hanya untuk membiayai sekolahmu yang mahal itu. Lalu dengan tidak tahu dirinya kau malah bermain dengan teman-temanmu? Seharusnya kau memperhatikan sikapmu jika masih mau ku tampung disini!"
Aku menggeleng, "Tidak Eomma, tadi aku pergi ke-"
Plak
Aku memejamkan mata saat merasakan panas menjalar di pipi kananku. "Bagus, bergaul dengan orang-orang kaya membuatmu semakin tidak bermoral. Sepertinya keputusanku menyekolahkanmu di tempat itu adalah keputusan yang salah." Air mataku turun, kenapa Eomma selalu saja begini?
"Kenapa kau tidak pergi juga, hmm? Ku pikir hidupku akan jauh lebih baik tanpamu. Setidaknya jika kau tidak ada, ibuku tidak perlu berjualan di pasar ikan sejak pagi hingga petang. Kau pasti tahu itu."
Aku meremat ujung seragamku dan menatap Eomma. Kesabaran manusia itu ada batasnya, kan? Sekarang aku sudah di ambang batas kesabaran. Bertahun-tahun mendiamkan sikap Eomma yang terus saja menyakitiku dengan perkataan maupun perbuatannya tak juga membuatnya lebih baik tapi malah semakin jadi.
"Lalu kenapa tidak Eomma saja yang membunuhku?" Seperti dugaanku, Eomma semakin marah. Ku lihat dengan jelas kedua bola matanya menatapku tajam. Hanya kebencian yang ada di matanya itu, bahkan aku tak menemukan kasih sayang sedikit pun disana.
"Baiklah jika itu maumu. Aku akan melakukannya dengan senang hati." Eomma meraih botol soju kosong dan mengarahkannya ke tembok.
Prang
Eomma membawa pecahan botol soju ke arahku. "Aku tidak akan membunuhmu, setidaknya kau harus menggunakan otakmu untuk berpikir!" Eomma menggoyangkan pecahan botol itu padaku.
Sreekkk
Pecahan botol itu menggores keningku, sepertinya luka itu sangat lebar karena darah menetes dari sana membasahi keningku. "Jeong Woon!"