Jeong Il's pov
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kelas, lalu terhenti di Ha Wook. Aku tidak tahu penyebabnya, dia terlihat tidak bersemangat setelah kami makan bersama di kantin tadi. "Sekian materi hari ini, sampai jumpa besok." Senyumku mengembang saat melihat seluruh penghuni kelas bersorak senang dan membereskan buku-buku mereka. Ada yang memasukkannya ke dalam tas, ada juga yang memasukannya ke dalam loker.
Senyumku luntur saat melihat Ha Wook tidak menunjukkan reaksi apapun.
Hey, dia pasti kembali tersenyum setelah membaca kejutan dariku. "Ha Wook-a, bisa membantuku?" Ha Wook mendongak mentapku dan berjalan ke arahku.
"Ne, Seonsaengnim?"
Aku mengeluarkan tumpukan amplop dari dalam tasku, "Tolong bagikan ini ke teman-temanmu." Ha Wook tersenyum dan mengangguk, namun senyuman itu menghilang saat membaca sebuah kata di atas kertas itu.
Tunggu, apa dia memikirkan hal lain?
"Ku bantu." Ha Wook menyerahkan beberapa amplop pada Ho Jae. Wakil ketua kelas itu tersenyum dan mengacak rambut Ha Wook. Aku tidak suka melihat interaksi itu, sungguh.
Haruskah dia mengacak rambutnya?
"Undangan?" satu-satunya murid asal Los Angeles bernama Smith William itu membuat yang lainnya segera membukanya. Mataku terus memandang Ha Wook yang memberikan kertas itu dengan wajah datarnya.
"Waaahh! Garden party!" Ha Wook terkejut mendengarnya, ia membuka amplop di tangannya dan membacanya. Ku lihat dengan jelas senyuman mengembang di bibirnya. Ia menatapku dengan senyuman manis itu. Kira-kira, kenapa ya dia tadi tampak tak bersemangat?
"Kalian wajib datang."
"Ne, Seonsaengnim. Kamsahabnida!" Mereka serempak membungkuk ke arahku. Ah, rasanya tidak sabar menghabiskan malam mingguku dengan mereka. Yang pasti menyenangkan, karena Ha Wook ada.
#
14:00 KST
Aku mendengus kesal membaca pesan yang dikirimkan Ra Im. Dengan seenaknya dia membatalkan janji yang ia buat sendiri. Sebenarnya sore ini Ra Im mengajakku mendaki gunung dan menikmati udara pegunungan hingga malam, tapi dia baru saja mengatakan tidak bisa pergi karena ada janji dengan pasiennya. Jika dia ada janji dengan pasiennya, kenapa membuat janji denganku?
Dengan kesal aku berjalan keluar dari ruang guru. Tepat saat melewati kelas 11-4 aku melihat Ha Wook memakai sepatunya. Sebuah ide muncul di benakku, dengan segera ku kirimkan pesan pada seseorang.
/Dongsaeng/
Yoon-ah. Aku meminta izin membawa dongsaengmu pergi ke pantai.
Ok, Hyung.
Pulangkan dia dengan selamat.
Aku tersenyum membaca balasannya. Dengan senang aku mendekati Ha Wook yang sekarang sibuk memakai suncream. "Ha Wook-a." Ha Wook menatapku dengan wajah terkejutnya, dia sangat menggemaskan dengan ekspresi seperti itu. Ingin sekali ku cubit kedua pipinya.
"Ne, Seonsaengnim?"
"Ayo pergi."
"Ne?" Aku menggandeng tangannya menuju mobilku yang berada di tempat parkir.
"Temani aku bersenang-senang." Ha Wook menatapku dengan senyuman, beberapa detik kemudian dia mengangguk.
#
Pantai Eurwangni, tempat yang ku tuju bersama Ha Wook yang sejak tadi tersenyum lebar sejak tadi. "Pemandangan ini sangat indah, Seonsaengnim. Pantai ini memiliki pemandangan paling indah dari pantai-pantai yang lain." Ia merentangkan kedua tangannya dan memejamkan matanya menikmati hembusan angin hangat yang menerpa kami.
Aku tidak setuju dengan perkataannya tadi, baiklah ku akui pemandangan disini indah. Tapi, ada yang lebih indah daripada ini.
Yaitu Lee Ha Wook.
Adik Yoon ini membuatku merasa nyaman setiap ada di dekatnya, walau kami bertemu belum ada satu bulan. Setiap aku tahu dia ada di sekitarku, detak jantungku selalu tidak normal dan aku merasa sangat bahagia.
Apakah itu tanda-tanda suka?
Apakah aku menyukai Ha Wook?
"Seonsaengnim, terimakasih banyak telah mengembalikan Yoon Oppa. Sekarang keadaan Eomma berangsur-angsur membaik. Seperti yang dikatakan Halmoni kemarin, Ha Seonsaeng sudah kami anggap seperti keluarga."
Tanganku terulur mengelus rambut panjangnya, "Aku bosan mendengar ucapan terimakasih darimu, Ahjumma, dan Halmoni. Sebelum memutuskan mempertemukan kalian, aku bersikap egois dengan menyembunyikan Yoon darimu dengan alasan tidak mau kehilangannya."
"Seonsaengnim tidak pernah kehilangan Oppa, bagaimanapun Oppa tetap adik Seonsaengnim." Aku mengangguk.
"Aku pasti akan menyesal jika mempertahan egoku. Karena aku tidak akan bisa akrab denganmu. Bisa jadi kau akan membenciku setelah kau tahu jika aku menyembunyikan Oppamu."
Ha Wook menatapku, "Tentu saja aku membenci Seonsaengnim jika itu terjadi." Aku menatapnya sedih, ia terkekeh melihat wajahku.
"Tapi itu tidak terjadi, Seonsaengnim. Jangan sedih." Ha Wook melepas jaketnya, tas, dan sepatunya. Ia melangkah ke air.
"Boleh kan bermain air?"
"Tentu saja." aku melepas dasi dan sepatuku sebelum mengikuti Ha Wook yang membiarkan seragam sekolahnya basah.
"Oh ya, Seonsaengnim jangan pernah merasa sendiri. Ada aku, Oppa, Halmoni dan Eomma."
"Hmm, kau sangat manis Ha Wook-a."
Aku dan Ha Wook saling menatap, semakin lama semakin dalam. Entah sadar atau tidak, ku dekatkan wajahku ke wajahnya. Aku memejamkan mata saat wajahku semakin dekat. Tubuhku membeku saat tiba-tiba merasakan tubuhku terdorong ke belakang. Ha Wook menatapku datar, benar-benar tanpa ekspresi.
Jeong Il-ah, kau bodoh!
Bagaimana jika setelah ini Ha Wook tidak mau lagi bertemu denganmu dan benar-benar membencimu? Kau baru saja menemukan kebahagiaanmu, kenapa kau sebodoh ini Jeong Il-ah?
Mataku terpejam begitu merasakan cipratan air mengenaiku, Ha Wook tertawa keras dan berlari menjauhiku. "Awas kau ya!" Dia berteriak nyaring melihatku mengejarnya, ia menciptrat-cipratkan air ke arahku. Tentu saja ini tidak menghentikanku, ia berlari menjauh dariku namun masih dalam jangkauanku.
Aku tersenyum saat dia berada tepat di depanku, dengan cepat ku lingkarkan kedua tanganku di pinggangnya dan mengeratkannya. "Kena kau!" Ha Wook hanya diam, tidak bergerak dan tidak mengatakan apapun. Ia menunduk dan menggenggam tanganku yang berada tepat di perutnya.
Apakah ini tandanya aku mendapatkan lampu hijau?
Ha Wook berbalik, ia memelukku sangat erat membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku merangkum wajahnya dengan kedua telapak tanganku dan pandanganku tertuju tepat di matanya. Senyumannya mengembang tanda menyetujui apa yang hendak ku lakukan padanya. Ia mengalungkan tangannya di leherku dan matanya terpejam.
Aku memejamkan mata dan mengarahkan bibirku ke benda kenyal miliknya. Tanganku turun ke tengkuknya saat aku mulai melumat bibir manisnya. Hatiku senang Ha Wook membalas lumatanku dan berusaha mengimbangi ciumanku. Suara kecapan dan deburan ombak beradu membuat kami semakin bersemangat.
Kami, bukan hanya aku tapi Ha Wook juga.
Ha Wook memukul dadaku membuat ciuman kami terlepas, ia tersenyum ke arahku. Ibu jariku mengusap air liur yang tertinggal di bibir bagian bawahnya, entah milik siapa. Beberapa detik kami saling menatap, sebelum akhirnya kedua bibir kami kembali bertemu.
Senja menjadi saksi perasaanku yang tak bisa ku ungkapkan, semoga Ha Wook merasakannya.