=Ha Wook's Pov=
Klontang
Aku memukul bahu Oppa yang ceroboh, dengan indahnya ia menjatuhkan tumbler di saat yang tidak tepat. Oppa hanya meringis membuatku semakin kesal saja. Tubuhku membeku saat melihat tatapan tajam Ra Im Eonni an tatapan lembut Ha Seonsaeng.
"Maaf, kami tidak bermaksud menguping atau mengganggu. Aku hanya ingin mengambil air untuk mengisi tumblrku yang kosong."
Ra Im Eonni mengalihkan pandangannya dan menyambar tasnya yang berada di meja lalu berjalan keluar rumah. Hal yang tidak ku mengerti, Ha Seonsaeng malah diam saja. Lihatlah, ia asyik menghabiskan botol soju.
"Hyung, apa tadi tidak terlalu kasar?" Oppa menggandengku menuju meja makan.
"Dia yang membuatku kesal." Ha Seonsaeng menenggak soju lagi. Melihatnya seperti ini membuatku merasa tidak enak, hidup bersama seseorang selama 5 tahun lalu ditinggal bukan perkara mudah. Akan ada perubahan besar yang terjadi nanti.
Tapi, aku tidak mau berpisah dengan Oppa lagi. Ini juga demi Eomma.
"Apa aku mengganggu tidur kalian? Aku minta maaf. Sebenarnya aku hanya ingin minum dengan tenang, tapi dia memancing amarahku."
Oppa menuangkan soju di gelasnya dan menenggaknya, "Apa Hyung belum juga merasakannya?"
"Aku kembali ke kamar saja." Aku bangkit dari dudukku dan hendak melangkah menuju kamar Oppa di lantai 2, tapi Ha Seonsaeng memegang tanganku.
"Tidak. Kau boleh duduk disini. Tapi jangan minum ya." Aku menatap Ha Seonsaeng yang menatapku dengan senyuman, Ha Seonsaeng mabuk.
Oppa memberikan tumblernya yang sudah terisi jus mangga untukku. Aku membuka dan meminumnya sambil memusatkan perhatianku pada dua pria yang sedang membicarakan sebuah masalah.
Entah apa masalahnya, aku tidak mengerti.
"Tujuh tahun, Hyung." Aku menatap Oppa yang menenggak soju entah ke berapa kali.
Hah?
"Ya, aku tahu. Tapi bagaimana? Aku tidak merasakan apapun dengannya. Aku tidak bisa mencintainya."
Mencintai siapa?
"Kalau begitu, lepaskan saja Ra Im Noona. Dia sangat tersiksa dengan hubungan tanpa cinta seperti ini."
Hey!
Aku tidak salah dengar?
"Kau tahu sendiri bagaimana Ra Im." Ha Seonsaeng menatap Oppa, "Kau masih ingat kan terakhir kali aku meminta putus?" Ha Seonsaeng mengangkat tangan kanannya, ada sebuah cincin tersemat di jari manisnya.
Hlah, sejak kapan ada cincin disana? Saat mengajar, aku tidak pernah melihatnya.
"Ya, aku ingat. Noona membuat drama bunuh diri agar Hyung mau bertunangan dengannya?"
Hah?
Aku menatap Oppa yang mengangguk dan menatap Ha Seonsaeng yang menunduk dengan wajah sedihnya. "Aku benar-benar ingin pergi darinya, tapi dia tidak mau melepasku. Tidakkah dia tahu aku sangat tersiksa dengan semua ini?" Aku menelan ludah saat melihat kedua matanya berkaca-kaca.
"Dengan semua penyiksaan ini, kau meninggalkanku juga Yoon." Ha Seonsaeng menangis. Aku yang tidak tega melihatnya seperti ini langsung memeluknya. Jantungku berdetak cepat saat H Seonsaeng membalas pelukanku dan menangis semakin keras.
"Seonsaengnim." Aku menatap Oppa yang terlihat sedih. Oppa sudah menceritakan semuanya padaku tentang yang terjadi selama 5 tahun terakhir. Bukan hanya Ha Seonsaeng yang menganggap Oppa berharga untuknya, tapi Oppa juga.
"Seonsaengnim jangan sedih, besok ikut saja ke rumah atau menginap beberapa hari di rumah." Ha Seonsaeng menegaggak duduknya dan menatapku.
"Boleh?"
"Tentu saja. Eomma dan Halmoni pasti senang bertemu dengan orang yang merawat dan membesarkannya seperti sekarang."
"Ha Wook benar, Hyung." Ha Seonsaeng tersenyum menatap Oppa lalu menatapku. Hal yang tak ku duga, Ha Seonsaeng kembali memelukku dan beberapa detik kemudian napasnya teratur.
"Kita pindahkan Hyung ke kamar."
#
=Jeong Il's pov=
07:00 KST
Aku mematikan mesin mobil begitu mobil yang ku kendarai sampai di sebuah rumah. Yoon dan Ha Wook turun lebih dulu, mereka berjalan ke arah rumah yang sangat sederhana ini. Mataku memandang rumah itu, bagaimana sebuah keluarga tinggal di rumah seperti itu? Mendadak aku merasa khawatir dengan perekonomian keluarga Ha Wook.
"Seonsaengnim, ayo turun." Ha Wook melongokkan kepalanya ke dalam mobil. Jarak wajahnya dengan wajahku sangat dekat. Senyuman yang tampak jelas di mataku itu membuat kinerja jantungku tidak seperti biasanya.
Kenapa jantungku jadi berdetak sangat cepat?
"Ayo, Seonsaengnim. Lihatlah Oppa tidak berani masuk sendirian." Mataku membulat sempurna saat Ha Wook membuka pintu mobil dan menggandeng tanganku menuju Yoon yang harap-harap cemas di depan pintu.
"Oppa, pencet belnya cepat!" Ha Wook memukul bahu Oppanya, dengan kesal ia memencet bel rumahnya. Pandanganku turun ke arah tangan Ha Wook yang masih menggenggam tanganku. Rasanya sangat nyaman dan aku ingin selalu menggenggam tangannya seperti ini.
Ceklek
Aku memandang ke depan begitu pintu terbuka. Terlihat seseorang yang tampak berantakan dengan aroma soju yang menyengat. Mata wanita paruh baya itu membulat sempurna melihat seorang laki-laki yang berdiri tepat di depan pintu.
"Y.. Yoon-ah." Matanya berkaca-kaca, ia mendekat ke arah Yoon dan memegang wajah putranya itu.
"Yoon-ah. Uri sarangi adeul. (Anak kesayanganku.)"
"Eomma!"
Kedua sudut bibirku tertarik ke atas melihat pertemuan mengharukan ini. Hatiku menghangat saat ibu Yoon dan Ha Wook menciumi seluruh wajah putranya. Aku bersyukur tidak menjadi manusia yang egois dan aku bangga pada diriku karena melakukan hal yang benar.
"Mulai sekarang, Eomma tidak akan marah-marah lagi. Eomma akan bahagia dan depresinya tidak pernah kambuh lagi." Aku tersenyum dan memeluk Ha Wook yang wajahnya basah karena air mata.
"Ya, Ha Wook-a. Dan hal yang paling penting, kau tidak akan dipukuli Eommamu lagi. Kalian berempat akan hidup bahagia." Ha Wook mendongak, ia tersenyum dan mengangguk. Tanganku terulur merangkum wajahnya dan menghapus air matanya dari ibu jariku.
"Yoon-ah, dia siapa?"
Aku melepaskan tanganku dari wajah Ha Wook dan tersenyum menatap Ibu mereka. "Dia Jeong Il Hyung, Eomma. Dia yang merawatku dan membesarkanku seperti sekarang." Wanita paruh baya itu berjalan ke arahku. Ia memegang kedua bahuku, air matanya kembali mengalir setelah memandangku lekat-lekat.
"Gumawo, Jeong Il-ssi. Aku tidak tahu harus membalas kebaikanmu dengan apa. Gumawo mau merawat Yoonku. Gumawo." Ibu Yoon dan Ha Wook memelukku dan menangis keras. Aku membalas pelukannya dan menepuk-nepuk punggungnya.
"Tidak perlu berterimakasih, Ahjumma. Saya sudah menganggap Yoon seperti adik saya sendiri." Bukannya berhenti menangis, Ahjumma malah mengencangkan suara tangisannya. Aku menatap Ha Wook yang terisak dengan senyuman lebar.
"Jangan menangis, Eomma. Aku kembali untuk melihat senyuman Eomma." Ahjumma melepas pelukannya dan kembali ke Yoon.
"Kau harus janji, Yoon-ah. Jangan meninggalkan Eomma lagi."
Yoon mengangguk, "Aku janji Eomma."
Jujur, aku iri dengan Yoon yang masih bisa merasakan pelukan hangat seorang ibu.
"Siapa yang-"
Brak
"Yoon-ah!"