Ha Wook's pov
Sesuai dengan apa yang Oppa katakan, kami berenam berada di taman untuk triple date. Kedua pasangan itu tampak bahagia bergandengan tangan dan sesekali bercanda.
"Kau memang gila." Ho Jae tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ceritaku mengenai insiden bak mandi beberapa jam lalu.
"Jika aku tidak gila, namaku bukan Lee Ha Wook, Tuan Baek."
"Baiklah, Nona Lee. Terserah kau saja, asalkan kau bahagia itu lebih dari cukup." aku tersenyum merasakan elusan di rambutku.
Tiba-tiba Ha Seonsaeng terhenti dan berjongkok menatapku dengan senyuman manis. "Dongsaeng-i, kau mau es krim?"
"Ne, Oppa." Ha Seonsaeng tertawa kecil dan mengelus rambutku.
"Tunggu disini, akan Oppa belikan untuk semuanya."
"Aku ikut!" teriak Bok Hae berlari menyusul Ha Seonsaeng, begitu juga dengan Ho Jae.
Sambil menunggu mereka bertiga, aku, Oppa, dan Ra Im Eonni duduk di tikar. "Ha Wook-a, sejujurnya aku cemburu padamu. Jeong Il sangat menyukaimu, dimanapun dia dan bagaimanapun keadaannya hanya kau yang ada di pikirannya." aku dan Oppa spontan menatap Ra Im Eonni yang cemberut memainkan tasnya.
"Selama ini aku tidak pernah mendapatkan perhatian seperti dia memperhatikanmu. Aku hanya takut jika ternyata dia tidak menganggapmu sekedar dongsaengnya."
"Eonni bicara apa? Aku hanya dongsaengnya, tidak lebih."
"Benar Noona. Mungkin Hyung hanya terlalu senang karena akhirnya mendapatkan dongsaeng perempuan. Ku pikir perhatian Hyung untuk Ha Wook sama dengan perhatiannya untukku." Ra Im Eonni tersenyum menatap kami bergantian.
"Hmm, aku saja yang berlebihan. Maafkan aku, Ha Wook-a."
"Gwaenchana, Eonni. Jangan pernah ragukan Jeong Il Oppa." Ra Im Eonnie mengangguk.
"Lihatlah, memiliki adik perempuan yang manis sepertinya sangat menyenangkan." Oppa menggenggam erat tanganku.
"Bagi kakak laki-laki, adik perempuan sangat menyenangkan. Tapi, bagi kakak perempuan, adik perempuan adalah saingannya. Itu sebabnya kakak perempuan lebih menyukai adik laki-laki." aku menatap Oppa yang menatapku tanpa ekspresi.
Ra Im Eonni menunduk, "Yoon benar. Aku bilang pada orangtuaku tidak ingin memiliki adik perempuan karena kupikir ia akan menghancurkan hidupku dengan mengambil apa yang ku miliki." katanya memandang lurus ke depan.
"Tapi, setelah aku bertemu dengan Yoon. Aku tahu, bagaimana menyenangkannya memiliki seorang adik laki-laki, dan saat bertemu denganmu aku merasa bahwa semua statementku tentang adik perempuan itu salah. Kau tidak akan mengambil Jeong Il dariku." aku dan Oppa hanya tersenyum padanya.
Mianhae, Eonni. Soal itu aku tidak bisa berjanji.
"Es krim!" teriak Bok Hae dengan 2 es krim di tangannya. "Vanilla ice cream for Yoon Oppa," katanya sambil menyodorkan es krim.
Oppa tersenyum, "Gumawo, Bok Hae-ya." Bok Hae tersenyum dan duduk di samping Oppa.
"Es krim cokelat kesukaan uri Ha Wook." Ho Jae menyodorkan es krim dan duduk di depanku.
"Gumawo."
"Mau ku bukakan?"
"Tidak perlu, aku bisa sendiri," Ho Jae mengangguk dan sibuk dengan es krim blueberrynya.
Ha Seonsaeng memberikan es krim mangga pada kekasihnya tanpa mengatakan apapun atau bahkan melihatnya. Entah kenapa, sejak tadi aku merasa ada yang aneh dengan Ha Seonsaeng. Lebih banyak diam dan tidak mengajakku bicara.
Apa dia marah padaku?
#
Jeong Il's pov
Berulang kali aku menghembuskan napas panjang untuk menghilangkan rasa kesal dalam diriku. "Ku pikir kau lupa kesukaanku," Ra Im tersenyum padaku menunjukkan es krim yang ku pilihkan.
"Tentu saja tidak," jawabku kembali fokus dengan es krimku. Suasana hatiku mendadak memburuk saat ia datang ke rumah dan semakin buruk setelah kedatangan Ho Jae.
Interaksinya dengan Ha Wook membuatku merasa kesal. Apa aku cemburu?
"Jagiya, kau tidak mau membukakan es krim untukku?"
"Kau bisa membukanya sendiri. Jangan manja!"
"Omo!" suara Ho Jae membuatku mengalihkan pandangan padanya. Ha Wook yang sedari tadi menunduk karena memakan es krimnya mendongak. Ho Jae mengeluarkan jepit rambut dari sakunya dan memasangkannya di poni Ha Wook yang mulai panjang.
Senyuman Ha Wook yang ditujukan untuk Ho Jae membuat hatiku sakit. Aku memilih mengalihkan pandanganku dan menyendokkan es krim.
"Lihatlah, Ho Jae sangat menyukai Ha Wook hingga sangat perhatian. Tak bisakah kau perhatian juga padaku?" aku hanya menghela napas panjang dan melanjutkan makan es krim tanpa repot-repot menjawab pertanyaannya.
"Jeong Il-a!" aku tidak peduli dengannya yang merajuk. Satu hal yang ada di pikiranku saat ini adalah cara untuk merebut perhatian Ha Wook dari Ho Jae.
Jika sikap Ho Jae seperti itu, bagaimana jika Ha Wook berubah pikiran?
#
-Jeong Il's House-
18:00 KST
Aku memotong bawang dengan asal-asalan. Aku masih kesal dengan Ho Jae yang merebut perhatian Ha Wook sepenuhnya. Sayangnya, hingga pulang aku tidak punya keberanian memisahkan mereka berdua. Entah kemana sisi jahatku pergi saat aku benar-benar membutuhkannya.
Aku benar-benar pengecut!
Sekarang memang Ha Wook tidak memiliki perasaan apapun pada Ho Jae. Tapi, bukankah hati bisa berubah sesuai keadaan? Jika Ha Wook berhenti mencintaiku, maka ia akan beralih pada Ho Jae.
Tidak!
Tidak bisa begitu!
Ha Wook hanya boleh mencintaiku!
Karena cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, aku juga mencintainya dan artinya aku tidak mau kehilangan dia.
Sebenarnya aku terkejut dengan hatiku, dia tidak mau membiarkan Ra Im yang sudah bertahun-tahun berusaha meluluhkannya dan malah membiarkan Ha Wook masuk tanpa melakukan apapun.
Untuk itu, Ha Wook harus selalu bersamaku!
"Wah! Oppa memasak apa?" senyumku mengembang begitu mendengar suara yang menaikkan moodku. Aku berbalik dan melihat Yoon menggendong Ha Wook menuruni tangga. Mereka sudah bangun rupanya.
"Kalian sudah bangun? Aku akan memasak nasi goreng. Kau mau?" tanyaku padanya yang mengangguk antusias.
Senang sekali rasanya melihatnya antusias menunggu masakan buatanku jadi. Yoon menurunkan dongsaeng kesayangan kami dan berjalan mendekatiku.
"Aku akan membantumu, Hyung." Yoon memasang celemeknya dan melakukan pekerjaan seperti memotong-motong bahan pelengkap.
Sebenarnya Yoon lebih ahli dalam bidang makanan Indonesia, aku jadi sedih mengingat cerita antusiasnya tentang ayahnya yang selalu mengajarinya memasak makanan Indonesia.
Andaikan Adam Farabi tahu, kedua anaknya tumbuh dengan baik dan mereka berdua sangat merindukan kehadirannya. Aku masih tidak habis pikir dengannya, kenapa dia pergi meninggalkan istri dan kedua anaknya begitu saja?
Mana rasa tanggung jawabnya sebagai laki-laki?
Eh, kenapa aku jadi marah-marah padanya. Maafkan aku, ayah mertua.
"Tunggu sebentar ya, tidak akan membutuhkan waktu yang lama."
Cup
Aku mencium pipinya. Senyumku mengembang begitu melihat Ha Wook menerjap-ngerjap.
Aku berbalik dan menatap Yoon yang terkejut dengan apa yang ku lakukan. Yoon berkedip beberapa kali dan berbalik, meneruskan pekerjaannya memotong sosis dan bakso.
Aku tidak melakukan kesalahan besar, kan?