"Iya, Natalia. Sebuah penerbitan besar menawarkan kerja sama dengan kamu dan mereka hanya mau kamu. Namun, kali ini bukan cerita anak-anak, melainkan cerita dengan konten dewasa di dalamnya."
Seketika, Natalia membelalak dengan tatapan tidak percaya. Konten dewasa? Astaga, aku bahkan belum pernah melakukan hal semacam itu. Jangankan untuk melakukan hubungan badan, memiliki pacar saja aku tidak ada, batin Natalia dengan tatapan cemas. Bingung harus menentukan apa.
"Mereka mau membayar kamu mahal," lanjut Arav dengan nada tenang.
Natalia masih diam dengan wajah berpikir. Apa yang harus aku lakukan, batin Natalia bingung. Matanya menatap ke arah kertas putih dengan tulisan di depannya, mengamati angka dengan banyak nol tersebut. Membuatnya kembali memutar otak, antara memilih dan menolak. Pasalnya, nominal yang diberikan cukup membuatnya tergiur dengan hal tersebut.
"Bagaimana, Natalia?" tanya Arav dengan tatapan serius.
Natalia yang mendengar membuang napas pelan dan menatap Arav serius. Dia mulai mendorong pelan kertas di depannya dan mengulas senyum tipis. "Saya menolak, Pak," putus Natalia dengan tatapan serius. "Saya tidak bisa menerima tawaran ini."
"Kenapa? Ini kesempatan besar, Natalia. Kamu bisa membesarkan nama kamu. Selain itu, kamu akan mendapat uang yang cukup banyak," ujar Arav mencoba menggoyahkan keputusan Natalia.
Namun, Natalia kembali menggeleng dan tersenyum tipis. "Tetapi, maaf, Pak. Saya tetap menolak," tegas Natalia.
Arav yang mendengar membuang napas pelan. Perlahan, dia menarik kertas di meja dan memasukan kembali ke dalam laci meja kerjanya. Dia mulai menutup dan menatap Natalia dengan tatapan serius.
"Baiklah kalau memang begitu keputusan kamu. Saya tidak bisa melarang atau memaksa kamu untuk menerimanya. Namun, bisa berikan alasan kenapa kamu menolak tawaran ini, Natalia? Padahal di sana banyak yang ingin mendapat tawaran dari perusahaan Starmedia," ucap Arav serius.
"Saya rasa, saya belum bisa menuliskan hal semacam itu, Pak. Saya merasa malu kalau harus menjabarkan bagaimana mereka bermain di ranjang," jawab Natalia dengan senyum dipaksakan. Merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan Arav.
"Kenapa harus tidak nyaman? Padahal di luar sana banyak yang menuliskan hal seperti itu dan mereka tidak masalah sama sekali," sahut Arav tetap dengan posisi duduknya.
"Entahlah, Pak. Saya hanya merasa tidak nyaman saja."
Arav hanya mengangguk pelan. Matanya menatap lekat ke arah Natalia berada. Mengamati lekuk tubuh wanita di depannya. Natalia yang diperhatikan sedemikian mulai merasa tidak nyaman sama sekali. Dia berdehem pelan dan mengulas senyum dipaksakan.
"Maaf, Pak. Saya rasa saya harus segera ke kampus. Ada kuliah hari ini," ucap Natalia memecah keheningan.
Arav yang mendengar tersentak kaget dan menatap Natalia lekat. "Baiklah. Silahkah."
Natalia yang mendengar menunduk kecil dan bangkit. Dia mulai melangkah keluar, tetapi gerakannya terhenti ketika jemarinya mulai meraih gagang pintu, membuatnya berbalik dan menatap ke arah Arav yang tadi memanggil.
"Kamu bisa memikirkannya lagi, Natalia. Aku akan siap membantu kalau memang kamu membutuhkan bantuan untuk menggarap naskah kali ini," ucap Arav dengan senyum misterius.
Natalia tersenyum tipis dan mengangguk pelan. "Akan saya pikirkan. Namun, mengenai bantuan yang anda tawarkan, saya menolak. Saya rasa Sasa lebih membutuhkan bantuan anda yang satu itu."
Seketika, Arav yang mendengar tertawa keras. Natalia memutar bola mata kesal ketika melihat tingkah Arav yang menurutnya menyebalkan. Dia memilih keluar dari ruangan pria tersebut dan melangkah cepat.
Dasar mesum, gerutu Natalia.
*****
Natalia menyusuri lorong kampus dengan tatapan kesal. Ini adalah mata kuliah terakhirnya, tetapi tidak bersemangat sama sekali. Rasanya begitu enggan mendengarkan celotehan dari dosen di depannya. Tawaran yang baru saja didapatkannya membuat dia diam dengan wajah berpikir.
Apa aku tidak masalah kalau menolaknya, batin Natalia masih berpikir. Rasanya ada hal yang membuatnya tidak rela melepaskan tawaran tersebut. Namun, dia kembali mengingat mengenai dirinya yang bahkan enggan berdekatan dengan pria, membuatnya menggelengkan kepala berulang kali dan membuang napas pelan.
"Jangan pikirkan lagi, Natalia. Biarkan uang itu hilang dan kamu akan mendapat gantinya," gumam Natalia lirih, takut kalau dosennya mendengar.
Sasa yang sejak tadi melihat tingkah aneh sahabatnya mulai menyenggol lengan Natalia, membuat sahabatnya menatap ke arahnya lekat.
"Kenapa?" tanya Sasa penasaran.
Natalia hanya diam, ragu akan menceritakan hal tersebut atau tidak. Namun, setelahnya dia tersenyum lebar. "Hanya masalah deadline," jawabnya berbohong. Pasalnya, dia tidak yakin untuk mengatakan dengan Sasa mengenai tawaran tersebut.
Sasa yang mendengar hanya mengangguk pelan, mengerti dengan apa yang sahabatnya pikirkan. Hingga mata kuliah berakhir, membuat Sasa menatap ke arah Natalia yang masih diam dengan pandangan lekat.
"Nat, kamu yakin gak ada yang lain yang sedang dipikirkan?" tanya Sasa dengan tatapan lekat.
"Tidak, Sa. Aku hany ...."
"Nat, kamu ditunggu di ruangan bu Tini. Beliau bilang kamu disuruh ke sana sekarang juga," sela teman satu kelasnya.
Natalia yang mendengar mengangguk pelan dan berterima kasih. Matanya menatap ke arah Sasa yang tengah memberikan isyarat, seakan bertanya apa yang terjadi. Membuat Natalia menggeleng. Dia mulai bangkit dan menuju ke arah ruangan yang dimaksud.
Hanya butuh lima menit hingga Natalia menapak di depan ruangan dengan pintu kayu. Perlahan, dia mengetuk dan menunggu seseorang memberinya izin. Setelah diperbolehkan, dia mulai membuka pintu dan masuk. matanya menatap ke arah wanita yang tengah sibuk di depannya.
"Masuk, Nat," ucap Bu Tini.
Natalia mulai masuk dan duduk di depan dosan tersebut. Matanya menatap ke arah Bu Tini dengan pandangan lekat. Sampai Bu Tini mendongak dan menatapnya lekat.
"Maaf karena ibu mengganggu waktu kamu, Nat. Hanya saja, ibu harus memberikan kabar ini," ucap Bu Tini sembari menyodorkan kertas ke arah Natalia. "Pihak kampus sudah tidak mau memberikan toleransi dengan kamu lagi. Sudah tiga semester kamu tidak membayar biaya kuliah. Namun, kali ini kami tidak bisa menoleransi kembali. Kami akan mengeluarkan kamu kalau dalam waktu satu minggu ini kamu tidak bisa melunasinya," jelas Bu Tini dengan tatapan sedih.
Natalia yang mendengar diam seketika. Ada hal yang membuatnya semakin membisu. Hingga dia menatap bu Tini dan membuang napas pelan. "Akan segera saya bayarkan, Bu. Terima kasih."
Bu Tini hanya mengangguk dan mengulas senyum tipis. Natalia memutuskan untuk pamit dan keluar. Di luar ruangan, dia hanya diam dengan wajah berpikir. Tangannya masih menggenggam kertas yang baru saja diberikan dengannya.
Natalia yang sejak tadi hanya diam mulai membuka tasnya dan memasukan kertas tersebut. Tangannya mengambil ponsel di dalam dan menekan salah satu nomor yang begitu dikenalnya. Diam. Natalia menunggu panggilannya terhubung. Rasanya cemas kalau sampai dia dikeluarkan dari kampus. Hingga panggilannya tersambung, membuat Natalia menghela napas lega.
"Halo."
"Halo. Aku menerima tawarannya, tetapi katakan dengan mereka aku mau meminta DP secepatnya," tegas Natalia.
*****