Kini mereka sedang dalam perjalanan menuju tempat tinggal Yas. Sebenarnya Didan dan Alfiz tidak akan ikut jika tidak laki-laki dingin itu yang memaksanya. Ah, tidak, memintanya.
Didan yang menggantikan posisi Yas yang saat ini sedang diam melamun, sedangkan ia yang mengambil alih mobilnya. Sedari tadi Alfiz dan dirinya sesekali melirik kearah laki-laki itu karena merasa khawatir dengan Sahabatnya.
Alfiz menghela nafasnya, ia tahu sepertinya Yas sebenarnya sangat malas untuk pulang ke Rumahnya, karena laki-laki itu sejak SMA sudah tidak tinggal lagi bersama dengan kedua orang tuanya.
Yas memilih jalan hidupnya yang seperti ini, tinggal disebuah apartemen yang cukup untuknya sendiri tinggali tanpa ada gangguan apapun. Alfiz juga tahu apa yang menjadi alasan laki-laki itu ingin tinggal seorang diri.
Ketika Didan sedang asyik melirik-lirik Yas, kedua matanya langsung bertemu dan saling pandang satu sama lain membuatnya menjadi merasa gugup ketika ditatap setajam itu oleh Sahabatnya sendiri.
"Ngapain lo liatin gue?" tanya Yas dengan suara beratnya yang begitu khas. Perempuan manapun pasti akan langsung jatuh hati ketika mendengar suaranya, termasuk wanita yang tadi berada di Kantin.
Didan yang mendengarnya langsung meneguk salivanya, laki-laki itu terkekeh lalu berkata, "Enggak, gue cuma pengen liat lo doang," jawabnya gugup.
Yas yang mendengarnya langsung menggelengkan kepalanya, laki-laki itu sedikit menyunggingkan senyuman tipisnya, lalu kembali menampakkan raut wajah datarnya seperti biasa.
Sementara itu Alfiz dan Didan langsung tercengang ketika tidak sengaja melihat sebuah senyuman yang terpatri diwajah tampan milik laki-laki itu.
Mereka baru saja kembali melihatnya setelah sekian lamanya Yas tidak tersenyum.
"Yas, lo yakin?" tanya Alfiz.
Laki-laki itu yang mendengarnya langsung menjawab, berkata, "Gue gak akan lama," jawabnya.
"Maksud lo?" tanya Didan yang kali ini bersuara.
"Gue cuma dateng dan tolak perjodohannya, abis itu kita ke apart," jawab Yas lagi.
Setelah itu Alfiz dan Didan pun hanya menganggukkan kepalanya saja dan tidak berniat untuk membahasnya lebih jauh lagi. Karena mereka berdua mengerti, kini keduanya menjadi tahu alasan laki-laki itu memintanya untuk ikut bersamanya.
Kini mereka bertiga pun telah sampai di depan Rumah besar yang berada dihadapannya itu, seorang pria yang bertugas menjaga di Rumahnya itu pun langsung membukakan pintu gerbangnya.
Kemudian mereka pun masuk dan melewati security tersebut, Yas yang melihatnya langsung menyuruh Didan untuk membukakan kaca mobilnya sejenak sebelum akhirnya kembali menutupnya.
"Makasih, Pak." Yas berkata sembari tersenyum kepada pria tua yang bekerja sebagai penjaga Rumahnya tersebut.
Pria tua itu pun tersenyum mengangguk, berkata, "Sama-sama," jawabnya sopan.
Akhirnya mereka pun bisa memasuki Rumah besar tersebut dengan lega, tetapi tidak dengan Yas yang saat ini langsung berubah kembali menjadi lebih dingin dari sebelumnya.
Bahkan laki-laki itu begitu enggan untuk sekedar berkunjung ke Rumah besar ini yang merupakan tempat tinggalnya sendiri jika bukan Bundanya yang meminta. Maka dari itu dengan sangat terpaksa dirinya menyetujuinya.
"Si James kabarin coba, kok dia gak ikut kita ya?" ujar Didan kepada Alfiz.
Yas mendengus, berkata, "Paling dia lagi main," sahutnya sembari mengedikkan bahunya.
Pikiran laki-laki itu saat ini tertuju kepada James, pasti saat ini saudaranya itu sedang bermain-main dengan seorang wanita yang tadi bersikap kurang ajar terhadapnya.
Alfiz dan Didan pun spontan menoleh kearahnya, mereka menatapnya tidak mengerti. Sedangkan Yas langsung mengambil ponselnya yang berada didashboard dan membuka pintu mobilnya.
Di dalam mobil, Didan langsung kembali bertanya kepada Alfiz, laki-laki itu berkata, "Lo tahu maksud si Yas barusan?" tanyanya kepada sahabatnya itu.
Alfiz yang mendengarnya langsung terkekeh, berkata, "Enggak, gue juga gak tahu," jawabnya yang langsung dihadiahi tatapan tajam dari laki-laki itu.
"Kalau bukan karena lo temen gue, udah gue buang kali lo," ujar Didan dengan raut wajahnya yang begitu terlihat sedang kesal.
Saat ini Yas berjalan memasuki Rumahnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, laki-laki itu datang dengan raut wajahnya yang begitu dingin. Kedua manik matanya yang tajam menelisik sekitar, tidak ada yang berubah dan semuanya nampak sama.
Hingga akhirnya langkah kakinya harus berhenti tepat dihadapan meja makan yang dimana disana terdapat dua keluarga yang begitu membuatnya memuakkan.
Selalu ini yang akan terjadi setiap tahunnya, dan ia pun tidak pernah bosan untuk selalu menolak penyatuan dua keluarga ini yang didasari alasan demi kelancaran suatu hubungan kerja sama yang erat. Mengingat itu Yas berdecih, ia benar-benar tidak suka dengan semua kebohongan yang dilakukab oleh Orland terhadap semua orang, termasuk saat ini.
Bertepatan dengan itu semua orang langsung menoleh dan mendapati orang tuanya dan sepasang suami-istri dengan seorang gadis yang saat ini tengah terdiam menunduk.
Melihatnya saja Yas sudah sangat malas, hingga pandangannya jatuh pada seorang gadis yang sepertinya masih duduk dibangku SMA. Laki-laki itu mengangguk mengerti, setelahnya ia tahu apa yang akan terjadi selanjunya.
Orland yang melihat kedatangan putra tunggalnya pun langsung tersenyum, kemudian memberi kode kepada laki-laki itu agar ikut bergabung bersamanya.
Kemudian beralih menatap sang Bunda yang saat ini tengah memandang lurus kearahnya seolah mengatakan 'Untuk kali ini saja', membuat Yas benar-benar muak.
Laki-laki itu menghela nafasnya, lalu berjalan mendekati sebuah kursi tepat disamping sang Bunda, dan tepat dihadapannya adalah seorang gadis yang ia yakini sebagai anak dari teman bisnis Orland.
"Jadi, bagaimana Lan, kapan kita menentukan tanggalnya? tanya pria itu yang merupakan sosok ayah dari gadis itu.
Orland yang mendengarnya pun langsung terkekeh, kemudian menyempatkan diri untuk melihat putranya yang hanya diam dengan raut wajah yang menahan amarah. Setelahnya kembali menatap kearah pria yang merupakan rekan bisnisnya.
Pria itu tersenyum dan berkata, "Ah, iya benar, kita harus mempersiapkannya dengan segera. Lebih cepat, lebih baik."
Yas yang sedari tadi diam pun mengepalkan kedua tangannya, laki-laki itu sampai kapanpun tidak akan pernah menerima perjodohan ini. Sudah terhitung berapa banyak gadis yang dikenalkan oleh Orland, tetapi tidak ada satu pun yang membuatnya merasa tertarik.
Setelah acara pertemuan dua keluarga itu selesai, keluarga tersebut langsung berpamitan. Sedangkan Yas yang melihatnya saja benar-benar malas, ia sedikit menyunggingkan senyum tipisnya hanya karena sang Bunda yang memintanya.
Bertepatan dengan itu Yas pun langsung pergi begitu saja tanpa berkata apapun lagi kepada kedua orang tuanya. Orland yang melihat itu langsung mengepalkan kedua tangannya, sebenarnya pria itu tidak suka ketika melihat putranya yang selalu membuatnya kesal.
Orland benar-benar kesal melihat tingkah putra tunggalnya yang selalu berbuat tidak sopan kepadanya.
"YASHEL, MAU PERGI KEMANA KAMU?!"
Yas tahu suara siapa itu, ia terpaksa menghentikan langkahnya. Kedua tangannya mengepal kuat, dirinya tahu ini pasti akan kembali terjadi.
"Bulan depan adalah pertunganmu, jadi bersiaplah."
Rahang Yas mengeras, bahkan urat-urat dilehernya pun terlihat. Laki-laki itu menekan emosinya sekali lagi. Orland tidak pernah mengerti perasaannya, sedari kecil ia tidak pernah mendapatkan perhatian khusus dari pria itu sebagai seorang ayah.
"Aku gak pernah bilang untuk setuju dengan pertunangan ini," ujar Yas penuh penekanan. Laki-laki itu masih berusaha menahan diri untuk tidak membentak atau hal lainnya kepada seseorang yang masih dirinya anggap sebagai ayahnya sendiri.
"Ini perintah Papa, dan kamu hanya tinggal menurutinya saja!"
Yas mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, ia sangat tidak suka dengan pria itu yang selalu semaunya memperlakukan dirinya seperti sebuah boneka.
"Aku gak peduli, sampai kapanpun Yas gak akan pernah terima perjodohan ini!"
Wanita paruh baya yang merupakan mama dari Yas pun merasa khawatir dengan putranya yang selalu saja bertengkar dengan ayahnya sendiri. Sejujurnya ia pun terpaksa menuruti keinginan Orland karena pria itu yang terus saja marah terhadapnya.
Pria itu yang mendengarnya langsung berjalan mendekati putranya dengan emosi yang sudah tidak bisa ditahannya lagi. Kemudian berdiam diri tepat didepan Yas, sehingga kini keduanya saling menatap satu sama lain.
Tepat setelah itu suara yang begitu keras begitu menggema disekitarnya. Bunda Yas yang melihatnya benar-benar tidak menyangka bahwa suaminya akan melakukan itu lagi terhadap putranya sendiri.
Yas terkekeh sinis, berkata, "Udah puas kan?" ujarnya dengan suara beratnya.
Setelah itu Yas kembali melanjutkan langkahnya melewati Orland yang saat ini begitu sangat marah terhadap putra tunggalnya itu.
Tanpa semua orang sadari sedari tadi ada yang memperhatikan apa yang telah terjadi, seseorang itu merasa iba dengan Yas yang baru saja diperlakukan seperti itu oleh ayah kandungnya sendiri.
Lagi, untuk kesekian kalinya Yas harus mendapat kekerasan dari Orland hanya karena laki-laki itu menolak keinginannya.