Sudah cukup lama Alfiz terdiam menunggu di kantin dengan pikiran yang terus saja tertuju kepada sahabatnya saat ini. Laki-laki itu memainkan ponselnya, bahkan sesekali menatap sekeliling dengan bosan hingga beberapa pasang mata menatap kearahnya.
Mengetahui itu ia langsung berdecak, lalu menghela nafasnya sebelum akhirnya kembali bermain dengan ponselnya meskipun bosan sudah menghantuinya.
"Fiz," panggil seseorang.
Laki-laki itu dengan cepat menoleh kearah samping dimana disana ternyata terdapat seseorang yang membuatnya menunggu setelah sekian lamanya.
Alfiz beranjak dari duduknya dan menatap Yas yang saat ini begitu terlihat lesu, "Lo gak apa-apa?" tanyanya.
Yas menggeleng, "Enggak, gue udah baikan kok."
Meskipun begitu ia harus selalu memeriksan setiap inci dari tubuh sahabatnya tersebut, dirinya hanya ingin memastikan bahwa kejadian dulu tidak terulang kembali.
"Gue gak ngelakuin apa-apa, lo gak percaya?" tanya Yas yang menyadarinya. Sedangkan Alfiz, laki-laki itu langsung menghentikan pergerakannya dan menghela nafas.
"Sorry, gue cuma gak mau kejadian dulu terulang lagi."
Mendengar itu Yas langsung tersenyum, ia berkata, "Iya, gue ngerti kok. Makasih udah mau nunggu gue," ujarnya.
Dilihatnya seseorang yang berada dihadapannya saat ini sedang terkekeh, lalu menepuk pundak Yas sekali sebelum akhirnya berkata, "Haha, santai aja kali." Kemudian Alfiz melihat sekitar yang ternyata sudah cukup sepi membuat ia langsung kembali menatap laki-laki itu, "Lo mau balik atau masih disini?" lanjutnya.
"Hm... balik aja kali ya," ujar Yas seraya melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan bahwa ini sudah hampir sore hari.
Alfiz menganggukkan kepala, "Oke." Kemudian mengambil ponselnya yang berada diatas meja dan kembali menghadap sahabatnya.
"Lo mau main PES gak?" ujar Yas.
"Mau lah," jawab Alfiz cepat.
"Ayok, rasanya udah lama gak mabar sama lo."
Kembali, Alfiz menganggukkan kepala sebelum akhirnya berjalan mengikuti sahabatnya yang sudah berjalan lebih dulu menuju ruangan kelasnya.
Ketika sampai disana, Yas tiba-tiba menghentikan langkahnya saat melihat kursi yang selalu ditempati oleh James ternyata kosong.
"James sama Didan udah pergi duluan," ujar Alfiz, "Katanya sih mau nongkrong gitu."
Mengetahui itu Yas langsung menghela nafasnya, ia langsung mengambil tas ranselnya tanpa menatap kearah sahabatnya itu dan berlalu pergi meninggalkan Alfiz seorang diri.
Dan, Alfiz yang melihat itu menghela nafas dan mengambil tas ransel miliknya sebelum akhirnya dirinya berlari menyusul laki-laki itu.
Sepanjang berjalan menuju parkiran begitu banyak beberapa mahasiswi yang masih berkeliaran di fakultas membuat Alfiz yang mengetahui itu langsung menggeleng.
Bagaimana semua perempuan tersebut secara terang-terangan memperhatikan seseorang yang berada dihadapannya sedang melangkahkan kakinya dengan aura dingin seperti biasanya.
Tidak butuh waktu lama untuk mereka segera sampai diparkiran hingga akhirnya Alfiz langsung masuk ke dalam mobil setelah Yas.
"Yas," panggilnya kepada laki-laki itu.
"Hm?" sahut Yas.
"Lo beneran udah mendingan?" tanya Alfiz memastikan, "Kalau belum, mending biar gue aja yang nyetir."
Hal itu membuat sahabatnya langsung menoleh kearahnya dengan tatapan bertanya.
"Emangnya gue kenapa?" tanya Yas tidak mengerti.
"Gak baik kalau lo bawa mobil lagi dalam keadaan emosi yang gak stabil."
Mendengar itu Yas langsung kembali menatap lurus ke depan tanpa menghiraukan sahabatnya tersebut.
"Gak usah, biar gue aja."
Akhirnya Alfiz pun menyerah, jika sudah seperti ini ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengalah dan mengiyakan semua perkataan dari laki-laki disampingnya tersebut.
Setelah itu tidak ada percakapan lagi diantara mereka, keduanya sama-sama saling terdiam sehingga kini laki-laki tersebut sudah pergi berlalu meninggalkan area kampus.
"Yas, gue laper," ujar Alfiz.
Hening. Tidak ada sahutan dari seseorang disampingnya membuat ia yang melihatnya langsung berdecak.
"Yas, lo denger gue gak?" lanjutnya, "Gue laper, kita makan dulu yuk!"
Lagi, tak ada satu pun tanda-tanda laki-laki itu akan merespon perkataannya membuat dirinya kembali menghela nafas.
Alfiz memejamkan kedua matanya, ia menggigit bibir bawah dengan perasaan kesal setengah mati.
Sementara itu seseorang yang sedari tadi tidak menghiraukannya saat ini sedang menatap jalan raya dengan pikiran yang terus tertuju kepada permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini.
"YASHELINO ALBERT BUDEG, BEGO, LO DENGER GUE GAK SIH?! GUE LAPER WOY, LAPER ANJING!"
Laki-laki itu yang mendengarnya pun sempat terkejut, ia menoleh sekilas kearah samping dimana seseorang tersebut berada.
Dirinya mengerutkan keningnya, "Lo kenapa sih? Berisik banget," ujarnya.
"Ya lo dari tadi gue panggil malah gak nyahut, dasar budeg."
"Hah?" ujar Yas, " Masa sih?"
"Tuh, 'kan. Tahu ah!"
"Sorry, gue gak denger," ujar Yas menyesal. "Lo laper ya?"
Alfiz langsung memejamkan kedua matanya seraya menghela nafas sekali.
"Sabar Fiz, sabar. Orang sabar banyak duitnya, Aamiin."
Yas menahan senyumnya, ia masih menatap lurus ke depan fokus pada jalan raya yang begitu padat.
"Mau makan dimana?" tanyanya kepada sahabatnya tersebut.
"Tempat biasa," jawab Alfiz, "Gue mah dimana aja, sih. Asal murah sama kenyang aja."
Laki-laki itu yang mendengarnya langsung menggeleng, sedangkan Alfiz, ia saat ini menatapnya dengan penuh harap.
"Ya udah, kita ke tempat biasa aja," putus Yas tiba-tiba.
Mereka pun akhirnya sedang dalam perjalanan menuju Rumah makan tempat favoritnya seperti biasa.
Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya keduanya pun telah sampai ditempat dengan Yas yang sudah berjalan lebih dulu meninggalkan Alfiz di dalam mobil.
Alfiz yang melihat itu langsung menghela nafasnya, "Huh, yang laper siapa, yang pergi duluan siapa."
Ia berdecak, lalu menggelengkan kepala sebelum akhirnya membuka pintu dan keluar dari mobil untuk menyusul sahabatnya.
Ketika baru saja memasuki Rumah makan tersebut, Alfiz sedikit kesulitan mencari sosok laki-laki itu yang sudah meninggalkannya hingga dimana sebuah tepukan dari seseorang pun membuatnya terkejut.
Dengan cepat ia memutar tubuhnya ke belakang dan menemukan seorang Yashelino yang sedang berdiri dengan sepiring makan siangnya.
"Lo mah kebiasaan, ninggalin mulu dah," ujar Alfiz, lalu berdecak kesal. Sedangkan Yas yang melihatnya terkekeh.
"Ya udah sih tinggal ambil sendiri," ujar Yas dengan senyum menyebalkannya.
"Lo tahu sendiri disini antreannya kek gimana," lanjut Alfiz yang kini menatap beberapa orang yang sedang mengantre demi mendapat beberapa pesanan makanannya.
Dan Yas yang mengetahui itu pun mengangguk, ia mengakuinya bahwa Rumah makan tempat mereka berdua makan siang memang selalu penuh dengan pembeli yang berdatangan.
"Ya udah, lo makan yang ada aja daripada lama," usul laki-laki itu.
"Huh, padahal gue ke sini karena pengen makan makanan favorit gue," ujar Alfiz kesal.
Laki-laki itu yang melihatnya terkekeh, ia menepuk puncak kepala sahabatnya tersebut sebelum akhirnya berkata, "Sabar Fiz, mungkin itu yang namanya takdir."
Setelah itu Yas langsung berlalu pergi menuju sebuah meja makan yang kosong meninggalkan Alfiz yang masih mematung dengan perkataan dari sahabatnya tersebut.
"Takdir lo bilang?" ujarnya, ia terkekeh miris dengan kedua tangan yang berkacak pinggang. "Haha, takdir katanya. Ini sih bukan takdir, tapi nasib."
Alfiz pun memutuskan untuk menyantap makan siangnya dengan menu seadanya, menuruti seperti apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu dengan terpaksa.
Beberapa saat kemudian Yas yang sedang lahap menyantap makanannya pun melihat kursi didepannya yang baru saja ditempati seseorang.
Dan ia tahu siapa itu, laki-laki tersebut mendongak dan mendapati wajah menyedihkan dari sahabatnya sendiri membuat kening Yas berkerut.
"Kenapa lagi lo?" tanyanya.
"Ekspektasi gue buat makan sama menu favorit gue gagal, hiks."
Melihat itu Yas langsung memutar bola matanya malas, benar-benar memalukan pikirnya. Bagaimana tidak? Saat ini ada banyak orang yang menjadi memandang kearahnya karena Alfiz yang bertingkah menjijikkan.
"Udah Fiz, udah," ujarnya, "Malu dilihatin orang, anjir."
"Huaaaa gagal makan enak~"