"Kriiingg...kriingg...", Ponsel Budi berdering beberapa kali, Dia sedikit terkejut karena sedang berkonsentrasi menulis sesuatu di atas selembar kertas, buru – buru Budi mengangkat panggilan dari Ponselnya.
"Ya halo Mir, ada apa, tumben pagi – pagi dah nelpon?.
"Eh Bud sorry ngrepotin, Lu bisa kesini ga?", tanya Amir.
"Ngrepotin gimana, kesini kemana?, Budi agak bingung dengan maksud Amir.
"Gue ingin ngomong sesuatu sama Lu Bud, penting banget".
"Ya dah Lu kesini aja, Lu kerja kan hari ini?, cepetan sini ngopi – ngopi dulu".
"Gue ga kerja sekarang Bud, ga enak sama anak – anak kalau kesana, ga kerja tapi keliaran di bengkel".
"Lu dimana sekarang?".
"Warkop biasanya Bud".
"Ya udah Gue samperin sekarang, Lu jangan kemana – mana".
"Yoi Bud".
Budi langsung menutup panggilannya dan bergegas ke tempat dimana Amir berada, tempat biasanya mereka ngopi dan nongkrong ketika rehat bekerja.
"Nih bro Gue bawakan nasi uduk, Lu belum makan kan?", tanya Budi seraya menaruh bungkusan nasi di atas meja.
"Waduh, Gue dah makan bro tadi, Istri Gue libur makanya tadi sarapan di rumah", balas Amir.
"Ga masalah bro sikat aja, trus ini siapa yang makan, dah terlanjur beli".
"Ntar lagi deh bro, beneran masih penuh perut Gue".
"Ok lah, eh Lu mau ngomong apa bro, kelihatannya penting banget", Budi bertanya ke Amir sembari membuka nasi bungkusnya.
"Gini bro, Gue mau resign dari bengkel Lu".
"Resign?, kenapa bro?", Budi terkejut dengan apa yang dilatakan Amir, sendok yang hampir sampai di mulutnya ditaruh lagi di bungkusan nasinya.
"Iya bro, Gue sekarang gabung sama Resonansi, otomatis waktu Gue banyak di Resonansi sama Band Gue sendiri, Gue mutusin berhenti dari bengkel Lu, daripada disana Gue ga produktif", Amir dengan lugas menjelaskan alasannya kepada Budi.
"O gitu bro, ga apa – apa bro. Eh... Lu gabung Resonansi, emang Mereka nambah personil?", Tanya Budi keheranan.
"Ga bro, Mereka ga nambah orang. Gue disana gantiin Jaya".
"Jaya!?, emang kenapa Dia, keluar?, bukannya Dia founder Resonansi juga sama Anton?", Budi semakin keheranan dengan jawaban Amir.
"Gini bro, Jaya sulit dicari bro, dah parah banget tu anak sekarang. Semuanya dah lepas tangan, termasuk keluarganya juga. Entah sampai kapan Jaya nyandu terus, kasihan Gue sama Dia".
"Separah apa sih Dia bro, sulit dicari gimana maksudnya?".
"Ya sulit dicari, menghilang terus Dia, dah ga fokus sama Band dan keluarganya, makanya Gue diminta gantiin Dia, tapi Cuma Additional".
"Bukannya Dia pernah rehab bro?".
"Iya bro, tapi kabur terus, dah nyerah keluarganya bro, sekarang aja ga ada yang tahu Dia dimana", jawab Amir sambil merogoh kantong untuk mengambil Ponselnya yang bergetar.
Budi sejenak melamun, seperti memikirkan sesuatu. "Boss nih kopi sama air mineralnya". Tiba – tiba saja Didit si penjaga warung datang membawakan minuman untuk Budi, Budi sontak terkejut dan tersadar dari lamunannya.
"Eh... Elu Dit, ngagetin aja. Gue belum pesan Lu dah anterin Gue minuman".
"Kayak pelanggan baru aja Boss, setiap kesini kan pesannya itu terus, monggo Boss...".
"Makasih Dit...", Didit hanya mengangguk tanpa membalas ucapan terima kasih Budi. Amir sepertinya tidak memperhatikan Budi dan Didit, Dia sedang serius memelototi layar Ponselnya.
"Lu ingat ga bro, waktu kita SMP dulu Jaya pernah juara lomba lari seprovinsi mewakili sekolah Kita, pernah juga ikut seleksi Pekan olah raga pelajar. Eh sekarang Dia jadi Junkie, miris banget ga bro?".
Amir terdiam, lalu disruput kopi hitamnya. "Ya bro, Gue ingat banget, Gue juga yang anterin Dia ikut seleksi itu. Dia malahan sudah lolos seleksi, tapi karena TC nya diluar Kota dan waktu itu Dia juga getol – getolnya ngeband. Akhirnya Dia milih jadi anak Band, ya jadinya kayak gini Dia sekarang".
"Mau gimana lagi bro, gara – gara salah pergaulan Dia jadi kayak gini, padahal waktu sekolah dulu Dia ga bandel – bandel amat, justru Dia yang paling berprestasi diantara Kita", Budi menghela napas panjang kemudian mengaduk nasi uduknya yang mulai dingin.
"Ya mau gimana lagi bro, ini sudah jadi jalan hidupnya. Buruan makan tu nasi keburu dingin, jangan diaduk – aduk aja, kata Amir pada Budi.
"Lu juga donk, capek – capek Gue beliin malah dianggurin doank, protes Budi pada Amir.
"Iya -iya, nih Gue makan".
Kedua sahabat itu memang sering nongkrong di warung yang berada di ujung jalan itu. Tepat di sebelahnya terdapat penjual nasi uduk yang juga jadi langganan Mereka, hampir setiap pagi ketika akan ke bengkel, Mereka selalu mampir sarapan di penjual nasi uduk itu.
Budi melongo melihat Amir dengan lahap menghabiskan nasi uduknya, "Busyeet... cepet banget bro, padahal tadi Gue yang makan duluan, tapi Lu duluan yang habis. Tadi juga bilangnya masih kenyang".
"Khilaf bro, harap maklum", jawab Amir sekenanya.
"Sialan Lu Mir...", Amir hanya tersenyum atas umpatan Budi, Mereka biasa seperti itu, saling mengumpat dan mengejek, kebiasaan yang dilakukan semenjak bangku sekolah terbawa sampai saat ini.
Tiba – tiba saja Ponsel Amir berbunyi karena ada panggilan masuk, dengan segera Dia mengangkat panggilan itu.
"Hallo... ada apa Ton?, Hah!!, serius Lu?, Di rumah sakit mana sekarang... oke Gue kesana...", setelah menutup panggilan itu, seketika wajah Amir berubah, jelas terpancar ekspresi kerisauan dari wajahnya.
"Ada apa bro, serius banget tadi?", Budi yang penasaran mencoba bertanya pada Amir.
"Jaya masuk RS Bud, Over Dosis, sekarang lagi kritis".
"Serius Lu...", Budi terkejut dan matanya terbelalak mendengar jawaban Amir.
"Iya bro, sekarang di RS Harapan Sehat. Gue sekarang mau kesana Bud", Amir berdiri dan mengambil tasnya.
"Tunggu Mir, Gue ikut...", Budi juga berdiri lalu menghampiri Amir. "Gue nebeng Lu bro, antarin sebentar ke bengkel buat naruh motor Gue". Amir hanya mengangguk tanpa menjawab permintaan Budi.
Mereka berdua bergegas meninggalkan warung untuk menuju RS tempat Jaya dirawat, selama perjalanan menuju Rumah sakit, Mereka hanya terdiam tidak bicara satu sama lain.
*************************
"Hallo... Ton Lu dimana?, susah banget Lu dihubungi, Gue dah di Lobby sekarang sama Budi", Amir berbicara melalui Ponsel dengan Anton, suaranya sengaja dipelankan agar tidak mengganggu pengunjung Rumah Sakit lainnya.
"Lu tanya aja sama Resepsionis ruang ICU, Gue ada di depan situ".
"Oke - oke", jawab Amir lalu menutup teleponnya.
Amir lalu menanyakan kepada Resepsionis yang sedang berjaga,setelah itu mereka langsung meluncur ke tempat yang dimaksud.
Setelah beberapa saat mencari, akhirnya Mereka menemukan ruang tempat Jaya dirawat. Di sana sudah ada Anton dan Jaka serta keluarga dari Jaya, namun Minto yang merupakan sepupu dari Jaya tidak berada di situ.
Terlihat dari kejauhan Anton dan Jaka sedang mengobrol dengan Nuri, Adik Jaya. Sementara Ibu Ratna sedang duduk di kursi sambil menutupi mukanya.
Amir dan Budi langsung menuju Ibu Ratna yang sedang duduk dan masih menutupi mukanya. "Pagi Bu, maaf menganggu...", Amir mencoba menyapa Ibu daripada Jaya itu. Seketika Bu Ratna terkejut lalu menengadah, namun Bu Ratna hanya terdiam dan memandang datar pada Amir dan Budi.
"Saya hanya bisa mengucapkan semoga Jaya lekas sembuh Bu", Amir mencoba membuka pembicaraan dengan Bu Ratna.
"Iya Mir, terima kasih atas do'anya", setelah berkata seperti itu, Bu ratna kembali menunduk dan menutupi kembali mukanya. Amir menjadi ciut, Dia urungkan niatnya untuk bertanya – tanya lagi pada Bu Ratna tentang Jaya, terlihat jelas kesedihan yang mendalam pada diri Bu Ratna.
Amir dan Budi lalu berpaling kepada Nuri yang sedang mengobrol dengan Anton dan Jaka, mencoba mencari tahu tentang keadaan Jaya yang sedang berada di dalam ICU.
"Nur...", Amir menyapa Nuri dengan sedikit keraguan. Seketika Nuri menoleh ke arah Amir, Dia tidak menjawab panggilan Amir, hanya anggukan kecil sebagai isyarat balasan atas panggilan Amir.
"Kamu ga apa – apa Nur?", Amir sedikit berbasa – basi menanyakan keadaan Nuri terlebih dahulu sebelum bertanya tentang Jaya.
"Ga apa – apa Bang...", Nuri menjawab dengan sedikit menyimpulkan senyum kecil bibirnya. Jawaban yang bertolak belakang dengan apa yang terjadi pada muka Nuri, kedua matanya memerah, kantung matanya juga lebam karena terus – terusan dialiri air mata.
"Gimana keadaan Jaya Nur?", kali ini Amir bertanya langsung tentang keadaan Jaya.
Nuri menyeka air matanya yang tanpa sadar meleleh di pipinya, lalu menjawab pertanyaan Amir, "Masih kritis Bang...masih belum boleh juga masuk ke dalam, Dokter bilang tadi masih dalam pemantauan, belum tahu juga kapan stabilnya".
"Mulai kapan Dia masuk sini Nur?".
"Semalam Mas Jaya pulang Bang dianterin sama temannya, datang sudah dalam keadaan mabuk dan sempoyongan, ga bilang apa – apa Dia lalu masuk ke kamar, sempat Aku ikutin Bang sampai depan kamar, tapi langsung ditutup pintu kamarnya".
"Terus gimana ceritanya Dia bisa sampai OD, apa Dia makai di dalam kamarnya?", Amir meneruskan pertanyaanya pada Nuri.
"Awalnya setelah Mas Jaya menutup pintu kamar Aku langsung pergi ke kamarku sendiri Bang, tapi perasaanku ga enak, jadi Aku coba lihat lagi ke kamarnya Mas Jaya. Aku panggil berkali – kali ga ada jawaban, lalu Aku masuk ke kamarnya dan kulihat Mas Jaya sudah kejang – kejang dan mulutnya berbusa...", sambil menahan tangis Nuri menceritakan kronologi kejadian malam itu.
"Kamu ga menemukan hal yang mencurigakan di kamar Jaya Nur, misal alat suntik, Bong, atau hal aneh di sana?", Amir menanyai kembali Nuri, kali ini penuh dengan selidik.
Namun Nuri tidak menjawab, hanya menggelengkan sebagai tanda tidak ada yang mencurigakan di kamar Jaya. Amir coba mengorek informasi lagi ke Nuri, "Kamu kenal Nur, siapa yang anterin Kakakmu semalam?".
"Ga tahu Bang, Mereka langsung pergi setelah antarin Mas Jaya, Mereka ada 2 orang naik mobil minibus warna putih", sambil terisak Nuri menjawab pertanyaan Amir.
Amir terdiam, Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya lagi. Hanya dipandanginya Nuri yang mulai mengucur deras air matanya, kemudian dialihkan pandangannya ke arah Bu Ratna, pemandangan yang sama yang Dia dapatkan, masih seperti tadi Bu Ratna hanya terisak dan menundukkan kepalanya.
"Papa Kamu sudah tahu Nur?", kali ini Amir melontarkan pertanyaan sambil menepuk – nepuk pundak Nuri dengan bermaksud menenangkan suasana hati Nuri.
Nuri menyeka matanya, entah sudah habis berapa tissu untuk menghapus air matanya yang selalu tumpah tanpa diperintah, Dia lalu membuka suara, "Sudah Bang, sekarang dalam perjalanan mau ke sini".
Amir tak punya keberanian lagi untuk bertanya pada Nuri, walaupun masih banyak pertanyaan yang akan ditanyakan pada adik Jaya itu. Melihat keadaan Ibu dan Anak tersebut membuat hatinya trenyuh, tak bisa dibayangkan jika itu terjadi di keluarganya sendiri. Rekan – rekan Amir yang hadir di tempat itu pun tak banyak bersuara, seakan – akan kompak tidak saling berbicara di suasana yang menyedihkan di pagi itu.
Nuri bergerak menuju ke tempat duduk untuk menemani Ibunya yang masih menangis, dipeluknya wanita yang melahirkan dan membesarkannya itu, Dia mencoba menenangkan Ibunya walaupun dirinya sendiri masih tetap sesenggukan menahan tangis dan tumpahan air matanya. Entah kenapa pagi itu begitu hening, mendung pun sudah bergelayut di langit walaupun masih pukul 08:15, waktu yang seharusnya sang Mentari beranjak naik untuk menghangatkan isi Bumi, tapi pagi ini suasananya begitu berbeda, suasana yang pilu dan mengharukan kalbu.
Terdengar dari kejauhan suara langkah kaki yang bergerak cepat, entah berlari atau berjalan, langkah kaki itu berderap cepat seperti kuda pacu yang dikendalikan Joki agar cepat sampai di garis akhir. Suara itu berasal dari seorang Pria yang mulai nampak dari kejauhan, seorang Pria Parlente yang memakai kemeja putih dengan celana hitam dan sepatu pantovel yang warnanya senanda dengan warna celana yang dikenakannya. Pria itu mengenakan kacamata dan berkumis tipis, segala yang dikenakannya barang – barang bermerk, tampilannya pun rapi dan necis ala Bos – bos ataupun pengusaha.
Pria itu berjalan lurus mengabaikan Amir dan rekan – rekannya, entah tidak melihat atau memang sengaja, yang ditujunya adalah Bu Ratna dan Nuri yang duduk di kursi tunggu keluarga pasien. Pria itu langsung memeluk kedua wanita itu, entah apa yang dikatakannya pada Bu Ratna dan Nuri, tangis Mereka pecah kembali dan tumpah ruah memecah suasana.
Pria itu adalah Pak Sukarta, Ayah dari Jaya. Ayah Jaya memang jarang pulang karena sibuk mengurusi pekerjaannya, acapkali Dia keluar kota bahkan keluar negeri. Hal yang sudah dilakukannya semenjak Jaya kecil, Mereka jarang sekali bertemu, apalagi semenjak Jaya beranjak dewasa dan mulai serius di bidang musik, pertemuan Mereka dalam satu bulan dapat dihitung dengan jari, kesibukan masing – masing yang membuat Mereka jarang sekali berjumpa.
Pak Karta mencoba kuat dan tabah, meskipun dapat terlihat dengan jelas matanya berkaca – kaca dan suaranya berat seakan menahan sesuatu, Dia mencoba menenangkan Istri dan anak bungsunya. Dia tidak ingin menambah kesedihan dua wanita yang disayanginya, sebisa mungkin agar air matanya tidak tercurah dan bersikap tegar atas kejadian yang menimpa Jaya.
Tiba – tiba saja Pak Karta menghampiri Amir dan rekan – rekannya, "Kamu Anton dan Amir kan, teman sedari kecil Jaya", tanya Pak Karta sambil mengulurkan tangan kepada Mereka untuk berjabat tangan.
"Iya Pak...", Anton dan Amir menjawab serempak.
"Terima kasih sudah menemani Istri dan Anak saya, entah bagaimana Saya bisa menghadapi ini semua, mungkin ini teguran buat Saya karena terlalu abai dengan keluarga, Saya minta doa dari kalian agar Jaya lekas sembuh dan kembali seperti sedia kala lagi", tak sadar air mata Pak Karta meleleh, buru – buru Dia mengusap air mata yang jatuh itu dengan sapu tangan yang dirogoh dari kantong celananya.
"Maafkan Kami Pak, sebagai teman Kami tidak bisa mengingatkan Jaya sehingga Dia jadi seperti ini", Jaka membalas perkataan Pak Amir.
"Sudah – sudah... Sayalah yang bertanggung jawab akan hal ini, sebagai orang tua, Saya tidak bisa mengarahkan Jaya ke jalan yang seharusnya Dia lalui, mungkin jika Saya selalu ada untuknya, Dia tidak akan terjerumus seperti ini. Jadikan ini pelajaran buat Kalian, biarlah keluarga Kami yang seperti ini, tapi jangan sampai Kalian mengikuti jejak Jaya. Teruslah berkarya dan jauhi hal – hal negatif yang bisa merusak Kalian, Kalian harus saling mendukung dan mengingatkan jika diantara Kalian berbuat hal yang tidak diperkenankan".
"Iya Pak, sekali lagi Kami minta maaf atas kejadian ini", Kali ini Anton yang berbicara.
Pak Karta hanya mengangguk, kemudian berbicara, "Saya harap setelah Jaya sembuh, Kalian masih mau berteman lagi dengan Jaya, Jaya membutuhkan dorongan moral dari Kalian untuk mengembalikan mentalnya, sebagai orang yang dekat dengan Jaya, Kalianlah yang bisa mengembalikan Jaya sepenuhnya baik secara jasmani maupun rohani".
"Iya Pak, Kami siap kapanpun jika dibutuhkan, bagaimanapun juga Jaya adalah Sahabat Kami dari kecil. Baiklah pak... Kami undur diri dulu, Bapak bisa hubungi salah satu dari Kami jika memerlukan sesuatu", kali ini Amir angkat bicara.
"Ya Mir, sekali lagi terima kasih banyak", Pak Karta menyalami kembali Mereka satu – persatu. Kemudian Amir dan rekan – rekannya menghampiri Bu Ratna dan Nuri untuk berpamitan.
"Terima kasih Nak atas semuanya...", Bu Ratna yang dari tadi hanya terdiam kini membuka suara dan menjabat tangan Mereka bergiliran, tak ketinggalan Nuri pun melakukan hal yang sama seperti yang Bu Ratna lakukan.
Mereka kemudian meninggalkan ruangan tersebut, meninggalkan keluarga yang sedang dilanda kesedihan, keluaraga yang sedang menghadapi cobaan yang berat. Mereka hanya berharap semoga Jaya lekas sadar dan kembali seperti dulu, dan lepas dari belenggu jerat obat – obatan terlarang.
"Hey Bud... Lu diam aja dari tadi", Jaka mengajak bicara Budi yang memang terus terdiam semenjak datang di Rumah Sakit.
"Ga tau deh bro, mau ngomong apalagi Gue, bener – bener ga bisa ngomong, terasa kelu banget lidah Gue", Budi membalas perkataan Jaka.
"Asli broo gue terkejut, kenapa Jaya bisa sampai seperti itu, ga habis pikir banget Gue bro...", Budi melanjutkan perkataannya.
"Ya ambil hikmahnya aja bro, moga – moga aja Dia cepet sembuh, ga tega juga lihat keluarganya", Anton menimpali kata – kata Budi.
"Eh ngopi yuk... mumpung Kita pada ngumpul, Lu ga ke bengkel kan Mir?", tanya Jaka ada Amir.
"Lha ngapain Gue ke bengkel, nih bosnya ada disini...", Jawab Amir sambil menunjuk Budi.
"Ya ayo, mumpung masih jam segini", Budi merespon ajakan Jaka.
"Lu ikut ga Ton?", tanya Budi.
"Ya ikutlah, tuh ada warung kopi depan parkiran RS, langsung aja meluncur kesana", jawab Anton.
"Yoi broo...", balas Amir.
************************
Mereka sudah sampai di warung kopi yang dimaksud, Mereka duduk saling berhadap – hadapan. Keadaan warkop tersebut cukup lengang, hanya ada sekitar 3 orang yang ngopi di warkop itu, sayup – sayup terdengar lantunan musik dangdut yang diputar oleh pemilik warung melalui speaker yang diletakkan di dinding bercat warna pastel itu.
"Sayang banget bro rencana Lu gagal, keduluan Jaya masuk RS", Jaka membuka pembicaraan.
"Ga masalah bro, justru ini yang terbaik buat Dia, Dia ga jadi menjalani hukuman, hanya perlu menjalani perawatan", Amir membalas omongan Jaka.
"Justru itu bro, ya kalau Jaya sembuh, kalau ga sembuh bisa – bisa Dia...", Anton menyela pembicaraan Amir dan Jaka.
"Hush...sembarangan Lu ton kalau bicara, hati – hati kalau ngomong", seketika Jaka memotong Anton yang belum selesai bicara.
"Jak...gini lho, tetangga Gue ada yang OD seperti Jaya, hampir sebulan Dia dirawat di RS. Lu tau ga, sekarang Dia udah ga normal lagi pikirannya. Emang benar raganya sembuh, tapi karena Narkoba sudah parah banget meracuni tubuhnya, sekarang Dia ga nyambung kalau diajak ngobrol, sudah rusak kali syarafnya", sejenak Anton berhenti untuk menghisap dalam – dalam rokok yang diapit telunjuk dan jari tengahnya.
Kemudian Anton melanjutkan kembali cerita tentang tetangganya, "Ada kalanya Dia sadar, Dia nyambung kalau diajak ngobrol, bahkan hal – hal yang serius Dia nyambung. Tapi kalau dah kumat bro, disapa aja Dia ga jawab, kayak orang linglung. Kadang – kadang tanganya juga gemetaran kayak orang kena Parkinson, fisiknya juga lemah, kerja berat dikit aja Dia gampang kecapekan".
"Serius bro?", tanya Jaka penasaran.
"Ya elah, Lu kalau kagak percaya, main aja ke rumah Gue, ntar Gue kenalin sama orangnya, asli orangnya masih hidup", Anton mencoba meyakinkan Jaka.
"Sialan Lu, ngapain juga Gue kenalan sama tetangga Lu, ga ada kerjaan banget".
"Ya kali aja bro...", Anton kembali menghisap rokoknya yang hampir habis. Amir dan Budi yang memperhatikan percakapan Mereka hanya tersenyum kecil.
"Ya berdoa aja bro, mudah – mudahan Jaka diberi kesembuhan biar bisa normal seperti dulu lagi", tandas Amir.
"Aamiin...", Mereka bertiga dengan kompak mengamini ucapan Amir.
"Tapi bentar bro, Lu bilang tadi Amir punya rencana buat Jaka, rencana apa?", Tanya Budi pada teman – temannya.
"Gini lho broo...", Amir menjelaskan apa yang jadi pertanyaan Budi, dengan rinci Dia menceritakan apa yang akan dilakukan kepada Jaka, hal yang direncanakan ketika mengisi acara Pensi di SMA 17.
"Ya...semua sudah digariskan sama Yang Maha Kuasa bro, mau gimana lagi, sekarang Kita pasrahkan aja, semoga ini yang terbaik buat Jaya", kata Budi.
"Iya bro...dah jam segini, Gue cabut dulu ya, ada perlu nih", kata Anton pada teman – temannya.
"Gue juga mau ke bengkel bro...", timpal Budi.
"Okelah... Gue juga mau pulang, Mir ntar malam jangan lupa latihan buat besok", Jaka berpesan pada Amir.
"Beres boss... ayo Bud pulang, ntar kesiangan lagi", ajak Amir pada Budi.
Mereka meninggalkan warkop itu untuk kembali ke rutinitas masing – masing, menjalani dan melaksanakan tugas yang telah diperintahkan. Bergelut dengan roda kehidupan, menyeimbangkannya agar dapat bertahan dan tidak tergilas oleh kerasnya roda kehidupan.
************************