Happy Reading and Enjoy~
"APA YANG KAU LAKUKAN PADA LUNA!!! AKHHH!!"
Kalut, Luna menggunakan kakinya untuk menendang pintu besi itu, yang tentunya tetap tidak memberikan efek apapun. Ia kembali berteriak, melompat-lompat kecil guna melihat apa yang terjadi.
Ia membalikkan badan untuk menatap sekeliling ruangan, apa yang bisa di gunakannya untuk mendobrak pintu ini. Sayangnya tidak ada apapun di dalam ruangan ini selain ranjang dan juga beberapa lemari. Tetapi di ujung ruangan terdapat pintu yang berwarna coklat, jika tidak di perhatikan baik-baik pintu itu seperti dinding kamar.
Menguatkan tekad, Luna berjalan ke arah pintu itu. Pasti ada yang bisa digunakan di dalam sana. Sayang harapannya tidak terwujud. Ketika pintu itu dibuka, ada tangga yang membawanya ke bawah. Seperti menuju lorong bawah tanah, dengan pencahayaan yang minim. Memberanikan dirinya, Luna berjalan dengan ragu-ragu. Demi Derald. Dan untuk Derald.
Setelah sampai pada lantai bawah, terdapat pintu lagi. Yang terbuat dari besi tetapi berukiran mewah, tidak seperti pintu besi yang berada di atas tadi. Syukurlah pintu itu tidak tertutup, membuat Luna bisa melangkah masuk. Langkahnya terhenti, mendadak seluruh tubuhnya mendingin.
Ada ranjang berukuran sedang berseprai merah, di sebelahnya ada besi berbentuk X. Sementara di sekelilingnya terdapat beberapa cambukan yang beraneka ragam. Di sampingnya lagi berjejer pisau-pisau tajam dengan berbagai macam ukuran. Ada lemari besar di sana, dengan ragu-ragu Luna membukanya.
Seketika ia menjerit, tubuhnya terjatuh. Beringsut mundur dengan menatap takut pemandangan di hadapannya. Air matanya mengalir, ia benar-benar takut saat ini. Di dalam lemari kayu berukuran besar itu terdapat botol kaca yang berjejer.
Masing-masing botol di isi dengan sesuatu yang membuat perut Luna seketika mual. Pada jejeran botol kaca yang paling atas, ada jari-jari manusia. Jari tangan yang sepertinya milik wanita, Luna bisa melihat jari itu masih terlihat halus.
Pada jejeran kedua, setiap botol kaca terdapat bola mata. Ya, hanya bola mata yang beraneka ragam warna. Pasalnya di setiap botol terdapat darah yang membuat Luna yakin bahwa itu bukanlah mainan.
Pada jejeran ketiga, terdapat beberapa kepala manusia beserta darah. Kepala-kepala itu adalah kepala wanita, membuat Luna seketika merinding. Ia menatap sekeliling dengan mata yang memburam. Tem-tempat apa ini?
Memberanikan dirinya berdiri, Luna berjalan dengan langkah gemetar ke arah lemari itu. Menutupnya dengan ragu-ragu. Ada satu pintu di ruangan, mungkinkah itu jalan keluar. Tangannya sendiri ia gunakan untuk memeluk tubuhnya. Luna membuka satu pintu yang berada di sana, tetapi tidak bisa. Pintu itu terkunci.
Ia melihat di sebelah pintu itu ada gantungan yang terbuat dari kayu, berjejer puluhan kunci di sana. Dari yang berukuran besar hingga kecil. Luna mencoba satu persatu, kakinya sudah lemas. Tampaknya ia tidak sanggup berjalan naik dan kembali ke atas. Hanya pintu inilah harapannya yang tersisa.
Pas! Pintu itu terbuka. Luna mendorongnya dan langsung saja bau anyir menyengat. Bau darah dan bangkai. Perasaannya mulai tak kauran. Memberanikan diri, Luna mendorong pintu itu hingga terbuka seutuhnya.
Luna yakin sekali saat ini dirinya tidak lagi menginjak bumi. Di hadapannya terpampang beberapa mayat wanita yang tergantung tanpa kepala. Yang paling mengenaskan adalah, mayat itu mengenakan gaun putih pernikahan.
"Aku bertanya-tanya apa yang kau lakukan di sini?"
Luna terjatuh, tubuhnya gemetar. Ia menoleh dengan takut-takut ke arah Allard yang menatapnya tajam. Rahang lelaki itu mengeras, membuat Luna beringsut mundur dengan tatapan memohon.
Tidak! Ia tidak boleh terlihat lemah di hadapan Allard. Lelaki itu akan berbuat seenaknya dan semakin menindasnya. Tetapi sayang, seberapapun usahanya untuk bersikap tegar, Luna tidak mampu. Rasa takut menyelimutinya dengan erat. Membuat tangisan Luna tergugu.
Ia menahan kuat dirinya agar tidak memohon kepada Allard, untuk tidak menyakiti dirinya. Sebisa mungkin Luna menahan tubuhnya agar tidak bersujud di kaki pria itu. Mata Allard yang berwarna abu itu semakin menggelap. Luna semakin beringsut mundur ketika pria itu memutuskan untuk berjalan ke arahnya.
"A-allard ku mohon ..."
Luna ingin berlari, tetapi kemana? Ruang yang tersisa hanya pintu tempat mayat-mayat itu berada. Sementara untuk menaiki tangga menuju atas ruangan kedua kakinya tidak sanggup. Untuk menopang dirinya saja sepertinya Luna tidak bisa, tenaganya seolah tersedot ke dimensi lain.
"Bukankah seharusnya kau tertidur di lantai atas?" Suara pria itu menajam, tersirat bahwa dirinya tidak menyukai Luna mengetahui tempat ini.
Luna semakin bergetar, matanya berkedip guna menghalau pandangannya yang memburam. Pipinya sendiri sudah basah.
"AKU BERTANYA-TANYA KENAPA KAU BISA BERADA DI SINI!!"
Allard membentak, suara lelaki itu menggelegar. Luna memejamkan matanya, ia semakin terisak. Tidak ada pilihan lain, ia berlari dengan langkah gemetar ke arah ruang mayat itu. Masuk ke sana lalu menutup pintunya.
Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Mereka hanya mayat yang sudah mati. Tidak apa-apa.
Tetapi nyatanya sama saja, bau bangkai yang menyengat membuatnya pusing. Luna menutup mulut serta hidungnya saat bau darah itu menghantam bertubi-tubi.
"Jangan membuatku marah lebih dari ini." Suara Allard menggeram.
"Keluar atau ku bunuh kau sekarang juga!"
Iya, tidak apa-apa dirinya mati. Luna siap. Tap-tapi tentunya ia belum sesiap itu untuk menyerahkan dirinya. Apalagi jika Allard memakai cara yang mengenaskan guna mengambil nyawanya.
Luna menahan pintu itu dengan tubuhnya, berdoa di dalam hati jika ini semua hanya mimpi buruk yang berkelanjutan. Berharap saat terbangun semua kembali seperti sedia kala. Mommy yang tersenyum, daddy yang menyuruhnya menikah. Oh, bahkan Luna bersumpah akan menerima pernikahan itu. Luna bersumpah Tuhan ...
Brak!
Pintu itu terbuka, Allard menendangnya dengan kekuatan penuh. Membuat tubuh tak berdaya Luna terpental, sebelum terjatuh ke lantai yang terdapat darah yang sudah mengering itu.
Dengan langkah lebar Allard berjalan ke arahnya. Membuat Luna otomatis menggunakan kedua kakinya untuk berlari, menghindar sejauh mungkin. Allard bagai iblis kematian.
Tidak memperdulikan darah-darah kering yang berada di lantai, Luna menginjaknya. Berlari tak tentu arah guna menghindari langkah lebar Allard.
Sebuah pisau melayang, memutus ikatan satu mayat yang berada di hadapan Luna. Membuat mayat itu terjatuh tepat di hadapannya.
Luna menjerit, membalikkan badan dan berlari ke arah yang berlawanan dengan mayat. Yang tanpa di sadari, dirinya berlari ke arah Allard. Membuat jarak tubuhnya dekat dengan pria itu.
Grep!
Lengannya di tarik, sebelum kemudian tubuh Luna menubruk dada bidang milik Allard. Luna meronta dengan lemas. Hingga membuatnya terlihat pasrah. Allard tidak menyakitinya, pria itu mengangkat tubuh Luna dan menaruhnya di bahu. Membawa Luna pergi dari tempat itu menuju atas kamar.
Bersambung...