Matahari bersinar terik, tapi tidak membuat hawa sejuk kota pegunungan dengan cepat menghilang. Biasanya saat mencapai tengah hari, barulah panas tropis dengan mudah membuat kaos menjadi basah. Cahaya matahari yang lolos dari sela-sela dedaunan dan ranting berubah dari kuning lembut ke hijau dengan kilas biru, dan ungu violet yang tiba-tiba digantikan cahaya putih terang, lalu lenyap tiba-tiba. Sinar yang aneh, pikir Guntur. Membuatnya yakin yang dilihatnya bukan sinar matahari, namun sesuatu yang dikenalnya baik.
Matanya mengikuti sinar aneh itu bergerak-gerak menyusup diantara daun-daun. Langkahnya terhenti saat sinar itu masuk ke dalam hutan yang terlarang baginya kesana. Ia tidak perlu diperingatkan oleh kisah-kisah pengantar tidur atau buku-buku yang dibacanya, karena hutan itu memberi kesan ancaman bagi semua anak berumur sepuluh tahun. Ia tak kan tergoda dengan makhluk indah itu, yang merupakan salah satu dari mereka; roh binatang, dan pepohonan, dan makhluk-makhluk lain yang tersembunyi pada bagian-bagian tergelap hutan—sesuatu yang ia tidak tahu harus menyebutnya apa. Bukan hantu, karena lebih permanen, lebih solid. Guntur bisa membedakannya.
Guntur tahu tidak semua makhluk itu jahat. Ada beberapa makhluk bersinar yang suka menyenandungkan nada-nada lembut. Ia tidak mengingat kapan pertama kali melihat mereka. Mungkin sejak ia kecil—ah, ya, ia sepuluh tahun, dan sepuluh tahun itu anak besar, bukan anak kecil. Apa yang bisa diingatnya, hanyalah mereka selalu ada di sekelilingnya; bersembunyi di antara pajangan mawar atau disela-sela jendela (dan saat mereka mengira ia tidak tahu, atau sudah tidur, mereka akan melompat-lompat di atas selimutnya, atau bantal-bantalnya). Ia tidak pernah benar-benar tahu wujud mereka atau apa mereka (karena mereka selalu menghilang saat ia membuka mata). Tapi mereka selalu berbisik-bisik. Membuatnya selalu mendengar sesuatu.
Semua itu adalah rahasianya.
Seperti bisikan-bisikan pepohonan yang bagaikan suara gesekan ranting dan daun. Berbeda dengan makhluk bercahaya yang bisa membuatnya takut, Guntur tidak pernah takut pada tumbuhan. Guntur tidak bisa benar-benar memahami apa yang didengarnya, namun ia suka membayangkan mereka membicarakan tentang tunas-tunas yang tumbuh dan angin sepoi yang menebarkan wangi rerumputan; seakan waktu dunia adalah miliknya sendiri dan tidak ada yang lebih penting dari pada nyamannya sinar matahari dan segarnya air yang menyentuh akar-akar di dalam tanah. Sering, suara-suara itu membuat orang-orang tanpa sadar terbuai dan menjadi terkantuk-kantuk di bawahnya. Tapi Guntur belum pernah bertemu dengan orang yang juga bisa mendengar bisikan pohon seperti dirinya.
"Guntur! Disitu kau rupanya." Ia menoleh pada pria yang datang menghampirinya. Bibir Lintang merapat, matanya menunjukkan kekhawatiran. "Jangan berjalan-jalan terlalu jauh. Kau akan membuatku kesulitan menemukanmu," ia menggandeng tangannya dengan lembut. "Seharusnya aku meminta Banu memasang pagar agar kau tidak berkeliaran di hutan." Ia berharap Lintang tidak melakukan itu. Menyedihkan sekali terus menerus terkurung di dalam rumah. Lagi pula, ia tidak masuk ke dalam hutan.
Pria itu memandanginya, memperhatikan ekspresinya. "Tidak? kau tidak mau aku memasang pagar?" Guntur mengangguk-angguk. "Maka, sebaiknya kau tidak masuk ke dalam hutan." Kali ini Guntur menggeleng-geleng. "Kau tidak masuk?" Guntur mengangguk pelan. "Baiklah. Aku mempercayaimu." Guntur memperhatikannya; Lintang bukan orang yang mudah diyakinkan dan juga tak gampang percaya, heran sekali Guntur, melihat pria itu dengan mudah diyakinkan. Lalu Guntur sadar ada kerut yang menghiasi dahi pria itu. Ada masalah lain yang sedang mengganggunya. Jenis masalah yang lebih penting dari Guntur yang mencoba masuk hutan. Jarang sekali terjadi hal seperti ini dan itu membuatnya penasaran.
"Kau menemukannya?" suara membahana kakek Banu membuat hati Guntur riang. Guntur sangat menyukai pria tua itu. Ia sering diam-diam membawa Guntur mengawasi para pekerja di perkebunan atau ke pabrik gula, walau Lintang sudah memperingatkan terlalu berbahaya membawa Guntur kesana. Tapi yang paling Guntur sukai adalah lelucon tentang cokelat yang diam-diam di taruhnya di bawah bantal setelah ia tidur untuk ditemukan Guntur keesokan harinya.
"Ya. Apa sudah ada telepon?"
"Belum. Kau tidak menyuruh Johan menghubungi ponselmu saja?" Guntur penasaran karena mendengar nama paman Johan yang jarang disebutkan, kecuali dalam teriakan dan kemarahan kakek Banu.
"Aku butuh saluran aman, dan kau memilikinya," saat Lintang bicara, terdengar suara dering telepon dari ruang baca. "Pasti itu dia." Katanya sambil berlari.
"Karena itu aku bertanya-tanya, kenapa kau sampai butuh saluran aman?! Siapa yang mau menyadap pembicaraan kita!" teriak kakek Banu. Ia berpaling pada Guntur, seketika menghilangkan kerutan di dahinya, "Kau mau ikut makan biskuit bersamaku?" ia meraih lengan Guntur dan setengah menggendongnya agar tidak berlari mengikuti Lintang. Itu membuat Guntur kesal. Ia ingin tahu apa yang mereka bicarakan! Kakek Banu menggertak, "Hentikan kerutan di dahimu itu dan makan biskuitmu. Aku akan membuatkan susu. Kau mau yang cokelat atau vanila?" pertanyaan itu hanya dibalasnya dengan menggerakkan bahu tidak peduli, "Vanila kalau begitu."
Saat kakek Banu memunggunginya, Guntur menyelinap keluar dan berlari ke ruang baca. Terdengar suara Lintang di balik pintu, "Tidak. Masih belum ada perkembangan pada Guntur. Entah kita bisa menganggap ini keberuntungan atau tidak." Guntur berhenti di ambang pintu. "Suaranya belum kembali. Benar. Kami tidak tahu apa yang menyebabkannya. Ya. Banu menganggapnya sebagai bisu biasa. Tapi dia tidak tahu kalau tidak seharusnya ada anak terlahir cacat dalam kaum kita, jadi apapun yang menyebabkannya, ini bukan bisu biasa."
Kata-kata itu menghantam Guntur. Bisunya bukan bisu biasa. Tidak seharusnya ini terjadi pada anak-anak kaum mereka? kaum apa? (apa itu kaum?) apa ia sudah terkena penyakit berbahaya?
"Disini kau rupanya!" suara kakek Banu mengagetkannya. Di tangannya ada segelas susu. Pria tua itu melihat ekspresi Guntur dan setelah terdiam sejenak bertanya dengan lembut, "Kau tidak mau makan?" Guntur menggeleng sambil berjalan lesu ke kamarnya. "Kau mau tidur?" dengan enggan, Guntur mengangguk. Ia ingin membaca buku, soal tidur atau tidak, itu urusan nanti. "Aku akan mengantarmu ke kamar," katanya sambil meletakkan piring dan gelas, dan mengulurkan tangan untuk menggandengnya melalui tangga lengkung ke lantai dua, menuju kamarnya yang merupakan salah satu di antara kamar-kamar kosong di lorong itu. "Tentu saja kau harus banyak tidur, itu akan membuat tubuhmu kuat. Kau tidak boleh terlalu sering sakit di masa pertumbuhan."
Guntur cuma mengangguk. Sejujurnya Guntur tidak suka tidur. Ia tidak suka bagian bermimpinya karena ia sering bermimpi buruk. Mimpi-mimpi itu datang sejak ia tidak lagi bisa bicara; seakan memaksanya untuk tetap menyimpan rahasia mimpinya sendirian. "Baiklah. Aku akan memanggilmu saat makan malam sudah siap," kata pria itu sambil menutup pintu, meninggalkannya sendirian di kamar. Guntur segera masuk ke dalam selimut dan meraih buku di meja di samping ranjang.
Ia menutup bukunya kembali karena entah kenapa, ada yang membuatnya menggigil. Seperti perasaan tidak nyaman sebelum menonton film horor (kau sudah tahu ada yang membuatmu takut saat melihatnya nanti. Rasa itu membuatmu beringsut tak nyaman dan menggigiti kuku). Guntur memejamkan mata rapat-rapat, mencoba mengalihkan perhatiannya dengan berusaha menangkap nyanyian pepohonan.
Lalu ia bermimpi.
Mimpi yang aneh, tapi tak asing.
Di dalam mimpinya, ia memakai mahkota seperti di film-film, tapi bedanya ia punya dua mahkota. Ia berdiri di tengah balairung istana. Ada singgasana di belakangnya, dan patung-patung pria berpakaian tradisional yang memegang keris di sepanjang kiri dan kanannya. Di dinding sebelah kanannya, sebuah lukisan besar menggambarkan peperangan terpasang. Dalam mimpi itu, ia sendirian, memakai mahkota berhias permata biru dan menggenggam mahkota berhias permata merah. Mahkota di tangannya tidak indah, karena berwarna sehitam jelaga dan hanya menyisakan permata-permatanya yang tidak memancarkan keindahan seakan benda itu sudah terlalu aus melampaui waktu.
Lalu ia terkejut saat menyadari ada darah tumpah di bawah kakinya, menenggelamkan kaki telanjangnya. Membasahi dan mengalir di sela-sela lantai batu. Ia merasa sangat ketakutan karena tidak tahu darah siapa itu dan mengapa ia berdiri disana. Rasa takut membuatnya berlari; meninggalkan jejak kaki darah sepanjang lantai yang ia lalui. Ada pintu besar berdaun ganda dan ia berusaha meraih gagang pintunya seakan meraih pelampung penyelamat, lalu pintunya terbuka. Ia selalu berlari kesana, walau seharusnya tahu bahwa hanya ada kegelapan di depannya. Seperti yang sudah-sudah, ia terjatuh dalam kegelapan setelah melalui pintu itu, semua itu tak mampu ditolaknya, seakan mimpi itu milik orang lain, tidak bisa dirubahnya. Maka, sekali lagi ia terjatuh.
Guntur terbelalak bangun. Merasakan keringat membasahi wajahnya dan napasnya masih menderu seakan baru berlari. Ia mengusap wajah, memikirkan apa yang sesungguhnya membuatnya bermimpi semacam itu; mungkin karena rasa tertekan atau mungkin karena bisik-bisik rahasia yang terjadi di ujung tempat tidurnya. Ia mengerjapkan mata saat bola-bola cahaya warna-warni itu tidak segera lenyap dari pandangannya seperti yang biasanya terjadi.
Ragu-ragu, ia mendekati pancaran warna yang lembut itu dan mendengarkan senandung yang seakan meyakinkannya bahwa tidak apa-apa jika mendekat, tidak apa-apa jika ia menyentuhnya. Sebelum tangannya menyentuh bola-bola cahaya yang indah itu, tiba-tiba Lintang masuk ke dalam kamarnya dengan berisik. "Kau sudah bangun?" serunya dengan semangat yang jarang diperlihatkannya. Guntur melirik sekilas ke arah bola-bola cahaya yang sedang berganti-ganti warna dan memutuskan Lintang tak bisa melihatnya.
"Ayo bangun, sarapan sudah siap," kata Lintang sambil menyibak gorden dan membuka jendela. Guntur menggigil karena udara dingin. "Sepertinya kau tidur nyenyak sekali, heh? Banu tidak bisa membangunkanmu untuk makan malam," katanya sambil menyibak selimutnya, membuatnya cemberut. Guntur memberi raut muka penasaran pada seringai bahagia yang selalu membuat wajah Lintang terlihat tolol. "Akan ada dokter yang datang. Paman Johan yakin bahwa orang ini mampu mengetahui penyakitmu," katanya sambil menepuk-nepuk tangan Guntur dengan lembut seakan memberinya semangat. Guntur tidak bisa menanggapi, bukan karena ia bisu, tapi lebih karena tidak bisa memberikan reaksi yang tepat. Ia sudah punya pengalaman dengan banyak dokter dan psikiater, dan biasanya bukan pengalaman menyenangkan.
Saat Guntur selesai mandi dan sedang menghabiskan sarapannya, bel pintu berbunyi. Hilang semangatnya seketika. Guntur meletakkan sendoknya sambil mengerucutkan bibir dan Kakek Banu melemparkan senyum padanya sebelum pergi membuka pintu.
"Apa kau siap?" tanya Lintang sambil merapikan rambutnya dan menepuk-nepuk bahunya. Guntur memperhatikan; dahi dan alis Lintang berkerut, apa dia gugup? Tidak. lintang tidak pernah gugup. Dia... waspada. Kenapa?
Kakek Banu sudah mempersilahan tamu mereka lebih dahulu ke ruang tamu dan kembali ke lorong saat mereka berpapasan. Pria itu menahan lengan Lintang dan bertanya, "Sebenarnya siapa pria ini? Dia memperkenalkan diri dengan nama Jayantri. Nama yang sama dengan Guntur. Aku tidak pernah tahu jika itu nama marga, bukankah itu membuatnya menjadi paman, sepupu, atau siapapun yang berhubungan dengan Guntur?"
"Dia bernama Jayantri?" kerut menghiasi dahi Lintang.
"Kau tidak tahu? bukankah sepupumu yang mengusulkannya?"
Lintang membalas dengan senyum dipaksakan, "Tapi itu bukan masalah, kan?" perkataan itu terdengar seperti meyakinkan diri sendiri. "Jika Johan mempercayainya, kurasa dia bisa dipercaya." Lintang melirik Guntur sekilas dan berkata dengan penuh penekanan pada Banu, "Jangan coba-coba menanyakan pertanyaan-pertanyaan aneh padanya," ia berhenti sejenak dan memutuskan, "Sebaiknya kau diam saja."
"Aku sama sekali tidak bisa mengerti apa yang sedang coba kau lakukan."
Guntur setuju. Bedanya, Guntur tidak mengerti semua orang.
Tamu mereka sedang berdiri mengagumi perapian tidak pernah menyala yang menunjukkan betapa terobsesinya kakek Banu pada rumah bergaya Eropa klasik saat mereka masuk. Pria itu seorang paruh baya dengan wajah ramah. Penampilannya rapi, memakai setelan resmi seperti pekerja kantoran atau dokter, tapi juga berbeda. Dia seperti Lintang. Matanya memancarkan rahasia. "Hai," sapanya. "Namaku Bima Jayantri." Mereka bersalaman.
"Kau bisa memanggilku Lintang." Ada kekagetan yang lolos dari ekspresi Bima, seakan ia mengenal nama Lintang, kemudian merasa tak yakin jika berhadapan dengan orang yang sama. "Dan ini Guntur," lanjut Lintang sambil mendorongnya ke depan.
"Hai, Guntur," katanya sambil mensejajarkan tubuhnya. Pria itu mendongak pada Lintang, "Sedikit mengejutkanku karena mereka tidak benar-benar mirip, walau aku bisa melihat kesamaannya...."
Lintang memasang ekspresi hati-hati, "Kita beruntung."
Pria itu mengangguk. "Nah, Guntur," pria itu akhirnya memusatkan perhatiannya padanya. Pertanda dimulainya pemeriksaan, "Kemarilah, duduklah disini," katanya sambil mengulurkan tangan; membimbingnya duduk di sebelahnya. Anehnya, Bima tidak melepaskan tangannya dan ia tidak terlihat seperti hendak memeriksa sesuatu; berbeda dengan dokter pada umumnya, dia hanya menepuk-nepuk tangan Guntur dengan lembut dan sesekali membelai rambutnya. "Sejak kapan dia mulai seperti ini?" katanya dengan nada sayang.
"Sudah dua tahun lebih lima bulan," sejak ia berumur delapan tahun, lebih tepatnya, "Kami mencari berbagai cara untuk mengatasinya. Tapi seperti yang kau tahu, dia masih seperti ini."
"Apa dia pernah menangis atau berteriak-teriak dalam tidurnya?"
Lintang terlihat merenung sebelum menjawab, "Tidak. Tidak untuk sekarang, tapi ya pada awalnya. Mungkin sekitar tiga bulan sebelum ia tidak bisa bicara. Ia sering bermimpi buruk." Sebenarnya Guntur masih bermimpi buruk, tapi ia tidak bisa berteriak-teriak walau ingin.
Kali ini Bima terlihat tertarik, "Mimpi buruk seperti apa?"
"Kami tidak tahu. Dia tidak pernah menceritakannya dan aku mengira itu umum terjadi pada anak seusianya karena terlalu sering menonton film horor. Setelah dia sering bermimpi buruk, aku memintanya tidur bersamaku dan mimpi-mimpi itu menghilang. Tapi, tiba-tiba, suatu pagi dia kehilangan suaranya."
"Kehilangan seluruhnya? Bahkan dia tidak bisa membuat suara sedikitpun, sekecil apapun, bahkan jika berupa geraman."
Lintang mengangguk. "Kami menyadari jika itu aneh."
"Itu tidak aneh," katanya dengan yakin. Sekali lagi yang membedakannya dengan dokter pada umumnya. "Nah, Guntur," ia memasukkan tangannya ke dalam saku jasnya, kemudian mengeluarkan sebuah tabung berwarna hitam. Ia menarik sumbatnya dan menahan ujung botol dengan telapak tangannya seakan takut sesuatu yang ada di dalam akan melompat keluar. Ia mengenggam tangannya dan menyodorkannya pada Guntur, "Lihat ini," ia membuka genggaman tangannya. Cahaya yang cantik, berbentuk bulat dan sering berganti warna. Mirip dengan yang ada di ujung tempat tidurnya, tapi juga berbeda. Makhkuk di depannya lebih kecil dan bundar, dan warnanya lebih beragam. Cahaya itu melayang satu senti dari telapak Bima. Pria itu mengamati bola mata Guntur mulai bergerak seirama dengan gerakan cahaya itu.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" seru Banu kesal. Tentunya ia dan Lintang tidak bisa melihat apa yang dilihat Guntur. Tapi Lintang tetap diam memperhatikan, berjaga-jaga? Aura waspada memancar dari dirinya seperti binatang yang sedang diusik wilayahnya.
Tak memperdulikan Banu, Bima berkata pada Guntur, "Kau pasti selalu penasaran apa sebenarnya makhluk ini. Kau selalu melihatnya bukan? Bersembunyi di banyak celah dan berbisik-bisik? Mereka ada banyak?" Guntur mengangguk, "Namanya Andiona, artinya jiwa yang teguh. Tapi aku lebih suka menyebut yang satu ini Rainbow." Rainbow—Pelangi, Guntur juga lebih suka memanggilnya itu. "Andiona adalah makhluk pemberi mimpi. Pada jenis tertentu yang ukurannya jauh lebih besar, lebih berbahaya, dia akan memberimu mimpi buruk hingga kau tidak ingin tidur lagi. Sebagian besar mimpi-mimpi itu adalah omong kosong, tapi pada saat-saat tertentu bisa jadi sebuah visi masa depan. Tapi saranku, kau abaikan saja mimpi-mimpi itu, sering kali tidak berguna karena tidak dapat dimengerti sampai visi itu menjadi kenyataan."
"Jadi, apa kau menemukan sesuatu?" tanya Lintang yang sudah tidak sabar.
"Tentu," pria itu tersenyum, "Ini bukan penyakit, tapi jelas ini gejala dari bakatnya. Guntur punya bakat yang sangat langka, biasa disebut Buana Pradana, Kekuatan Bumi, dia sudah disentuh oleh roh bumi dan dengan itu ia punya kemampuan melihat apa yang tidak bisa dilihat manusia."
"Kau ini dokter atau cenayang? Bisa menyimpulkan semacam itu!" seru Banu.
Mengabaikan Banu, Lintang bertanya, "Maksudmu seperti melihat hantu dan sebangsanya. Seperti yang ada di tanganmu sekarang?"
Pria itu tertawa, "Tidak spesifik itu! Bakatnya lebih luas, lebih hebat. Hantu jelas salah satunya, tapi juga hal-hal lainnya. Seperti pertanda dari langit, masa depan yang dibisikkan lewat ranting-ranting dan kicauan burung, atau seperti yang ada di tanganku; sebuah bentuk kehidupan yang lebih tua dari cahaya, sesuatu yang berasal dari pembentukan dunia, spirit, roh atau apapun yang bisa dipakai untuk menyebutnya, tapi aku lebih suka memanggilnya roh bumi. Dia bisa memanggil roh bumi, walau belum bisa berkomunikasi," ia berpaling pada Banu, sambil tersenyum berkata, "Aku bukan cenayang. Julukan itu lebih pantas bagi Guntur."
"Jadi gejalanya ini tidak perlu dikhawatirkan?" sahut Lintang.
"Kau tidak perlu khawatir. Untuk mengatasi Andiona, kau hanya perlu menaburkan garam di setiap celah di kamar tidurnya, sehingga ia tidak akan bermimpi buruk lagi. Tapi, tetap perlu berhati-hati karena tidak semua makhluk bersahabat. Jadi, jangan membiarkannya berkeliaran di hutan." Lintang mendelik pada Guntur, seolah berkata, dengarkan apa yang dia bilang! Jangan berkeliaran di hutan!
"Tidak bersifat permanen? Karena kau tahu, kami kesulitan—Guntur akan sulit belajar jika dia terus membisu, dan kami tidak ingin menyekolahkannya di sekolah anak-anak berkebutuhan khusus."
"Untungnya tidak permanen. Tapi kita tidak tahu sampai kapan gejala ini akan berlangsung. Dia memang akan kesulitan bersekolah di sekolah umum, tapi bukan berarti dia idiot," ia mengusap kepala Guntur dengan sayang, "Jadi, sepertinya hari ini cukup sampai disini." Katanya sambil beranjak.
"Terima kasih sudah membantu."
"Tentu saja. Apapun untuk Guntur."
Tapi sebelum pria itu pergi, Lintang menahan lengannya. Bima menoleh masih sambil tersenyum, dan senyumnya makin lebar saat melihat ekspresi Lintang. "Aku akan menutup mulutku. Tapi bukan berarti aku akan diam saja setelah mengetahui dimana Tuan Muda disembunyikan," tapi sebelum cengkeraman Lintang mematahkan lengannya pria itu menambahkan, "Aku akan tutup mulut jika kau mengijinkanku mengunjunginya sekali waktu."
Lintang menyipitkan mata, "Apa aku ada pilihan?"
"Mulutku terkunci bahkan pada ketua klan."