Chereads / TOTEM / Chapter 3 - 2

Chapter 3 - 2

Lintang menutup pintu untuk tamu mereka dan ketika berbalik dan langsung dihadapkan dengan kakek Banu yang bersedekap sambil memasang wajah sangar. "Sekarang jelaskan padaku," katanya dengan nada berbahaya. Lintang mempersilakan pria itu masuk lebih dulu ke ruang tamu. Guntur juga mengikuti mereka.

"Apa yang harus kujelaskan padamu Banu? Kukira semuanya sudah jelas."

"Alasanmu! Alasanmu menerima diagnosa pria itu. Setelah puluhan dokter dan psikiater!"

"Oh, ya. Tentu. Aku lebih memilih mempercayai orang yang bilang penyakit Guntur sebagai bakat dari pada penyakit syaraf," ia terkekeh, seakan menganggap perkataannya sendiri lelucon.

"Lintang! Kau—"

"Sepertinya sudah waktunya memberitakukan rahasiaku padamu," Lintang berbalik dari tempatnya berdiri dan duduk di sofa. Ketenangan Lintang membuat Banu terdiam dan memilih mengikuti pria itu. Guntur juga beringsut duduk di atas karpet berbahan wol yang sering membuatnya gatal-gatal, mencari posisi yang paling nyaman.

"Kemarilah Guntur," kata Lintang sambil mengulurkan tangan. Guntur seketika melompat menghampirinya. Ada sesuatu yang berbeda dari Lintang—lebih misterius dan mendesak dari biasanya. "Pada malam aku membawa Guntur kesini, aku bilang bahwa aku adalah walinya, walau dia bukan anakku. Saat itu, apa yang kau pikirkan?"

"Pikiran positifku adalah dia anak dari kenalanmu dan yang terburuk adalah dia anak haram-mu," Guntur penasaran apa artinya "anak haram" tapi dia cuma menelengkan kepala mendengarkan.

"Tidak sepenuhnya salah," katanya sambil menggulung lengan kemejanya yang panjang dan mengulurkannya pada Banu, "Guntur kemarikan telapakmu," dan pria itu menunjukkan tanda lahir bulan sabit hitam yang identik. "Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi kami—"

"DIA ANAKMU?! KAU ANAK BENGGAL SIALAN—"

Lintang tertawa keras, "Bukan! Dia bukan anakku! Tapi kami memang berhubungan darah. Ingat? Dia bermarga Jayantri, sedangkan aku Cantrik... aku semacam pamannya.... dari garis keturunan yang sangat jauh dan rumit."

Pria itu beringsut di sofanya, terlihat tenang kembali, "Aku tidak pernah mengakui nama keluargamu, itu membuatku lupa, bahwa nama keluargamu..."

Senyum sedih melintas di bibir Lintang, "Di dalam keluargaku, memiliki beberapa bakat istimewa adalah hal yang wajar... semua anak memiliki bakat, walau terkadang lebih bermanfaat satu dibanding yang lain. Gampangnya disebut bakat supranatural."

Banu menegang, "Kau memilikinya?"

"Tentu," Lintang mengedip, seketika membuat api berkobar dalam perapian yang tak pernah dinyalakan, sebelum kembali lenyap dalam sekejap. Guntur memandang Lintang sambil ternga-nga dan Banu membelalak dari dudukannya sembari beringsut ke belakang sehingga memberikan efek ajaib seakan dia tertelan oleh sofanya sendiri.

"Ba—bagai—"

Lintang menjawab pertanyaan tidak selesai itu, "Bakat tiap anak tidak dibatasi dan tumbuh seiring dengan pertumbuhan dirinya. Satu bakat utama biasanya memiliki bakat-bakat pendamping yang tidak begitu kuat. Contohnya, bakat utamaku adalah api, aku hebat dalam pertarungan, oleh karenanya—" Guntur terkesiap saat Lintang tiba-tiba lenyap, dan seketika muncul di belakang sofa, menepuk bahu Banu hingga membuatnya terlonjak sambil melanjutkan ucapannya seakan tidak pernah terjadi apapun, "—aku bisa berteleportasi, bakat yang membantuku menguasai medan pertempuran dengan baik," lalu dalam sekejap, ia kembali ke tempat duduknya.

Banu menelan ludah. Pria itu menegakkan punggung, bersikap seakan semua hal supranatural itu tidak mengganggunya, "Kau bertarung? Itukah yang kau lakukan setelah pergi dari rumah ini?"

Guntur menengok cepat ke arah Lintang, dia pernah pergi dari rumah ini? Aku tidak bisa membayangkannya. Selama ini kupikir Lintang selalu berada disini sama lamanya seperti pohon-pohon yang tumbuh di halaman. Lintang pernah menjejakkan kaki ke dunia luar terasa tidak mungkin!

Tidak menghiraukan kekagetan Guntur, keduanya meneruskan pembicaraan, "Ada banyak hal yang tak bisa kukatakan."

"Akh... selalu saja penuh rahasia! Sampai kapan kau tidak bisa jujur padaku!"

Lintang tersenyum, "Aku bukannya tidak mau jujur, tapi ada baiknya kau tahu tidak terlalu banyak."

"Kau terlibat apa sebenarnya? Mafia? Kau bukan pria bodoh, aku tahu. Kau terlibat apa, yang sampai membuatmu lari ke tempat ini? Tempat yang—seperti yang kuingat dalam pikiran tuaku—dua puluh tahun lalu kau bilang adalah penjara bagimu!"

Lintang mengusap wajahnya, selama semenit berhenti di posisi itu. Saat ia menurunkan tangannya, ekspresi di wajahnya akan selalu Guntur ingat sebagai ekspresi tersedih yang pernah dilihatnya. Walau wajah itu tersenyum, mimik mukanya membuat Banu kehilangan kata-kata dan membuat Guntur meremas tangan Lintang, khawatir. Lintang tersenyum padanya; dengan ahli menghilangkan raut muka sedih itu.

Ia beranjak dari tempat duduknya, "Kupikir itu saja yang perlu kuberitahukan. Semoga kita tidak perlu lagi mengadakan pembicaraan semacam ini," karena apa yang akan kami bicarakan pasti akan buruk sekali, batin Lintang. Lintang merasa lebih baik untuk meninggalkan Banu mencerna pembicaraan mereka. Ia melangkah keluar ruangan dan berjalan menyusuri koridor. Pada salah satu pintu disana, ia berhenti. Lalu, ia memegang kenop pintu sambil menutup mata. Saat membuka pintu dan matanya, yang dilihatnya bukan lagi lorong penghubung antara ruang tamu dengan ruang-ruang yang lain, melainkan lembah dan desa dikejauhan; pemandangan yang bisa dilihat jika mendaki ke puncak bukit. Angin sepoi mempermainkan rambutnya dan ia memilih duduk di bawah pohon, menenangkan pikirannya.

Di lain pihak, Guntur dan Banu masih berdiam di tempat yang sama. Takjub dan tercengang dengan pengalaman supranatural barusan. Banu menyandarkan punggungnya di sofa sambil mendesah keras, lalu berkata dengan lantang, "Ini menjelaskan semuanya, sekaligus juga tidak!" Guntur beringsut dan duduk di dekat kaki kakek Banu. Memasang ekspresi penasaran. Pria tua itu menepuk-nepuk kepala Guntur dengan lembut sambil memandang perapian dengan mata menerawang, mungkin memunculkan kembali ingatan akan kobaran api yang disulut oleh Lintang.

Lalu pria itu berkata, "Aku memang tidak pernah memahami Lintang. Sejak ia kecil, aku sadar ia berbeda dari anak kebanyakan. Aku memaksanya untuk berbaur dengan anak-anak lain. Takut ia akan semakin menyendiri dengan pikiran-pikirannya. Tapi mencoba membuatnya berbaur malah semakin memperlihatkan bahwa dia berbeda," pria itu menatap Guntur, "Itu mengingatkanku padamu."

Guntur merogoh note dan pulpen yang selalu disimpan di sakunya. Benda itu hampir kosong karena dia memang jarang butuh mengutarakan pendapatnya. Ia menyodorkan note berisi tulisan pada kakek Banu. Lintang tidak membencimu, tulisnya.

Pria tua itu terkekeh, "Aku tahu! Aku tahu... dia hanya membenci tempat ini. Kau tahu. Lintang kutemukan saat masih bayi, tergeletak di depan pintu rumahku dalam keranjang. Aku heran, bayi tampan siapakah ini? Kukira salah satu penduduk desa; kupikir akan mengembalikannya saja, dan bila urusannya biaya, aku bisa membantu mereka membiayai anak itu. Tapi, walau aku mencarinya, tak kutemukan orang tuanya. Aku tak pernah berpikiran punya anak atau mengasuhnya," ia mendesah. "Tapi aku mengasuhnya. Dengan segala kekuranganku, kupikir caraku membesarkannya membuatnya jadi anak yang yang berbeda; sangat penyendiri, sangat pendiam dan pintar. Benar. Gabungan sifat-sifatnya itu membuatnya menawan, tapi aku sadar bahwa satu pikiran salah, keadaan salah, akan membuatnya sangat berbeda, sangat berbahaya."

Kau menganggap Lintang berbahaya? Tulis Guntur.

Pria itu mengerdikkan bahu, "Dia punya sifat itu. Aku tahu."

Benar. Dia bilang dia pernah bertarung. Apa bertarung berarti dia menjadi prajurid? Bertarung seperti apa? berkelahi? Membunuh? Pernahkah Lintang? Batin Guntur.

Banu kembali bicara sendiri, sambil mengawang-awang, ia berkata. "Bahkan aku sendiri tak tahu apa yang dipikirkannya. Hingga, ia beranjak remaja, ia mulai mempertanyakan asal usulnya yang tak bisa kujawab... kupikir ia mulai menemukan bakat supranaturalnya, aku tak tahu. Aku hanya melihatnya menjadi semakin aneh dan semakin kesal, sering menghilang ke dalam hutan dan pulang dalam kondisi kacau, bahkan terbakar! Tapi ia cepat sembuh, seakan luka bakar bukan apa-apa untuknya."

Guntur menulis lagi, kapan dia pergi?

"Saat usianya hampir 20 tahun. Dia tidak mau kuliah, dia sudah lama putus sekolah. Kukira tak kan ada masalah pada masa depannya, karena aku punya banyak properti yang bisa diurus, cukup untuk menjamin kehidupannya hingga tujuh turunan! Tapi entah mengapa, suatu malam, dia berkata tak tahan lagi berada disini, tempat bagai penjara baginya, dan memilih pergi. Tak pernah kembali sampai malam dia membawamu. Saat itu aku tahu ada yang berubah. Ada sesuatu yang terjadi padanya dan itu berdampak besar pada hidupnya. Mungkin ada hubungannya dengan keluarga yang berhasil ditemuinya. Dia pernah mengirim surat padaku saat itu, mengatakan ia berhasil menemukan keluarganya, walau dia tak pernah menceritakan padaku mengapa dia bisa berakhir di depan pintu rumahku. Apakah orang tuanya membuangnya? Atau ada sebab lainnya?"

Kau tidak bertanya? Tulisnya.

Banu menggeleng. "Aku menunggunya menceritakannya sendiri. Jika itu sesuatu yang tak pantas kudengar, maka sebaiknya tidak kudengar," kakek Banu meraih Guntur dan mendudukkannya di pangkuannya, "Tapi, setelah mendengar rahasianya barusan, kupikir alasannya juga tidak biasa. Maka, sebaiknya memang tidak mendengarnya." Pria itu mengerutkan kening dan mendesah.

Guntur menulis lagi, Apa yang kau pikirkan?

"Aku hanya menyayangkan tidak menjadi orang yang pantas untuk mengetahui rahasianya. Dia lebih memilih pergi dari pada mempercayaiku."

Mungkin dia tidak bermaksud menyakitimu, mungkin dengan pergi, pikirnya dia akan membebaskanmu dari kesulitan. Jadi, sebenarnya siapa orang tuaku?

Kakek Banu menggeleng. "Itu pertanyaan yang sangat tiba-tiba. Tapi maaf, aku tidak bisa menjawabnya. Hanya Lintang yang tahu. Kupikir, jika kau sendiri yang bertanya padanya, dia mungkin akan menjawab. Kau akan bertanya?"

Guntur mengangguk.

"Selama ini, siapa yang kau pikir orang tuamu? Apa yang kau pikirkan?"

Guntur menulis, Aku tidak berpikir. Aku tidak peduli. Dulunya kupikir Lintang dan kakek Banu sudah cukup.

"Apa yang membuatmu berubah pikiran?"

Karena sepertinya alasanku berada disini juga sama tak biasanya dengan Lintang, pikirnya dalam kebisuan.