Ketika Dewi pulang, Restu sudah di rumah dan telah membalikkan piring, berniat makan malam. "Kalian sudah pulang. Apa yang pantas dilihat dari pemukulan anak-anak yang kelaparan? Ayo cepat makan. Nanti, aku akan mencari tukang untuk membantu kita membangun toilet".
Karena masih ada pekerjaan yang harus dilakukan pada siang hari, keluarga tersebut buru-buru membereskan sisa makanan. Mereka kemudian bergegas ke kamar untuk istirahat. Restu kemudian menyadari jika anak-anaknya berhasil mengumpulkan banyak kedelai hari ini karena kedelai-kedelai itu masih berserakan di lantai.
Dewi segera mengumpulkan kedelai yang ada di lantai. Ia tak ingin ada tetangga yang tau, takut menjadi fitnah. Apalagi akan ada tukang yang datang ke rumahnya untuk membantu membuat jamban, jadi keluarga Restu tidak perlu lagi bingung ketika hendak buang hajat.
Anak-anak tidak bisa banyak membantu dan hanya bisa menyapu rumput, bahkan mereka hanya melihat dan mengamati, bersiap jika nantinya ada yang membutuhkan bantuan mereka.
Anak-anak kemudian pergi ke ladang, tapi sedikit kecewa. Hampir semua ladang sudah selesai dibajak. Tidak ada harapan lagi untuk mengais sisa penen. Mona hanya bisa menghela nafas sambil melihat tanah kosong. Tidak mungkin menemukan makanan dari sini. Dia harus mencari cara lain untuk mengumpulkan bahan makanan untuk keluarganya.
"Kakak, apakah gunung itu jauh?"
Rena melirik pegunungan di kejauhan, "Gunung itu cukup jauh dari rumah kita, butuh empat puluh menit berjalan kaki untuk kesana, mengapa kamu menanyakan ini?".
"Kakak, kita tidak bisa menemukan apa-apa lagi di ladang. Mari kita ke gunung itu. Mari kita temukan sesuatu di sana atau makanan di rumah tidak akan cukup sampai akhir tahun."
Anak-anak tahu jika tidak ada cukup makanan di rumah. Meskipun Dewi telah mengurangi porsi makannya belakangan ini, setidaknya dia bisa menahan lapar dengan minum air. Tapi tetap saja menjadi masalah jika nantinya air bersih juga susah didapatkan.
Tidak akan nyaman hidup dengan perut lapar, jadi mereka senang ketika ada harapan baru, menemukan bahan makanan di gunung. Mereka berharap bisa meringankan beban orang tuanya.
"Kak, kita akan kesana besok. Bahkan jika kita tidak dapat menemukan makanan di sana, kita bisa mencari kayu bakar.".
Keempat bersaudara ini kembali setelah mencari jerami. Mereka menemukan ayahnya sudah di rumah. "Ayah, ayah sudah pulang, ayah tidak bekerja?". Semua sedang bekerja sekarang, jadi anak-anak bertanya keheranan mendapati ayahnya di rumah.
"Nenekmu sakit, jadi ayah pulang lebih cepat."
"Mengapa ayah harus pulang saat nenek sakit, seharusnya paman tidak perlu lagi mengabarkannya pada kita?"
Kata-kata anak-anak ini sangat sulit dijawab, "Paman-pamanmu sudah pergi bekerja, dan Ayah tidak terlalu sibuk hari ini, Jadi, ayah bisa pergi menjenguk nenek."
Faktanya, Restu tidak mengatakan yang sebenarnya.
"Nenek sakit? Kita harus mengabari keluarga yang lain, bukan?" Mona mengedipkan mata pada Rano.
Si kecil langsung mengerti, "Ya, Ayah, nenek sedang sakit. Kita ini cucu-cucunya. Jadi, kita harus datang menjenguknya. Ayo pergi bersama."
Anak-anak berpegangan tangan dan pergi ke rumah neneknya. Mereka berjalan dengan hati-hati ke kamar tempat neneknya tidur. Nenek sedang berbaring di kasur seolah-olah dia sedang tidur, tetapi Mona tahu jika mulut neneknya itu penuh biskuit. Sudah pasti neneknya itu sedang makan biskuit sebelum mereka masuk kamarnya.
"Nek, kami datang untuk menemuimu" kata Eka di samping neneknya.
Nenek tidak mengatakan apa-apa, dia pura-pura tertidur, "Saudaraku, nenek perlu disuntik untuk sembuh seperti aku yang sakit terakhir kali dan baru sembuh ketika disuntik? Ayo pergi ke rumah Pak Joko dan meminta bantuan".
Mona yang masih kecil dan berbicara dengan lembut, tetapi terdengar menyakitkan di telinga nenek. Butuh uang untuk berobat. Meskipun nenek tidak takut disuntik, dia takut menghabiskan uang. "
"Kakak, mari kita cari dokter untuk memeriksa nenek. Ayo cepat," Rano mengulangi kata-kata Mona.
Nenek berpikir, jika dia tidak bangun, keempat anak itu mungkin benar-benar memanggil dokter untuk memeriksanya.
"Hei, siapa di sini, kenapa berisik sekali".Nenek membuka matanya perlahan dan melihat beberapa cucu-cucunya, ia berpura-pura baru saja bangun.
"Oh, kalian. Aku sudah tidak apa-apa. Besok akan baik-baik saja. Kalian bisa pulang. Tapi, jika kalian ingin tidur disini, aku tidak akan mengusir."
Jelas bahwa nenek telah mengeluarkan sindiran halus untuk mengusir. Eka kemudian membawa adik-adiknya keluar.
"Nenek sepertinya dia tidak sakit. Kenapa ayah bilang dia sakit."
"ayah tahu benar nenek sedang sakit atau tidak. Dan ketika sakit, nenek pasti menginginkan makanan lezat." .
Eka jelas tahu situasinya, dan Mona mengerti mengapa kakaknya mengatakan hal itu.
"Mengapa kedua paman kita tidak datang. Kenapa nenek tak sadar jika paman telah mengabaikannya, hanya ayah kita yang paling perhatian. Untuk membelikan nenek biskuit, aku yakin ayah telah meminjam uang", jelas Rena yang sempat melihat remah-remah biskuit di kamar neneknya.
Kakak beradik itu berjalan kembali ke rumah tanpa berkata-kata untuk beberapa saat, menyebarkan kedelai yang telah diambil siang tadi, menjemurnya agar kering.
Penyakit nenek tidak penting lagi dibahas, Saat ini yang paling penting bagi mereka adalah memastikan perut mereka tetap bisa kenyang.
Ketika Dewi kembali pada malam hari, Rano menceritakan apa yang terjadi hari ini. Dia sudah terbiasa dengan penyakit ibu mertuanya. Ah, sudahlah. Bukankah ibu hanya minta? Ketika kondisi keuangan stabil, Dewi yakin bisa memberikan lebih banyak untuk ibu mertuanya. Dia sangat ingin melihat betapa ibu mertuanya bahagia dikirimi banyak makanan.
"Rano, tetap berlaku baik kepada nenek. Bagaimanapun, dia membesarkan ayahmu dan paman-pamanmu. Bahkan, ia sudah berkorban banyak. Tidak makan enak demi membesarkan ayahmu, lho".
"Bu, keluarga kita pasti akan lebih sulit lagi, bahkan hutang yang sebelumnya belum dibayar." Rano tidak mempermasalahkan jajanan yang diminta neneknya, ia hanya khawatir keluarganya tidak bisa mendapatkan pinjaman lagi ketika butuh uang.
"Anak-anak, ibu tahu bahwa kamu mengkhawatirkan keluarga ini. Jangan khawatir, ada ayah dan ibu disini," kata Dewi kepada anak-anak, tetapi dia masih khawatir di dalam hatinya bahwa jika dia terus mencari pinjaman, akan semakin sulit melunasi hutangnya.
"Bu, hari ini kita hanya bisa mengumpulkan sekeranjang, tidak akan ada lagi" Eka bercerita dengan sedikit prustasi.
Dewi dengan lembut menyentuh kepala putranya, "Itu sudah banyak, Eka. Jika kami yang mencarinya, kami tidak bisa mengumpulkan sebanyak ini."
Setelah pulang kerja, Restu menceritakan kepada istrinya tentang istrinya dengan ekspresi menyesal, "Restu, bukankah itu hanya camilan? Jika kamu ingin memakannya, kamu bisa membelinya. Ketika dia tidak bisa memakannya, kamu bisa memakannya. Tidak masalah jika kita harus meminjam uang. Ayo kita belikan ibu makanan yang lebih enak ".
Restu tahu bahwa ibunya terlalu berlebihan. Jika dia benar-benar sakit itu bisa dimaklumi, masalahnya adalah adik-adiknya yang tidak peduli. Apakah adik-adiknya mengandalkannya? Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.