Entah untuk yang keberapa kalinya Nico mendengar cinta terkait dengan uang. Tidak bisakah ia membayangkan cinta murni di antara dirinya dan orang yang dicintainya? Meskipun dia sepenuhnya paham akan situasi yang dihadapi Sandra. Dia bukan sekedar wanita bermata duitan. Uang yang selalu berputar-putar dalam otaknya bukan dia pikirkan untuk dirinya sendiri. Dia bahkan tidak pernah belanja barang-barang yang tidak penting dan lebih memilih menghemat uang yang dimilikinya. Semua ini dia lakukan untuk keluarganya. Dan Nico secara kebetulan memiliki harta kekayaan dan aset pribadi yang tak terhitung jumlahnya, tentu saja dia bersedia dengan senang hati menolong gadis yang dicintainya. Tapi tetap saja, gadis ini sama sekali tidak sensitif. Membicarakan masalah uang dengan mudahnya di saat-saat yang tidak tepat.
"Hm kenapa diam saja" Sandra mendapati Nico yang belum berbicara untuk waktu yang lama. Mungkin dia terlalu terkejut dengan permintaannya yang seenaknya dan begitu mendadak.
Sandra sangat tidak senang sehingga dia membalikkan wajahnya, merasa sangat tidak nyaman dengan keheningan di antara mereka. Ia lalu melompat dari atas sepeda. Sepeda masih melaju, meluncur menuruni jalan berbukit. Sandra yang melompat secara mendadak, jatuh tersungkur di jalanan. Melihatnya, Nico dengan cepat menghentikan sepedanya, rasa takut mendatanginya hingga ia terdiam untuk beberapa detik.
Merasa seperti orang bodoh, Sandra terlalu melebih-lebihkan kemampuannya. Ia pikir dirinya memiliki kekuatan super, bisa mendarat dengan selamat ketika dia melompat dari sepeda yang sedang melaju. Tentu saja tidak. Ia akhirnya terjatuh hingga lututnya tergores dan mengeluarkan sedikit darah. Sandra berteriak kesakitan dan tidak bisa bergerak. Saat itu juga dia menyesal telah bertindak begitu bodoh.
Nico bergegas membuang sepedanya dan berlari ke arah Sandra. Tapi gadis itu malah menepis tangannya: "Tidak butuh. Bukannya kamu tidak peduli denganku."
"Apa maumu sebenarnya? Kita masih di jalan raya. Kalau ingin berbuat masalah setidaknya tunggu kita sampai di rumah," kata Nico dengan dingin sambil meraih lengan gadis itu dan langsung menariknya. Penolakan Sandra terasa sia-sia melawan kekuatan tangan kekar Nico.
"Biar saja! Aku mau pulang sendiri. Kamu pergi saja"
Sandra mendorong tubuh Nico setelah berhasil bangkit. Tapi tentu saja tenaganya tidak cukup untuk membuat pria tinggi itu goyah. Sandra berjalan tertatih-tatih menahan rasa sakit di lututnya. Setiap mengambil langkah, ia berteriak kesakitan dalam hatinya. Sejujurnya dia begitu berharap Nico akan datang dan menarik dirinya dengan cepat dan meminta maaf.
Tapi kenapa orang ini belum menyusul? Sandra diam-diam menghitung langkahnya. Merasa kecewa pacarnya masih belum mengejarnya setelah lima langkahnya yang tertatih-tatih. Ia merasakan perih di seluruh lututnya dan tak kuasa menahan keseimbangan tubuhnya. Dia kembali jatuh ke tanah dengan dramatis.
Melihat ini, Nico tidak bisa berdiam diri lagi. Berpikir bahwa Sandra akan menepis uluran tangannya lagi, ia memilih untuk dengan cepat mengangkat gadis itu dari tanah dan menggendongnya.
"Gadis bodoh," ujarnya dengan nada dingin. Tapi tidak dengan raut wajahnya yang jelas terlihat khawatir. Sangat khawatir dengan kecerobohan gadis ini.
"Turunkan aku." Kemarahan Sandra masih belum mereda.
"Diam. Dengar, kenapa sulit sekali bagimu untuk menyadari kalau kamu satu-satunya orang di dunia ini yang aku pedulikan." Nico kembali menatap gadis itu dengan penuh kasih.
"Kalau begitu, kamu bilang kamu salah, dan kamu tidak akan mengulanginya lagi", ujar Sandra masih enggan melihat wajah Nico. Ia begitu paham bahwa pria seperti Nico pada dasarnya angkuh dan tidak pernah menundukkan kepalanya. Kata 'maaf' seakan tidak pernah keluar dari mulutnya. Kali ini Sandra ingin mendengarnya.
"Baik aku salah. Aku tidak akan berani mengganggu bayi sepertimu lagi, ayo pergi!" Nico meminta maaf dengan mencibir, sedikit mengejek tingkah kekanakan Sandra.
Apa yang bisa dilakukan Nico selain menuruti gadis ini? Dengan patuh, dia tidak ingin gadis itu terus melukai dirinya sendiri. Sepertinya Nico tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis ini bahkan hanya sebentar saja. Hanya dalam sekali kedip saja, tiba-tiba gadis ini sudah melompat dari sepeda tanpa pikir panjang. Sungguh menyeramkan.
Sandra tertawa terbahak-bahak. "Nah begitu. Bagaimana dengan uang yang aku minta?"
"Aku akan berikan semuanya, berapapun kamu yang kamu mau, bahkan dalam jumlah yang jauh melebihi hutang keluargamu pun akan aku beri. Asalkan kamu tidak melompat dari sepeda lagi dan membuatku khawatir" ujar pria itu putus asa. Ia menundukkan kepalanya, mata penuh kasih sayang itu tidak pernah meninggalkan wajah Sandra sedetik pun.
"Hore..." Sandra tersenyum penuh kemenangan di pelukannya.
"Apa kakinya sakit?" Mata Nico tertuju pada luka di lutut Sandra. Celana panjangnya robek di bagian lutut, memperlihatkan luka yang memerah dan memar parah. Melihatnya saja membuat Nico merasa tertekan. Seharusnya dia tahu kalau Sandra adalah gadis yang begitu nekat. Kalau saja dia tahu kalau gadisnya akan melompat dari mobil, dia tidak akan berani menggodanya.
"Tentu saja sakit! " Sandra cemberut.
Nico sedikit mengernyit, dan bibir tipisnya jatuh ke bibir gadis di pelukannya, membasahinya seperti hujan yang membasahi bumi.
"Bagaimana sekarang?" Tanya Nico setelah mengecupnya.
Sandra memandangi wajah tampannya dengan bodoh, dan menggelengkan kepalanya: "Sudah tidak sakit. Aku sembuh!"
Reaksinya membuat Nico tertawa lega. "Oke. Ayo pulang." Ia meletakkan Sandra dengan lembut kembali ke atas sepeda dan bergegas mengayuh sepedanya agar segera sampai ke rumah.
Saat ini adalah jam sibuk, ada banyak mobil dan orang-orang di jalan.
Di tengah jalan, di sebuah mobil yang tidak melaju dengan cepat, Dodi Atmaja memegang sebatang rokok di mulutnya, asap keluar dari lubang hidungnya, membuat mobil berbau tembakau.
Kedua matanya tiba-tiba menangkap sosok yang familiar di sisi jalan. Ia memicingkan mata mencoba melihat dengan lebih jelas. Tidak salah lagi, pria itu adalah keponakannya, Nicolas Atmaja. Sedang apa dia?
"Tuan! Lihat, bukankah itu..."
"Ya. Aku juga melihatnya. Keponakanku yang telah hilang selama berhari-hari", ujar Dosi memotong kalimat asistennya. Tangannya mengepal erat. Tidak ia sangka bahwa Nicolas ternyata dalam keadaan baik-baik saja, dan bahkan sedang bersepeda dengan membawa seorang gadis yang tidak dikenal. Tunggu dulu... bukankah ini justru sebuah kesempatan emas. Sekarang perusahaan berada dalam kekacauan karena Nicolas tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya, membuat semua orang curiga. Dodi Atmaja mengambil kesempatan untuk memenangkan hati sekelompok orang dari dewan direksi. Posisi Presiden Nicolas tidak akan bertahan dalam waktu lama.
"Pergi dan periksa asal-usul gadis ini. Aku ingin semua informasi yang berhubungan dengannya, segera", ujar pria tua berjanggut itu tanpa memalingkan pandangannya dari Nico dan Sandra sedetik pun.
"Siap tuan". Sang asisten mengeluarkan ponselnya dan mengambil beberapa foto Nico dan wanita dalam pelukannya. Kemudian mobil melaju dengan cepat.
Asisten itu dengan giat menggerakkan jarinya di atas layar tablet, berupaya menggali informasi tentang Sandra hanya dengan berbekal beberapa foto wajahnya. Tak berapa lama kemudian ia berhasil mendapatkan informasi yang dibutuhkan bosnya.
"Tuan, informasi yang Anda inginkan sudah tersedia." Asisten menyerahkan tablet itu kepada Dodi yang kemudian membacanya sendiri.
Sandra Hartono, 18 tahun, siswa baru di sekolah keperawatan. Ayahnya adalah presiden Hartono Group. Latar belakang keluarganya cukup baik. Apakah Nicolas benar-benar terpikat oleh gadis ini? Jika ini masalahnya, Dodi Atmaja pasti memikirkan sejuta cara untuk mencari peluang untuk menjatuhkan keponakannya itu.