Chereads / Nikah Kontrak : Kejutan Sang CEO / Chapter 9 - Sebuah dilema...

Chapter 9 - Sebuah dilema...

Rambut Sandra yang panjang dan berwarna hitam terurai dengan berantakan. Tentu saja ia tidak punya cukup waktu untuk merapikan rambutnya dengan benar. Leo mengangkat tangannya, mengarahkan jemarinya untuk menyisir setiap helai rambut Sandra. Gadis itu hanya berdiri dengan tenang sambil melahap sarapannya. Ia sudah terbiasa membiarkan Leo menata rambutnya setiap kali ia bangun kesiangan.

"Cepat naik.", ujar Leo. Sandra pun melompat ke kursi belakang dan melingkarkan tangannya di pinggang Leo. Dengan santainya ia kembali mengunyah sarapannya.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, kedua siswa itu segera turun dari sepeda.

"Ketiduran lagi?", Leo mengeluarkan dua lembar tisu dari tasnya dan menyerahkannya kepada Sandra.

"Hehe! Seperti biasa!", gadis itu tertawa dan kemudian dengan cepat menyeka sisa makanan di mulutnya dengan tisu.

Melihat keadaan sekeliling yang sangat sepi, Sandra sedikit panik dan mempercepat langkahnya. Sejak mereka memasuki gerbang sekolah, tidak ada seorang pun kecuali penjaga keamanan dan tukang bersih-bersih.

"Sudahlah, jangan lari terlalu cepat. Lagipula kita sudah terlanjur terlambat." Kata Leo dengan tenang.

Leo sama sekali tidak mempedulikan apapun selain momen ini. Ia maju beberapa langkah untuk menyusul Sandra dan meraih tangan gadis itu, membuat langkahnya melambat. Mereka berdua mencoba menikmati suasana sepi sekolah di pagi hari. Ketika semua siswa sudah memasuki ruang kelas, dan hanya ada mereka berdua berjalan di halaman.

"Apakah masalahnya sudah terselesaikan?" Wajah Leo berubah menjadi serius.

Sandra tersenyum kecut menyadari sahabatnya ternyata mengetahui tentang masalah keluarganya: "Dari mana kamu mendengar tentang ini?"

Siapa lagi jika bukan Diana, kakak tiri Sandra. Wanita bermulut besar itu pasti mengatakan hal yang tidak-tidak ke semua orang.

"Jika bukan karena kakakmu yang memberitahuku, aku pasti tidak akan tahu bahwa hal sebesar itu terjadi dalam keluargamu, mengapa kamu tidak memberitahuku?"

Leo memandang Sandra dengan cemas.

"Masalah ini tidak ada hubungannya denganmu.", Sandra menundukkan kepalanya dan terus berjalan ke depan. Ia tidak ingin melihat raut wajah Leo yang begitu mencemaskannya.

Membuat Leo khawatir adalah hal yang paling Sandra hindari. Mereka adalah teman baik yang tumbuh bersama. Leo juga selalu bersikap baik dan lemah lembut kepadanya. Kebaikannya itulah yang semakin membuat Sandra lebih enggan untuk berbicara. Ia berjalan sedikit lebih cepat meninggalkan Leo beberapa langkah di belakangnya.

"Sandra!"

Dengan cepat, Leo meraih tangan Sandra sebelum ia melangkah semakin jauh.

"Mengapa kamu memperlakukanku seperti orang asing?", lanjut Leo dengan suara berat, "Kamu tahu, jika terjadi sesuatu denganmu, aku tidak akan hanya duduk dan menonton."

Tentu saja Sandra tahu itu. Leo adalah orang yang rela melakukan apapun demi dirinya. Bahkan jika itu mengorbankan kepentingan pribadinya sendiri. Sejak di bangku sekolah menengah akhir, Leo yang memiliki prestasi akademis yang gemilang. Ia bahkan menjadi incaran banyak Universitas ternama. Tetapi pada akhirnya ia malah memutuskan untuk mendaftar di sekolah keperawatan ini. Apalagi jika bukan karena agar bisa terus bersama Sandra?

"Jangan dipikirkan. Lagipula kamu tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini. Keluarga kami berhutang hampir satu milyar. Bahkan papa pun tidak mampu mengatasinya. Memangnya apa yang bisa kamu lakukan?", Sandra tersenyum, menunjukkan keputusasaan.

Perkataannya cukup membuat Leo tak bisa berkata apapun lagi. Memang, dia bukan dewa, juga bukan penyelamat, dia tidak bisa membantu Sandra menyelesaikan semua masalah, tapi bagaimanapun caranya dia harus mengurus masalah ini.

"Sudah! Jangan khawatir tentang itu, aku pasti baik-baik saja! Ayo cepat kita masuk kelas sebelum kita dihukum", Sandra menepuk punggung Leo dengan lembut, keduanya pun pergi ke kelas bersama.

Namun pada akhirnya, kedua siswa yang terlambat ini dihukum untuk berdiri di depan kelas. Lagi. Entah untuk yang keberapa kalinya.

......

Di rumah Sandra...

Nico bangkit dari tempat tidur dan mengenakan sandalnya. Ia berjalan mengelilingi seisi rumah, mulai dari ruang tamu ke kamar mandi hingga dapur. Namun tidak menemukan sosok gadis yang ia cari. Suasana sangat sunyi, tidak ada suara apapun kecuali suara nafasnya yang berat.

Berani sekali gadis itu pergi begitu saja tanpa menyiapkan makanan untuknya. Apa dia mau gajinya dipotong?

Leo mengambil ponsel dan menelepon Sandra. Jarinya menekan-nekan tombol ponsel dengan keras karena kesal.

Di kelas, Sandra tengah asyik mengobrol dengan teman sekelasnya saat ponsel gadis itu berdering tiba-tiba. Layar ponselnya menunjukkan nomor yang tidak dikenal. Siapa? Agen asuransi? Pikir Sandra dalam hati. Ia tidak membutuhkan ini sekarang. Yang dia butuhkan adalah uang, uang, dan banyak uang. Tanpa pikir panjang, ia menutup telepon dengan tangannya dan lanjut mengobrol dengan teman-temannya.

Mendengar suara jaringan diputus, Leo menatap ponselnya dengan raut wajah muram. Luar biasa, sekarang ada manusia yang berani menolak telepon darinya.

Leo meletakkan satu tangan di pinggangnya dan membuat sambil tangan yang lainnya masih menggenggam ponsel. Ia kembali mencoba melakukan panggilan.

Ponsel Sandra berdering lagi. Sial, darimana para agen asuransi ini mendapatkan nomor ponselnya? Kenapa mereka tidak menyerah dan masih terus menelepon?

Sandra mengerutkan dahinya, tangannya meraih ponsel yang ada di dekatnya.

"Maaf, saya tidak membutuhkannya. Jika Anda menelepon lagi, saya akan ..."

Sandra menjawab telepon dengan ketus dan nada yang mengancam. Tapi belum sempat ia menyelesaikan ancamannya, suara di ujung telepon terdengar jauh lebih dingin, dan langsung berbalik memberikan ancaman yang membuat telinga Sandra merinding.

"Kamu punya waktu sepuluh menit untuk pulang kemari. Atau gajimu akan kupotong"

Suara bos?

Sandra menatap nomor asing di layar ponselnya dengan pandangan tak percaya. Bagaimana dia tahu nomornya?

Tunggu. Ini bukan waktunya untuk memikirkan hal ini. Bosnya terdengar sangat marah dan bahkan mengancam untuk memotong gajinya!

Gadis itu langsung meletakkan telepon ke telinganya lagi, ia mengubah suaranya menjadi selembut mungkin. Bahkan bibirnya tersenyum meskipun si bos tidak dapat melihat wajahnya,

"Maaf, bos. Saya sedang di sekolah, dan nanti masih ada kelas, sepertinya saya tidak..."

"Segera." Jawab Nico dengan suaranya yang berat. Ia langsung memutuskan jaringan telepon dan melemparkan ponselnya ke meja.

Sambil menghela nafas panjang meratapi nasibnya yang begitu buruk akhir-akhir ini, Nico berjalan lunglai ke arah dapur. Perutnya lapar, dan ia tidak punya pilihan lain selain harus memasak untuk dirinya sendiri. Meskipun sempat mengancamnya dengan serius, sebenarnya Nico tidak mengharapkan Sandra bolos kelas dan pulang hanya untuk membuatkannya sarapan.

Tunggu, kenapa dia menutup teleponnya?

Sandra hampir berteriak frustasi. Keterlaluan sekali orang itu! Tapi jika Sandra membuat alasan lagi, ia bisa benar-benar dipecat. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara matanya penuh dengan tatapan kosong. Apa yang harus ia lakukan? Tentu saja ia harus tetap di sekolah, tetapi bosnya yang pemarah menunggunya untuk pulang...dalam sepuluh menit?!

Pergi ke kelas atau pulang untuk memasak? Kedua tangan Sandra memegangi kepalanya, merasa sedang terjebak dalam dilema yang sangat serius.

Dari kejauhan, Leo diam-diam memperhatikan gerak-gerik Sandra yang berubah menjadi aneh sejak ia menjawab telepon entah dari siapa. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Lelaki berkacamata itu kemudian menghampiri Sandra dengan tersenyum hangat.

"Kamu kenapa?" ​​Tanyanya.

Agak terkejut dengan kedatangan sahabatnya, Sandra hanya menggelengkan kepalanya dan menyembunyikan ponselnya: "Bukan apa-apa."

Ada seorang pria asing pemarah tinggal di rumahku. Sandra pasti sudah gila jika ia mengaku kepada Leo tentang situasi yang dihadapinya saat ini. Jika Leo tahu tentang keberadaan bos, ia pasti tidak tinggal diam dan mereka bisa terlibat dalam perkelahian yang mematikan! Sandra bergidik ngeri dengan hanya membayangkannya. Tanpa sadar, Sandra memperhatikan Leo dari atas ke bawah. Bagaimana lelaki cupu dengan lengan dan kaki yang kurus ini bisa selamat menghadapi bosnya?

"Kenapa kau jadi melihatku seperti itu?", Leo semakin menaruh curiga pada Sandra yang juga semakin bertingkah aneh.

Namun kali ini Sandra tidak berkomentar. Pikirannya kembali hanyut ke dalam perdebatan sengit antara keinginannya untuk tetap mengikuti kelas di sekolah atau menuruti perintah bosnya untuk segera pulang. Ia memikirkan berbagai skenario dan konsekuensi dari masing-masing keputusannya, dan pada akhirnya otaknya selalu sampai pada ancaman bosnya. Ya, taruhannya adalah uang! Ia bisa kehilangan satu-satunya kesempatan untuk melunasi hutang keluarganya!

Sandra tiba-tiba duduk berlutut dengan tangan memegangi perutnya dengan erat. Ekspresi wajahnya seperti sedang menahan rasa sakit yang luar biasa.

"Sandra, ada apa denganmu?!"

.............