Chereads / Prince Of Last Pubred / Chapter 2 - Menolong Pemuda Tampan

Chapter 2 - Menolong Pemuda Tampan

"Boa! Aku bilang berhenti!" teriak seorang gadis dengan wajah kesalnya. Namun, yang diteriaki tetap tak mau berhenti.

"Kau tak mendengarku? Aku bilang berhenti Boa!" gadis dengan rambut ikal pirang itu kembali berteriak. Ia sedang mengejar makhluk yang dipanggil Boa itu dihalaman rumahnya yang terlihat sejuk dan nyaman.

Makluk itu benar-benar terlihat sangat imut dan lucu. Boa bertubuh sedikit gendut dan pendek, ia bahkan hanya sebesar genggaman tangan. Rambutnya seperti api menyala-nyala. Namun, warnanya sangat indah dan berubah-ubah.

Gadis tadi berdiri tepat di depan Boa, sambil berkacak pingang "kau, siapa yang menyuruh mu menghancurkan barang-barang ku?!" tanyanya kesal.

Ngrukk

Boa hanya mengerjap lucu, sambil mengeluarkan suara khasnya yang tidak dimengerti. Membuat gadis tadi gemas sendiri, lalu memindahkan Boa ketepalak tangannya.

Gadis bernama Thalia itu menjitak kening kecil Boa, "kau ini nakal sekali!" ujar lalu membawa masuk Boa kedalam rumahnya.

"Lihat ulah mu, semua ramuan ku pecah dan berantakan! Sudah aku bilang berapa kali, kau tak boleh merusaknya!" Thalia menunjuk barang-barang diatas meja tua  yang sedikit usang itu dengan kesal. Namun, lagi-lagi Boa hanya bersuara lucu.

"Ah, kau sangat menyebalkan Boa, apa aku membuang mu saja?" seketika mata Boa seperti hendak menangis, rambutnya pun terlihat redup tak menyala terang lagi. Boa mengusap-ngusapkan tubuhnya pada telapak tangan Thalia, membuat gadis itu kegelian.

"Boa! Jangan lakukan, itu geli!" serunya sambil tertawa, lalu menjinjit rambut Boa. Tubuh Boa benar-benar seperti jeli.

"Baiklah-baiklah, aku hanya bercanda. Aku tak mungkin membuang mu! Dimana lagi aku bisa mendapatkan makhluk menggemaskan seperti mu" ujarnya lalu lalu mengusapkan Boa kepipinya dengan gemas, membuat mata Boa terlihat berbinar senang, rambutnya pun kembali menyala-nyala.

Thalia menaruh Boa dipundaknya, membiarkan Boa duduk di sana. Thalia mengambil busur beserta panahnya, lalu menyandangnya keluar dari rumah yang sudah terlihat tua itu.

"Boa, bagaimana kalau kita mencari buah segar? Tiba-tiba saja aku ingin memakan buah, bukannya kau sangat menyukai buah?" Boa menjawab dengan suaranya yang lucu.

"Baiklah, ayo kita pergi!" katanya lalu melangkah pergi meninggalkan pekarangan rumahnya yang berada ditengah hutan itu.

Thalia memasuki hutan dengan senandung kecil. Hutan itu benar-benar sejuk, ditambah dengan matahari pagi yang masih sangat nyaman dan menyegarkan. Benar-benar damai dan tentram, sangat jauh dari kata kerusuhan.

"Untung ada kau Boa, kalau tidak aku akan sangat kesepian," Thalia berbicara sambil terus berjalan.

"Emm, terkadang aku membayangkan bagaimana kehidupan di Kerajaan, tinggal di Istana megah, menjadi seorang putri yang cantik dan disukai banyak orang, pasti sangat menyenangkan" ujarnya terus bercerita walau tak satu pun perkataannya ditanggapi Boa.

"Huh, andai saja aku bertemu dengan Pangeran tampan yang baik hati," lagi-lagi tak ada respon dari Boa.

"Boa? Kau mendengarkan aku tidak?" Thalia meraba bahunya lalu melihatnya, ia panik saat tak menemukan Boa di sana. Kenapa bisa ia tak menyadari bahwa Boa menghilang, ini salahnya karena terlalu banyak berhayal, sungguh konyol.

"Boa!"

Thalia bergegas memanggil makhluk itu, ia segera menyelusuri hutan itu dengan sedikit cemas.

"Boa! Kau dimana?!"

"Jangan bercanda, aku tak suka main petak umpet!"

"Kalau kau tak keluar dalam hitungan ketiga, aku benar-benar akan meninggalkan mu!" Thalia terus mencari sambil berteriak.

"Satu!"

"Dua!"

"Tiga!"

Krakk

"Kau mengagetkan ku!"

Thalia terperanjat saat Boa muncul dengan tiba-tiba dihadapannya, ia bahkan sudah siap dengan panahnya.

"Kau dari mana saja? Aku sudah bilang jangan menghilang tiba-tiba!"

Boa tak menghiraukan nada kesal Thalia, ia terus bersuara sambil melompat-lompatkan tubuh kecilnya ditanah seolah ada sesuatu yang ia sampaikan. Melihat itu, Thalia seolah mengerti pasti ada sesuatu yang Boa katakan.

"Ada apa?" tanya Thalia sambil berjongkok.

Boa meloncat-loncat sambil berjalan menjauh, seolah menyuruh Thalia mengikutinya. Thalia mengerti lalu mengikuti kemana arah Boa mengiringnya. Thalia melangkah hati-hati, matanya menajam, waspada pada sekitarnya dengan panah yang sudah siap ditangannya. Boa kembali bersuara sambil menunjukan apa yang ia temukan. Membuat Thalia mengalihkan perhatiannya pada Boa.

"Astaga!" kaget Thalia saat melihat memandangan didepannya itu.

Seorang laki-laki tergeletak tak sadarkan diri dengan luka disekujur tubuhnya, serta darah yang terlihat sudah mengering membalutnya.

Thalia repleks berjongkok dan melempar panahnya kesembarang arah. Dengan sigap Thalia memeriksa denyut nadi dan nafas laki-laki itu, apakah masih hidup atau sudah tak bernyawa.

"Dia masih hidup," gumam Thalia saat masih dapat merasakan denyut nadi serta nafas pemuda itu.

"Hei, sadarlah!" Thalia mencoba membangunkan pemuda itu. Namun, ia sama sekali tak mendapatkan respon.

Thalia mencoba berpikir sejenak, tolong atau tidak? Bisa saja laki-laki ini orang jahat, tapi jika tidak ditolong ia kasihan. Kalau mati bagaimana? Thalia menggeleng kuat, tak ada waktu untuk berpikir ia harus segera menolong pemuda ini dan membawanya pulang untuk diobati.

"Ahh, bagaimana aku membawanya?" tanyanya sambil berpikir.

"Boa, kau tunggu disini! Aku ingin mencari ramuan untuk mengobatinya. Kau jangan kemana-mana, aku tak akan lama" Boa mengangguk membuat Thalia tersenyum lalu gadis itu segera pergi.

Tak lama Thalia datang dengan berbagai macam tumbuhan ditangannya. Thalia segera meracik ramuan tersebut. Untung saja sedari kecil ia sudah belajar membuat ramuan obat, jadi bisa sangat berguna disaat tidak terduga sepeti sekarang ini.

Dengan gerakan pelan Thalia mengangkat kepala laki-laki itu lalu meminumkan obat berwadah daun itu dengan hati-hati. Thalita berpikir bagaimana cara agar ia bisa membawa laki-laki ini kerumahnya. Jaraknya cukup jauh, tubuhnya terlalu kecil untuk mengangkat tubuh lelaki ini, tapi tak ada pilihan lain. Thalia harus membawa laki-laki ini pertahan-lahan.

Dengan sekuat tenaga Thalia memapah pemuda itu dan mencoba membawanya dari sana "aduh! Dia sangat berat!" keluhnya sambil menjaga keseimbangan agar tidak jatuh.

Meski dengan jatuh bangun dan dengan waktu yang cukup lama Thalia akhirnya berhasil membawa pemuda itu kerumahnya. Setelah menidurkan lelaki itu Thalia meluruh dilantai dengan nafas tak beraturan.

"Astaga, semoga Dewa membalas kebaikan ku" ujarnya sambil melap keringatnya yang meluncur deras.

Thalia kembali berdiri lalu segera menyiapkan obat-obatan. Setelah selesai Thalia masih bergeming sambil menatap pemuda itu. Ia bimbang harus melepas pakaian pemuda itu atau tidak, tapi ia harus melakukannya untuk menabur obat itu pada lukanya, tapi... Ia belum siap jika harus menodai mata sucinya ini. Ah, sudahlah, dia terlalu banyak berpikir dengan cepat Thalia melepas baju pemuda itu, ingat hanya baju, tidak lebih.

Dengan telaten Thalia mengoleskan obat dan membalut tubuh pemuda dengan rambut sehitam malam itu. Thalia kembali beranjak lalu datang dengan wadah berisi air dan lap ditangannya. Thalia melap dan membersihkan wajah pemuda itu. Wajahnya sudah ditutupi oleh darah yang telah mengering.

Sesaat Thalia terpana, ketika wajah lelaki itu sudah terlihat bersih. Sangat tampan dan kelam. Hidungnya mencung, alisnya tebal, serta bibirnya yang tipis adalah kombinasi yang sempurna.

"Sangat tampan," gumam Thalia tanpa sadar ia mengamati wajah pemuda itu terlalu dekat.

Tiba-tiba saja cahaya terang menerpa indra penglihatan Thalia, membuat gadis itu spontan menutup matanya. Cahaya itu benar-benar terang, hingga semuanya hanya dipenuhi oleh cahaya, membuat Thalia tak bisa melihat apapun yang ada disekelilingnya.