Sudah hampir dua minggu Thalia merawat pemuda berwajah tenang itu. Namun, pemuda itu masih betah memejamkan matanya, padahal keadaannya sudah berangsur-rangsur membaik.
Saat ini Thalia tengah memandangi wajah damai didepannya itu. Sepertinya, memandangi dan mengamati wajah laki-laki ini sudah menjadi hobinya sekarang. Sudah tidak akan ada lagi yang mengganggunya setelah kejadian yang sudah beberapa kali ia alami itu.
Mengingat hal itu, membuat fokusnya beralih pada kalung berbandul kaca bulat berwarna biru terang itu. Setelah beberapa kali cahaya itu mengganggunya, bersinar sangat terang hingga matanya terasa hampir buta, ia yakin, tidak, sangat yakin jika cahaya tersebut berasal dari kalung yang pemuda ini pakai. Ia berani bertaruh, kalung ini bukan sembarang kalung, dia sendiri bahkan tak bisa menyentuhnya sama sekali.
"Boa, kira-kira kapan dia bangun ya? Huh, aku sudah tak sabar melihatnya bangun," Thalia bergumam sambil menumpu dagunya dengan tangan. Entah sudah keberapa kalinya gadis itu menghembuskan nafas bosan. Sedangkan Boa, hanya menunjukan ekspresi lucunya, ketika merespon ucapan Thalia.
"Padahal aku memandangi wajahnya setiap hari, tapi kenapa aku tidak pernah bosan," bingung Thalia dengan mata yang masih setia pada wajah sekelam malam itu.
"Boa! Boa! Lihat! Matanya mengerjap!" seru Thalia heboh saat tiba-tiba mata lelaki itu bergerak dan mengerjap seperti hendak terbuka.
Thalia dan Boa terdiam, sama-sama menunggu reaksi pemuda itu. Mata pemuda itu mengerjap-mengerjap pelan sebelum akhirnya bernar-benar terbuka, menampilkan sepasang mata biru yang sangat indah.
Thalia takjub, sekarang wajah laki-laki ini sudah terlihat sangat lengkap dengan sepasang mata indahnya. Baru kali ini, Thalia melihat pahatan yang nyaris sempurna seperti ini.
"Hei! Kau sadar?!" girang Thalia senang dan hendak membantu pemuda itu bangun. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh pemuda itu Thalia memekik kaget saat tanpa disangka pemuda itu bangun dan langsung mencengkram lengannya kuat.
"Aw, sakit," rintih Thalia ketika tangannya dicengkram semangkin kuat.
"Siapa kau?" suara dingin itulah yang pertama kali menyapa indra pendengaran Thalia. Sungguh, ini diluar dugaannya. Sangat berbanding terbalik dari reaksi yang diharapkannya.
"Le-lepaska..n aku dulu.." ujar Thalia terbata menahan sakit ditangannya.
Perlahan cengkraman tangan pemuda itu pada lengannya melonggar, lalu terlepas. Thalia mengelus tangannya yang sudah memerah lalu beralih menatap pemuda dengan wajah datar dan dingin dihadapannya itu. Thalia bedehem sejenak, menghilangkan rasa gugup dan takut yang tiba-tiba saja menerpanya.
"Nama ku Thalia," Thalia mengulurkan tangannya hendak bersalaman. Namun, pemuda itu hanya menatap datar tangannya tanpa mau menjabatnya.
Thalia menarik tangannya kembali, ada rasa kecewa, kesal dan marah dihatinya. Namun, saat melihat wajah dingin pemuda itu membuatnya menahan diri untuk tidak meledak saat ini juga.
"Aku menemukan mu tergeletak tak sadarkan diri dihutan, luka mu sangat parah jadi aku memutuskan untuk menolong mu dan membawa mu kesini untuk dirawat." Jelas Thalia dengan sedikit kesal.
Pemuda itu menatap dirinya sendiri, lalu berdecih pelan. Tatapannya seperti orang yang memandang jijik seseorang. Namun, anehnya ia terlihat memandang dirinya sendiri. Seakan, ia tak suka pada dirinya sendiri. Membuat, Thalia bingung bukan main.
"Ck, dasar tak berguna" gumam pemuda itu terdengar dingin.
"Apa barusan kau mengatai ku Tuan?!" Thalia menyergah tak terima.
Masih dengan wajah dinginnya pemuda itu menatap Thalia, "kenapa kau menyelamatkan ku?" tanyanya tak menghiraukan pertanyaan Thalia.
Pertanyaan pemuda itu membuat Thalia melongo. Itukah, yang harusnya ditanyakan seseorang ketika diselamatkan, tidakkah dia mengucapka terima kasih, reaksi macam apa itu, Thalia tak pernah menemukan orang seperti ini, sungguh.
"Bukankah, harusnya kau berterima kasih Tuan?" tanya Thalia berani, membuat pemuda itu terkekeh.
"Aku tak meminta mu menyelamatkan ku," ujarnya tersenyum santai. Mendengar itu Thalia terperanggah, laki-laki ini benar-benar!
Thalia bangkit dengan emosi "bukan itu yang harusnya kau ucapankan!"
"Kau berharap aku mengucapkan terima kasih? Sepertinya tak mungkin, karena kata itu sakral untuk ku," ucapnya santai.
"Tapi aku yang telah menolong mu! Ucapan terima kasih lah yang pantas ku dapatkan bukan perlakuan seperti ini!"
Pemuda itu tersenyum remeh "kalau kau menyelamatkan ku hanya untuk mendapatkan ucapan terima kasih, tidakkah itu terlalu murahan?"
"Kau! Sombong sekali kau! Kalau tau begini aku akan membiarkan saja kau mati dihutan itu!"
"Kau salah Nona, aku memang sudah mati sekali," desisnya tajam "meskipun kau tak menolong ku, aku tetap akan hidup kembali dari dunia lain." Lanjutnya sambil terkekeh miris.
Thalia terdiam mencerna apa yang pemuda itu katakan barusan. Gadis itu kembali duduk, emosinya reda seketika.
"Apa maksud mu?" tanya Thalia tak mengerti.
"Aku sudah pernah mati dan tinggal di Alam lain. Aku datang kembali dan bangkit dari kematian untuk membalas dendam" ujarnya terlihat santai tapi mampu membuat bulu kuduk Thalia meremang. Aura laki-laki ini sungguh sangat mengerikan.
"Bangkit dari kematian?" tanya Thalia jadi penasaran.
"Ya, aku adalah orang yang seharusnya sudah mati, tapi dendam membuat ku bangkit dari kematian. Aku datang dan terlahir kembali dari Alam lain."
"Bagaiman mungkin?" tanya Thalia tak percaya.
Pemuda itu menyeringai, "dulu aku adalah Pangeran Kerajaan Vedrales tapi setelah hari itu, tak ada lagi yang tersisa. Semua anggota Kerajaan musnah dan Kerajaan seutuhnya jatuh ketangan orang yang salah, dan aku sudah bersumpah untuk membalas dendam." Ucapnya penuh amarah, mengingat hari itu membuat tangan pemuda itu terkepal dengan keras hingga buku-buku tangannya memutih.
Thalia kaget mendengarnya, Kerajaan yang selalu dia impikan ternyata hanya khayalan belaka. Faktanya, sekarang Pangeran impiannya berada tepat dihadapannya, tidak seperti Pangeran yang diharapkannya, Pangeran didepannya ini... Sangat berbeda. Hanya dendam dan amarah yang melingkupinya, tidak ada kehangatan yang selalu Thalia bayangkan.
"Be-benarkah?" tanya Thalia masih tak percaya.
"Apa untungnya aku membohongi mu?" pemuda itu berdecih kesal. Namun, tiba-tiba ia kaget saat mendengar Thalia terisak.
Thalia menangis, entah kenapa suasana hatinya sangat cepat berubah-ubah. Biasanya ia tak seperti ini, tapi saat bersama pemuda ini emosinya seperti dipermainkan. Thalia berpikir lagi, pantaskah Thalia berharap untuk tinggal disana dengan bahagia saat kenyataannya tak seperti hayalannya. Harusnya ia bersyukur bisa hidup damai disini dan tidak menuntut lebih.
"Cih, kenapa kau malah menangis?!" tanya pemuda itu kesal.
Thalia menggeleng keras "aku tak tahu! Hiks.." jawabnya masih dengan isak tangisan yang semangkin kencang.
"Dasar gadis aneh" ucap pemuda itu datar tanpa ekspresi dan nada.
"Aku tidak aneh!"
"Kalau tidak aneh apa namanya?" tanya pemuda itu acuh tak acuh.
Thalia kembali menggeleng, tiba-tiba saja ada dorongan untuk menangis, padahal dia bukanlah tipe gadis cengeng. Thalia mengapus air mata yang tersisa diwajahnya dengan kasar.
"Siapa nama mu?!" tanya Thalia tiba-tiba. Membuat pemuda berwajah datar dan dingin itu kembali menatapnya.
"Valeo" ucapnya datar.
"Valeo! Aku akan membantu mu membalas dendam!"