Di dalam sebuah kantor kepolisian, Okta tampak tenang duduk berhadapan dengan seorang polisi yang sedang menangani laporannya soal anak kecil yang di temukan nya.
Tapi, sudah sekian lamanya Okta disana. Dia seperti tidak di sambut dengan baik. Terlihat di acuhkan, seakan dia tidak ada disana.
Karna terlanjur kesal, Okta pun kembali bangkit dan menarik Gama dari tempat itu setelah mengatakan terimakasih dengan nada lantang.
Anak setinggi 138 cm itu pun mengerutkan keningnya karna Okta tiba-tiba saja mengajaknya kembali keluar.
Di tengah perjalanan mereka kembali ke rumah Okta, dia sesekali melihat ke sekitarnya untuk mencari toko yang membutuhkan pekerja lepas sepertinya.
Dia mampir dari satu toko ke toko lainnya, dari tempat makan sampai tempat
Tapi tidak ada satu pun tempat yang mau menerima mahasiswa yang punya waktu kuliah satu hari penuh.
Dengan wajah putus asa, dia pun berjalan menuju rumahnya sambil terus menggenggam tangan Gama tanpa melepaskannya walau hanya sebentar.
Melihat wajah Okta yang tidak tersenyum sejak mereka keluar, Gama langsung terlihat murung dan merasa bersalah.
Dia pun menarik tangan kecilnya yang di genggam Okta dan berdiri diam disana dengan kepala menunduk.
Melihat anak itu tiba-tiba berhenti, Okta pun mengerutkan keningnya lalu menghampiri dan berjongkok di depannya.
"Ada apa?" Tanya gadis berambut ikal hitam itu sambil memiringkan kepalanya.
"Ka Okta tidak dapat kerja pasti karna Gama!?" Katanya pelan.
"Loh.. kenapa kamu bilang begitu?" Tanya Okta balik. Dia melihat anak kecil yang tertunduk di depannya ini tampak gemetar, entah karna takut atau sedang menangis.
"Habisnya, kata ayah dari dulu Gama itu selalu sial. Bahkan bisa membawa kesialan pada orang yang ada di dekat *hiks Gama"
Mata gadis itu pun perlahan terbuka lebar. Kata-kata yang terlalu kasar untuk anak seukuran nya mengatakan itu dengan suara isakan kecil yang di tahan karna tidak mau membuat perhatian orang-orang di sekelilingnya benar-benar terasa seperti menusuk dadanya.
"Hei.." bisik Okta.
Gama yang masih terisak-isak disana pun perlahan mengangkat kepalanya dan menatap wajah gadis yang menolongnya dia semalam.
Tangisannya terhenti karna dia melihat Okta yang berjongkok di depannya terus tersenyum padanya dengan begitu tulus.
"Kakak tidak dapat pekerjaan, bukan karna Gama. Tapi memang sulit dapat kerja paruh waktu yang menghabiskan waktu di malam hari karna kakak harus kuliah siangnya. Jadi jangan pernah berfikir begitu lagi yah" kata Okta sambil menyentuh hidung anak yang wajahnya basah karna air matanya itu.
"Apa kau suka es krim? Kakak tau loh tempat es krim yang enak di sekitar sini" katanya sambil menjulurkan ke arah anak itu.
Gama pun menyeka sisa-sisa air matanya lalu tersenyum senang dan mengangguk lalu meraih tangan gadis itu.
Okta terkekeh lucu melihat ekspresi anak kecil yang kini sedang menggenggam tangannya dan mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Sambil menenteng belanjaan untuk persediaan makanan yang mereka beli di minimarket, mereka berdua memakan es krim cone di bangku taman.
Okta terus tersenyum melihat Gama terlihat begitu senang memakan es krim yang mereka beli.
"Yah, sisi positifnya aku selalu merasa senang kalau melihat anak ini senang" pikirnya.
*TEP!!
Okta terkejut karna Gama yang tadi sedang menjilati es krimnya tiba-tiba saja menggenggam tangannya dan wajahnya terlihat kaku menghadap ke depan.
"Ada apa?" Tanya Okta.
Wajah anak itu pun semakin pucat dan perlahan menoleh ke arah Okta, bahkan terlihat kalau dia berkeringat dingin.
"Ma-mau ke kamar mandi" katanya patah-patah.
Okta pun bergegas turun dari bangku taman itu dan membawa Gama ke arah toilet yang di sediakan di dalam taman.
Setelah mengantarnya di depan toilet, Okta pun menyuruhnya bergegas pergi masuk ke dalam sana dan dia menunggunya di luar.
Setelah melihat Gama berlari masuk ke dalam, Okta pun menghela nafas panjang dan merasa lega karna tadi situasi berbahaya yang sudah lama tidak dia alami sejak masih berumur 9 tahun.
Okta terus bersandar pada dinding toilet itu sambil melihat langit yang semakin gelap sambil terus menenteng belanjaannya.
Baru saja dia merasa tenang, tiba-tiba saja dia di kejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba merebut plastik belanjaannya.
"Yaah.. payah, tidak ada jajanan" kata perempuan yang mengambil plastik itu dan melemparkan kembali ke arah lain.
Okta reflek mau menangkap plastiknya tapi terlambat, semua belanjaannya jatuh berceceran. Terutama bahan mudah pecah Seperti telur banyak yang rusak.
Dua pasangan remaja itu tampak senang melihat Okta memunguti sisa-sisa belanjaannya di tanah.
"Kenapa kalian selalu menggangguku?" Tanya Okta tanpa menoleh ke arah Salsa dan Fikri yang ada di belakangnya.
Fikri yang merasa kesal melihat tingkah Okta pun mendekatinya dan mencengkram rambutnya.
Okta terus berusaha melepaskan tangan besar Fikri dari rambutnya, tapi perbandingan kekuatan mereka terlalu jauh.
"Aku masih kesal karna anak SMA yang kemarin datang mengganggu. Sekarang tidak akan ada orang yang bisa menolong mu lagi" katanya semakin memperkuat genggamannya.
Okta terus menggeliat dan mencoba lepas dari Fikri, tapi tetap tidak berhasil.
Di dalam toilet, Gama yang sedang mencuci tangannya di wastafel pun mengelap tangannya yang basah di kausnya lalu pergi keluar dari sana.
Baru dia mengangkat kepalanya sambil tersenyum, senyumannya seketika hilang saat melihat ada banyak bahan-bahan yang tadi dia beli dengan Okta berserakan di atas rumput.
"Gama? Sudah selesai?"
Anak itu pun tersentak lalu berbalik dan melihat Okta juga baru keluar dari toilet perempuan dengan rambut dan bajunya yang basah.
Gama pun bergegas mendekati Okta melihat seluruh tubuhnya dengan wajah cemas.
"Emm?? Ini? Tadi kakak di dalam membasuh rambut kakak, tapi airnya terlalu kuat keluar dari wastafel sampai membasahi baju kakak juga" kata Okta sambil tersenyum.
Gama pun terdiam mendengar penjelasan itu lalu kembali tersentak sambil menunjuk-nunjuk bahan-bahan yang terbuang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Tapi Okta tetap tersenyum dan mengelus kepala anak itu.
"Ayo, kita pulang" ajaknya.
Gama hanya bisa terdiam dan terpaku melihat gadis yang tetap terlihat tegar meskipun dia sendiri menyadari kalau ada sesuatu yang tidak beres disini.
Tidak ada pembicaraan yang di lakukan mereka selama perjalanan pulang. Okta juga merasa tidak enak sudah berbohong pada anak kecil yang sedang di gandeng nya.
"Ada orang"
Okta yang dari tadi melamun pun kaget saat Gama berbicara dan menunjuk ke arah pintu rumah berukuran sedang di depan rumah mereka.
"Adit?" Kata Okta heran.
Remaja laki-laki yang memakai kemeja flanel itu pun menoleh kebelakang dan dia tampak senang karna akhirnya dia bisa bertemu dengan orang yang dari tadi dia tunggu.
"Kamu sedang apa disini?" Tanya Okta heran.
Baru mau menjawabnya, perhatian Adit kini teralihkan pada seorang anak kecil yang sedang bersembunyi di belakang Okta dengan raut wajah ketakutan.
"Anak siapa itu?" Tanya Adit balik karna kini dia yang terlihat penasaran.
Okta pun mengangkat alisnya lalu menoleh ke arah Gama yang masih terlihat ketakutan.
"Hei, tidak apa-apa. Dia temanku, ayo sapa dia" kata Okta pada Gama.
Gama pun mendongak melihat Okta lalu mengangguk pelan dan keluar dari tempat persembunyiannya.
"Dia Gama, aku merawatnya untuk sementara waktu" kata Okta memperkenalkan Gama pada Adit.
Adit pun mengangguk pelan lalu teringat ada sesuatu di dalam tasnya. Dia pun mengambil benda itu lalu mendekat dan berjongkok di depan Gama lalu memberikan sebuah permen lollipop yang masih terbungkus rapih.
"Kau mau?" Katanya sambil tersenyum.
Gama yang terlihat gelisah karna godaan permen itu pun menoleh ke arah Okta seakan meminta ijin padanya.
Okta pun tersenyum dan mengangguk.
Dengan wajah girang, Gama pun menerimanya dan langsung membuka bungkus plastik itu lalu menjilatinya.
"Jadi, kamu mau apa kesini?" Kata Okta lagi masih dengan Pertanyaan yang sama sambil membuka lubang kunci pintunya.
Adit pun kembali berdiri dan melihat Okta membuka pintu rumahnya sambil berjalan masuk bersama Gama.
Okta pun menyuruh Gama untuk masuk duluan lalu mencuci kakinya.
Anak itu langsung mengangguk dan pergi melakukan apa yang di suruh Okta.
"Aku berhasil menemukan pekerjaan yang cocok untukmu" kata Adit sambil memberikan sebuah kartu nama ke Okta.
Okta pun menerima dan memperhatikan sebuah kartu nama itu dengan seksama.
"Aku sudah menghubunginya, dan dia bilang kalau kafe milik orang itu sedang membutuhkan kasir di shift malam. Kau bisa mulai kerja dari jam 4 sore sampai 12 malam, bagus kan?" Kata Adit tampak begitu antusias menjelaskan semuanya.
Bukannya senang, Okta malah terlihat bingung sambil terus memperhatikan kartu nama itu.
"Ada apa!" Tanya Adit heran.
Okta pun tersentak lalu tertawa kecil pada Adit dan menyuruhnya untuk masuk dulu karna tidak nyaman berbicara di depan pintu.
Adit pun merasa senang karna Okta menyuruhnya masuk ke dalam dan mengikuti gadis itu berjalan ke arah ruang tamu.
Sambil duduk di ruang tamu tanpa bangku, Adit pun merasa lega karna dia sudah menunggu Okta sedikit lebih lama dari perkiraannya dan bersandar di meja kecil yang ada di tengah ruangan itu.
"Mau minum apa?" Tawar Okta.
"O-oh, air putih saja. Tapi yang dingin yah" katanya menyeringai.
Okta pun menghela nafas dan berbalik menuju dapurnya. Tapi langkahnya terhenti dan dia terpaku melihat Gama keluar dari dapur sambil membawa dua gelas penuh es teh dengan perlahan agar tidak tumpah karna kepenuhan.
Adit yang tadinya sedang bersantai pun langsung mengangkat kepalanya karna dia juga melihat Gama disana.
"Hei.. hati-hati" kata Okta bergegas menghampiri Gama dan mengambil gelas itu.
Adit terus memperhatikan Okta menasehati anak kecil di depannya karna lagi-lagi dia menggunakan dapur tanpa bilang padanya.
Adit pun tersenyum karna dia tau kalau Okta melakukan karna dia sangat khawatir pada Gama.
"Sudah cuci kaki? Sikat gigi?" Tanya Okta, Gama pun mengangguk.
"Coba buka mulut mu" kata Okta lagi karna mah memastikannya. Gama pun melakukan apa yang di pinta Okta dengan baik.
"Sudah malam, Gama tidur duluan saja yah. Nanti ka Okta menyusul karna ada teman ka Okta dulu" kata Okta lagi, Gama pun kembali mengangguk dan pergi ke kamar mereka.
Setelah merasa lega, Okta pun kembali menghampiri Adit dan meletakkan minumannya di atas meja.
"Jadi, dari mana kau dapat informasi lowongan itu?" Tanya Okta sambil menyeruput minumannya.
Adit yang dari tadi terpaku tersenyum menatap wajah Okta pun akhirnya tersadar dari lamunannya dan tergagap karna Okta mengajukan pertanyaan padanya.
"Aku menekannya di Facebook. Bagaimana? Lebih baik kau terima saja.." ucap Adit terlihat begitu bersemangat.
"Aku mau sih, tapi nanti bagaimana dengan Gama?" Katanya bingung.
Adit pun mengangkat alisnya karna terkejut dengan ucapan Okta.
"Aku.. juga bingung kalau besok kuliah, bagaimana dengannya di rumah sendirian" katanya mulai merasa gelisah.
Okta yang sedang dilanda kebingungan itu pun membuka matanya saat mendengar suara jentikan jari di hadapannya.
Okta pun mengangkat wajahnya dan melihat Adit masih tersenyum lebar padanya.
"Kau bisa menyerahkan Gama padaku. Pokoknya kau fokus saja pada pekerjaan ini, oke?" Katanya menyeringai.
Okta pun terdiam dengan mata berkaca-kaca menatap Adit. Dia kembali menutup matanya dan senyumannya kembali terlihat.
"Terimakasih, kau memang sahabat terbaikku"
Seketika senyuman Adit pun hilang setelah Okta mengatakan itu dan membuat Okta kembali bingung.
"Ada apa?" Tanya Okta.
Adit pun tergagap dan tertawa sambil bergegas berdiri dan merapihkan pakaiannya.
"Tidak ada, kalau begitu aku pulang dulu yah. Sampai ketemu besok di kampus" kata Adit bergegas pamit dan pergi tanpa menunggu Okta berbicara lagi.
"Dia kenapa sih!?" Kata Okta heran sambil berjalan untuk menutup dan mengunci pintunya.
"Ka Okta.."
Okta yang berada di dekat pintu pun berbalik dan melihat Gama muncul dari balik pintu sambil mengucek matanya.
"Hei.. kenapa belum tidur?" Kata Okta langsung menghampiri Gama.
"Ayo kembali lagi, ka Okta mau mencuci rambut dulu" katanya sambil menuntun Gama kembali ke kamarnya.
"Mencuci rambut? Kenapa?" Tanya Gama yang terlihat kembali segar karna bingung dengan kalimat Okta.
"A- itu karna.. kebiasaan, hahaha kakak memang biasa mencuci rambut kakak dulu sebelum tidur. Sudah sana naik ke kasur" kata Okta lagi sambil masuk ke dalam kamar mandi.
Di dalam sana, Okta pun menghela nafas, tadi dia sempat panik karna hampir ketahuan soal kejadian di taman sebelumnya.
"Dia tidak boleh tau soal ini karna dia masih anak-anak" pikirnya.
Gama yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi pun terus memperhatikan pintu itu dengan datar lalu menoleh ke arah plastik belanjaan yang tadi mereka bawa.
Anak itu pun perlahan mendekat dan memeriksa isi plastik itu. Setelah berfikir beberapa saat, mata anak itu pun terbuka lebar dan seketika wajah tenangnya berubah menjadi sangat marah.
****************
*Klek..
Pintu kayu berwarna kecoklatan itu baru saja terbuka. Anak laki-laki berumur 15 tahun yang duduk di sofa dan termenung disana pun mengangkat wajahnya dan melihat adiknya baru saja kembali masih dengan seragam sekolahnya.
"Yaampun Rendra.. kau dari mana saja?" Katanya cemas.
Anak itu pun berjalan dan duduk di sofa di sebelah kakaknya sambil menghembuskan nafas yang cukup kuat.
"Aku sudah berkeliling, tapi masih belum menemukannya. Maaf" katanya sambil memejamkan matanya.
Anak laki-laki itu pun tampak sangat terkejut mendengar informasi itu dan air matanya kembali menetes.
Rendra yang duduk di sebelahnya pun membuka matanya sedikit melihat kakaknya dan bergegas duduk tegak dan panik karna melihat kakaknya menangis lagi sejak kemarin.
"He-hei sudah lah, besok aku akan mencarinya lagi. Kau belum makan malam kan? Aku akan membuatnya sebentar" kata Rendra bergegas pergi ke dapur.
Ady, kakaknya Rendra yang masih duduk di sofa itu pun menyeka air matanya lalu mengikuti Rendra ke dapur.
"Apa Gama sudah makan juga?" Katanya masih murung.
Rendra yang sedang mengeluarkan bahan masakan di kulkas pun sempat terdiam dan kembali mengeluarkan sisa lauk tadi siang yang dia buat.
"Sudah lah, jangan memikirkannya terus. Aku sudah meminta bantuan pada Febri dan Rina, juga meminta bantuan pada Lani dan Aceng kalau seandainya mereka mendengar sesuatu soal Gama atau ada anak hilang" kata Rendra sambil menyalakan kompornya lalu memberikan segelas jus jeruk pada Ady untuk membuatnya tenang.
Ady pun menerimanya dengan tangan lemah dan perlahan duduk di meja makan.
"Kenapa kita tidak melapor ke kantor polisi saja?" Tanya Ady pelan.
"Aku sudah kesana, tapi mereka bilang harus menunggu 24 jam baru bisa melapor. Kalau di lihat jamnya harusnya jam 9 nanti baru 24 jam. Jadi setelah pulang sekolah besok aku akan kembali ke kantor polisi" kata Rendra menepuk pundak kakaknya dan kembali ke wajan yang sudah panas disana.
Rendra yang dari tadi terlihat tenang pun langsung menggerakkan giginya saat dia berada di depan kompor untuk menahan emosi karna melihat kondisi kakaknya, apalagi dia juga masih belum menemukan adiknya.