"Ka Okta berangkat sekolah?" Tanya Gama menatap wajah perempuan yang lebih tinggi darinya yang sedang menelpon seseorang.
Okta yang berdiri di dekat Gama pun menoleh ke arah anak kecil yang sedang duduk dan makan disana.
Okta kembali berbicara dengan telponnya untuk mengakhiri obrolannya lalu dia tersenyum berjongkok di sebelah Gama.
"Sebenarnya tiap hari Kamis kakak libur. Tapi karna katanya beasiswa kakak keluar hari ini, kakak harus pergi ke sekolah. Paling nanti kakak pulang lebih awal karna tidak ikut kelas secara full," katanya tersenyum.
"Bea.. siswa?" Tanya anak itu tampak keheranan. Okta yang tadi tersenyum seketika wajahnya berubah menjadi heran.
"Itu loh, yang kita bicarakan kemarin. Kamu ingat tidak?" Tanya Okta lagi.
Sambil mengunyah sarapan bubur paginya, Gama terus melirik ke atas untuk berfikir lalu kembali menoleh ke arah Okta lalu mengangguk pelan.
"Gama ingat Semarang," katanya dengan wajah polos menatap Okta.
Mendengar jawaban Gama, Okta langsung terkekeh sambil mengelus-elus rambut anak itu.
"Yang benar sekarang, bukan Semarang," kata Okta berdiri sambil mengambil tas selempang miliknya.
"Kakak berangkat dulu yah. Kalau sudah selesai makan langsung cuci tangannya," kata Okta di depan pintu. Gama hanya mengangguk pelan menanggapi Okta.
Okta kembali tersenyum sesaat sebelum keluar dari rumah itu lalu pergi meninggalkan Gama sendirian disana.
Beberapa saat dia duduk di sana sambil terus memperhatikan pintu yang tidak bergerak disana. Tapi kemudian dia langsung kembali menatap layar TV yang sebenarnya tidak dia perhatikan meskipun matanya menatap kesana.
**********
Di perjalanan menuju halte busway, Okta yang berjalan di trotoar pinggir jalan terhenti aneh saat dia melihat ada sebuah hitam berhenti di pinggir jalan.
Dia tau betul mobil siapa itu karna hampir tiap hari dia melihat mobil itu di kampus tempat dia kuliah.
Dan tebakannya benar, Salsa dan Fikri yang tadi di dalam mobil itu keluar dan terus menyeringai sombong ke arah Okta.
"Oh, orang susah sedang pergi ke kampus? Kasihan yah, tiap hari harus jalan kaki ke halte yang jaraknya jauh. Aku sih males banget," kata Salsa dengan sombongnya.
Okta pun menarik tas selempangnya ke atas bahunya dan kembali berjalan untuk menghiraukan mereka berdua.
Salsa begitu terkejut karna Okta tampak tidak perduli padanya. Dia pun menjadi kesal dan mendekati Okta lalu membalikkan tubuhnya dengan paksa.
Melihat Salsa yang begitu marah, Okta pun menghela nafas dan melihat ke sekitarnya.
"Ini sudah terang, apa kau tidak malu di lihat banyak orang?" Katanya santai.
Salsa pun baru menyadari kalau orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka terus memperhatikannya sambil berbisik-bisik.
Dia terlihat semakin kesal dan kembali masuk ke mobilnya sambil menyuruh Fikri ikut masuk ke dalam.
Saat mobil itu hendak pergi, kaca mobil itu turun dan memperlihatkan wajah Salsa yang begitu murka pada Okta.
"Ku tunggu kau di kampus," katanya dan mobil itu pun melaju pergi.
Okta yang melihat kepergian mobil itu pun menghela nafas dan mendongak menatap langit pagi.
"Satu tahun lagi aku berada disana. Aku harus bertahan," katanya sambil memejamkan matanya dan melanjutkan perjalanan nya.
*********************
Setelah tiba di kampus, Okta langsung pergi ke bank yang di sediakan oleh kampus karna dia mendapatkan informasi dari kelas lain kalau beasiswanya yang terakhir sudah turun.
Dia keluar dari sana sambil memegang amplop coklat berisi uang di tangannya dan memasukkannya ke dalam tasnya.
Di kelas, Okta terus memikirkan bagaimana caranya membagi uang terakhir ini sampai akhir bulan.
Jam istirahat baru saja tiba. Okta yang dari tadi menahan diri untuk tidak ijin ke kamar mandi saat pelajaran tadi langsung bergegas pergi meninggalkan barang-barangnya di kelas.
Salsa dan tiga temannya tersenyum melihat Okta pergi begitu saja.
Saat selesai, Okta langsung kembali ke kelasnya dan membereskan barang-barangnya lalu pergi ke kantin untuk membeli camilan.
Di temani Adit, Okta terus memikirkan bagaimana dia memulai skripsinya nanti karna dia harus sudah memulai membuatnya.
"Oh iya dit, boleh aku minta tolong temani Gama di rumah ku? Setidaknya sampai dia tertidur saja jam 9 nanti," kata Okta sambil menyeruput es teh yang dia beli.
Adit yang sedang mengunyah lontong sayurnya pun mengangkat wajahnya menatap Okta lalu mengerutkan keningnya.
"Boleh, apa kau di terima di pekerjaan itu?" Tanya Adit.
Okta tersenyum lalu menggeleng pelan pada nya.
"Nanti malam aku mau coba melamar pekerjaan di sebuah tempat karaoke yang berada lima blok dari rumah ku," kata Okta sambil menyeringai. Laki-laki muda yang selalu memakai kemeja biru kotak-kotak itu pun mengangguk pelan mendengarnya.
"Beasiswa ku yang terakhir juga turun. Jadi aku tidak perlu khawat-"
Kalimatnya terhenti saat dia merogoh tas selempang nya dan berniat mengambil amplop berisi uang nya tapi dia tidak menemukannya.
Dengan panik, Okta langsung menumpahkan semua isi tasnya dan mencari amplop itu di tiap lembaran buku yang ada.
Adit beserta mahasiswa lain yang ada di kantin terdiam memperhatikan Okta yang tampak sangat panik disana.
"Hei, ada apa?" Tanya Adit mencoba menyentuh Okta.
Okta pun mendongak dengan wajah pucat, berkeringat dan gemetar menatap Adit.
"Amplop uang beasiswa ku hilang," katanya dengan gemetar dan mata berkaca-kaca.
Adit yang tampak tidak percaya dengannya langsung bergegas membantunya mencari di tiap sudut tas dan buku milik Okta.
Tapi, seberapa keras pun dia berusaha, amplop itu tetap tidak ketemu.
Adit merasa kasihan melihat Okta yang tertunduk diam tanpa berbicara sama sekali.
Dia sendiri tau kalau itu satu-satunya uang yang di miliki Okta karna uang terkahir yang ada di ATM nya kemarin sudah habis di beli kan bahan pangan, membeli pakaian untuk Gama dan membayar semua kebutuhan rumahnya.
Sisa uang yang di milikinya sekarang mustahil bisa membuatnya bertahan sampai akhir bulan, di tambah dia tinggal berdua sekarang.
Dari sudut lain kantin, terlihat kerumunan banyak mahasiswa yang mengantri membeli makan secara tiba-tiba padahal sebelumnya tidak seramai itu.
Karna penasaran, Adit pun berjalan sedikit kesana dan bertanya pada salah satu orang yang ada disana.
Orang itu bilang kalau semua orang mengantri karna secara tidak mungkin Salsa mentraktir semua orang yang ada di kantin dan mereka bebas membeli apapun yang mereka mau.
Saat mendengar itu, Adit, dan juga Okta yang mendengarnya langsung mengerutkan kening mereka.
Okta langsung menoleh ke arah Salsa yang sedang berteriak memanggil semua orang untuk membeli makanan maupun minuman di kantin ini sebebas yang mereka mau.
Okta pun bangkit dan melihat sesuatu di tangan kanan Salsa lalu dia bergegas mendekatinya dan menarik tangannya.
Okta terbelalak saat dia melihat kalau itu adalah amplop coklat berisi uang beasiswa miliknya.
"HEI, APA SIH INI ANAK MISKIN!!?" Bentak Salsa menarik kembali tangannya dari Okta.
Okta terus menatap Salsa yang ada di hadapannya dengan tatapan tidak percaya sambil menggeleng pelan.
"Kau yang mengambil uang ku dan membuat semua orang menggunakannya? Salsa, kau itu sebenarnya manusia atau bukan sih," kata Okta dengan mata berkaca-kaca yang semakin tebal menatap Salsa.
Saat mendengar Okta mengatakan itu, semua orang yang tadi mengantri langsung terdiam menatap Okta dan Salsa.
"Ayolaah.. anggap saja kau sedang berbagi pada kami. Jarang-jarang kan orang miskin bisa berbagi?" Katanya tersenyum sinis.
Okta yang tersulut emosi mendengar ucapan Salsa secara tidak sadar langsung mendaratkan tamparan keras di pipi gadis itu sampai suaranya bergema di seluruh kantin.
Adit dan para mahasiswa lainnya benar-benar tercengang saat Okta melakukan itu.
Bahkan Salsa sendiri sampai terdiam saat Okta menamparnya.
Tapi, secara mengejutkan lagi. Okta yang tadi berdiri di sana langsung terjatuh ke lantai karna Fikri tiba-tiba muncul dan memukul wajahnya.
"Gadis nakal harus di beri pelajaran!!?" Katanya geram.