Chereads / BROTHER'S ZONE / Chapter 2 - BAB 1

Chapter 2 - BAB 1

Entah untuk keberapa kalinya bikin cerita tapi gak pernah tamat, bantu do'a dong gengs biar ane bisa konsisten sama satu pilihan. Acie cieee..

Buat followers-followers ku yang masih dikit banget, yg masih bisa dihitung jari. Mohon dong ikut partisipasi dalam pembuatan cerita ini. Aku bakal nunggu kritik dan sarannya. Apalagi bang @andhyrama dan semua pengikutnya. 😂😂

Jangan jadikan aku penghuni ghaib dunia orange ini

____________

Kucing liar mengeong di jalanan menghalangi jalan mobilku. Klakson pun tak membuat pengaruh besar ketika pertikaian antar kucing pejantan itu dimulai. Aku turun dan melemparkan heels secara membabi buta, membuat ketiga kucing itu kocar-kacir sambil menggeram marah. Satu kucing berbalik dan menatap tajam kearah ku. Peduli amat! Aku langsung mengambil lagi sepatu baruku lalu melajukan mobil kembali sampai berhenti di rumah berkanopi milik orang tua yang sebentar lagi bakal aku tinggalkan.

Jika ini bukan desakan Raden Wijayanto yang agung, mungkin saja aku masih menikmati nyamannya tidur sampai siang. Atau menghabiskan seharian untuk nonton drama. Menangisi isian jar cake red velvet yang mulai kosong atau sekedar membuat kuah kental dari mozarella. Aku akan sangat merindukan cara makanku yang absurd bersama Mama.

Haru, perasaan pertama yang melesak di dada. Aku benci ini, ketika harus terpisah dari orang tua demi mencapai cita-cita. Aku tidak bisa terus menerus membuat alasan, jadi pengangguran itu ada enaknya ada tidak enaknya.

Dan mama sudah berdiri di ambang pintu ganda, menunggu gadis kesayangannya segera datang.

"Rene... cepat sini sayang!" Serunya girang, biasanya pinggul Mama akan sedikit bergoyang jika senang tapi kali ini tidak, dia hanya bersender di pintu.

"Iya Ma," aku pun turun dari mobil sambil mengaitkan sling bag ke pundak.

Mama membimbing jalanku seakan-akan ia takut anaknya tak sengaja menyenggol guci kesayangannya. Mama menyuruhku duduk sebelum masuk ke kamar lalu menyerahkan sebuah amplop.

Aku menaikan alis ketika menerima itu, sedikit bertanya-tanya. Apakah ini hasil interview ku? Tak lewat email? Panggilan langsung? Yang benar saja! Tapi dari perusahaan mana? Yang jelas aku sudah beberapa bolak-balik ke tukang photo copy lalu melakukan interview di beberapa perusahaan swasta, tapi tetap ditolak. Mama bilang aku tidak cocok jadi karyawan, Mama mau kalau aku jadi penyanyi seperti dirinya dulu. Tapi apalah daya ketika Raden Wijayanto terhormat sudah berbicara. Aku sama sekali tak bisa membantah bahkan menolak.

Aku membuka amplop coklat itu dan membaca isinya, mataku terpaku pada beberapa kata dengan yang di bold. ANDA DI TERIMA.

Aku membulatkan mata juga mulutku.

"Woaahahhhaahaha... gue diterima? Ciusss??? Demi apa Tuan Kumis Naga nerima gue??" Aku berjingkrak kegirangan, mengacung-acungkan secarik kertas itu ke udara lalu merangkul Mama seerat mungkin "Mamaaaa... aku diterima."

Mama merangkul aku dan membalasnya sama erat, ia tak kalah senang merasakan  euforia ini. Walaupun aku tau Mama akan lebih protektif jika aku tak tinggal di sini lagi.

Kami pun melepaskan pelukan, Mama mencium kedua mata dan keningku.

"Anak Mama makin dewasa aja. Udah bisa nyari kerjaan sendiri."

"Iya Maa... kalau Papa tahu, pasti Papa juga seneng liatnya."

"Iya nak, tapi sayang Papa gak akan pulang waktu dekat ini. Tapi, beritahu saja dia." Mama mengelus puncak kepala ku.

Tiba-tiba saja tenggorokan ku tercekat seperti ada gelungan kecemasan yang ingin keluar. Mama seolah mengerti ia pun meraihku ke dalam pelukannya. Lalu membanjiriku dengan do'a dan air mata bahagia. Sekali lagi mama mencium setiap celah di wajahku. Menepuk-nepuk bahu lalu menggiringku ke kamar.

Kali ini ia harus merelakan anak gadis satu-satunya berkelana di muka bumi, aku sedikit takut karena tak biasa jauh dari ketiak Mama. Akan tetapi waktu seperti ini sudah tiba, seharusnya aku sudah mempersiapkan ini dari dulu. Aku merutuk drama-drama korea yang membuatku malas bergerak.

"Mama bantu beresin pakaiannya ya, kamu dah dapat tempat tinggal kan?"

"Belum Ma," jawabku sendu, sama sekali tak ada persiapan untuk hal ini. Aku bahkan hampir rela jika tidak diterima di perusahaan itu, aku hanya ingin menyanyi, menyanyi dan merangkai bunga.

"Coba liat alamatnya!"

Aku memberikan kertas itu pada Mama

"Ahh... Mama tau apartemen yang bagus di daerah ini. Kamu tau Mbak Mila? Sepupu jauh si Simorangkir itu?"

Aku mengingat bayangan Mbak Mila yang memiliki wajah kotak dan rambut yang selalu di blow itu, keterkaitannya dengan marga Simorangkir membuatku jengah. kemudian mengangguk setelah tau Mbak Mila itulah yang Mama maksud.

"Mbak Mila ini punya satu unit apartemen yang ingin disewakan di sana, terakhir kali Mama telepon dia, dia katanya mau temenin anaknya melanjutkan sekolah di Inggris. Jadi kemungkinan besar dia gak akan pulang cepet-cepet. Om Seno juga kan kerja disana. Kebetulan banget kan?" Jelas Mama "Kalau gitu Mama mau telepon dia dulu. Kamu makan aja sana dulu, mandi terus istirahat. Biar Mama yang beresin pakaian kamu."

Mama melengos pergi, aku menjatuhkan tas ku sembarang kemudian merebahkan diri di kasur. Ponsel ku berdering kembali setelah beberapa menit yang lalu aku abaikan karena sibuk dengan urusan perasaanku pada Mama. Akhirnya aku mengangkat panggilan itu dengan antusias.

"Joeyy... gimana, gimana. Lo keterima juga?"  Aku berteriak gemas sambil memutar-mutar rambutku yang menjuntai dengan telunjuk.

Terdengar desahan kecewa di sana "Gue gak keterima nek"

"Ko bisa sih??? Lo kan cerdas gitu." Aku ikut sedih mendengarnya. Joey selalu bersamaku, jangankan tidur satu kasur, kami pun sering bertukar bra. Yang mana berarti ia harus bekerja di perusahaan yang sama denganku tak peduli jabatan apa yang akan dipegang. Aku hanya mau Joey selalu ada di sisiku.

"Gue gak diterima jadi pecinta bapak Leo yang terhormat, tapi...gue keterima jadi karyawannya..." gelegak tawa terdengar sangat kecang membuat ku menjauhkan benda gepeng itu dari telinga.

"Cius???"

"Cius nek, gila. Gue juga hampir aja mau nabok si Riki kalo amplop itu gak datang dua kali. Lagian kenapa si gak ngasih jawaban langsung gitu pas interview. So perfect banget bapak Leo ini. Udah perutnya buncit punya istri tua masih aja ganteng. Iri gue, kenapa si Riki gak sebaby face Pak Leo yang terhormat."

Aku terkekeh mendengar penuturannya, bapak Leo seperti segalanya di mata kaum karyawan wanita. Terutama Joey yang jelas-jelas sudah memiliki kekasih seorang pembalap mobil. Dia salah satu anak pengusaha besar yang mau susah-payah melamar kerja bersama ku, dengan menolak ajakan ayahnya untuk mengikuti jejaknya di Perancis.

"Gak bersyukur banget lo punya si Riki, dia anak baik-baik jangan sampe ditikung sama laki beristri. Di cap Pelakor mampus lo."

"Eh, Nek. Jaman sekarang pelakor itu jadi profesi lho Nek. Ada yang jual jasa malah."

"Buseettt, cius lo?"

"Heeh... lo tau si Lolita? Yang pernah ngelabrak lo gara-gara ketahuan nyuri poto si Damian?"

Wajah ku langsung memanas mengingat kejadian memalukan itu, Damian hanyalah masa lalu yang sulit dilupakan. Bahkan sekarang aku mulai benci ketika mendengar nama itu, terngiang-ngiang seperti lagu Nasi Padang.

"Ya gue tau. Please deh jangan bahas si Damiannya."

"Elaaahhh... siapa yang lagi bahas si Damian sih? Lo aja yang perasan bego. Gue lagi ngomongin si Lolita yang sekarang di kampusnya gak bener-bener. Dia beberapa kali nunda kelas, karena tersandung masalah terus sama om-om. Gue bahkan pernah liat dia di akun gosip lagi dilabrak sama cewek yang ngaku istri sah si Om nya."

"Gilaaa... segitunya si Lolita nyari duit. Bego banget si jadi cewek. Mau aja saripatinya dihisap Tawon."

"Lebih parahnya lagi, si Damian lah yang sukarela nawarin jasanya ke temen-temen bapak nya. Kurang gila apalagi coba."

"Anak setan semua." Jawabku kesal.

"Hushhh... ngomong apa kamu barusan?" Aku menoleh dan mendapati Mama tengah mendekap kedua tangan di dada sambil memandangku tajam.

Aku langsung duduk dan mematikan ponsel, "Hehe, aku kira siapa?"

"Gak baik anak gadis ngomongnya kotor kaya toilet umum."

"Iya Ma, maaf. Khilaf"

Mama tersenyum kembali lalu meletakkan pakaian rapi di ranjang, kembali menyiapkan koper-koper.

Dia menepuk pahaku membuatku menoleh lagi, kerutan di wajahnya nampak semakin jelas. Dan raut cemas itu masih tak beranjak dari wajahnya.

"Mama udah nelepon Mbak Mila, katanya kamu boleh nempatin apartemennya tanpa harus bayar. Ia bahkan suka jika apartemen nya ada yang mendiami. Ini bagus sekali. Kamu bisa bawa Joey buat nemenin kamu kalo malam minggu."

"Rene pengen punya pacar."

"Anak mama gak usah punya pacar dulu... apalagi sampe nikah. Mama belum siap dipanggil nenek."

Aku mendelik kasar, pasalnya Mama memang sangat muda berbeda dengan Ibu para sahabatku. Kami bahkan dikira adik-kakak jika berjalan bersama.

"Fokus kerja aja dulu, jodoh itu ngikutin."

Aku pun mengangguk terus mengiyakan dengan senyuman supaya raut cemas Mama segera menghilang. Aku tak ingin menorehkan moment buruk di ujung hari ini.

Aku langsung membantu Mama mengemas pakaianku, tak lupa berbagai macam dokumen. Sampai larut malam, sampai aku tak bisa membedakan angka satu dan dua.

***