Chereads / BROTHER'S ZONE / Chapter 3 - BAB 2

Chapter 3 - BAB 2

Hari ketujuh bekerja aku terus diikuti Joey yang kepo dengan segala hal yang berbau pak Leo, di siang hari yang terik ini dengan mendengar celotehan Joey yang tidak bertitik dan koma membuat ubun-ubun ku serasa mau pecah. Aku tak tau apa yang sering ia makan sehingga selalu punya bahan bakar di tiap menitnya.

Aku masuk ke kafetaria di seberang gedung kantor, lalu memesan ice cream cokelat kesukaan ku. Joey meletakkan tasnya di meja sambil terus menggerutu karena ia tak mendapatkan nomor pak Leo.

"What the hell Joe?? Lo naksir sama si Kumis Naga? Inget oyyy... beliau udah punya buntut, istri tua tapi cantik. Lagian apanya yang hot dari dia selain nafasnya yang kaya Naga?"

Joey menggebrak meja, membuat jantungku hampir kocar-kacir.

"NAH ITU, itu yang lo gak tau."

"Apa si?"

Ia memandang mengejek padaku, seolah aku ini tidak punya ensiklopedia mini tentang perusahaan yang didirikan dua tokoh legenda Jerman Indo ini.

Ucapan Joey terhenti ketika sang pelayan membawa pesanan kami, namun sayang pesanan Joey ada yang tertinggal satu lagi. Itu membuatnya memberengut sesaat. Karena menu itulah yang paling ia tunggu sebenarnya.

"Ini baru hari ketujuh, dan gue udah tau seluk-beluk pak Leo."

"Ch, kerja aja dulu yang bener. Gak usah mikirin ABG tua. Lo gak mau kan hasil kinerja mu dalam satu bulan ini sia-sia? Gue gak mau lo pulang ninggalin gue sendirian di money machine ini."

"Gak!! Justru itu, kayaknya gue bakalan betah kerja disini." Kekehnya.

Joey menyeringai lebar setelah pesanan yang tertinggalnya datang, mie goreng itu langsung ia lahap walau masih mengepul.

"Jo?"

"Hmm..."

"Gue"

"Apa?"

Aku celingak-celiguk lalu memajukan kepalaku ke arahnya, ada sesuatu yang mendorongku untuk menanyakannya "Lo tahu kabar Damian gak?"

Ia membulatkan mata ketika mulai tersedak, lalu memukulkan sendok ke jidatku. Terasa berdenyut beberapa detik di sana membuatku duduk kembali.

"Lo!! Gak usah bahas-bahas cowok brengsek itu."

"Tapi Jo,"

"Halah... mending lo jadi istri ketiga pak Leo daripada jadi cewek dia, ngerti?? Jual mahal dikit kek. Lo gak ada kapok-kapok nya ya udah dimalu-maluin di depan umum. Lagian si Damian itu gak cakep-cakep amat padahal, lo naksirnya kaya si punduk merindukan bulan. Liat!! Lo punya wajah cakep, body sintal sama bibir kissable. Walau sedikit pendek sihh." Nadanya mencemooh.

"Gue tinggi ko... lo nya aja yang ketinggian Jo"

"Halahhh... gue paling rugi disini. Gak enak banget liat gue jalan bareng Riki. Kaya menara Petronas jalan tau gak. Lo mendingan cimol kek gitu, bulat empuk. Bikin semua orang suka sama lo. Jadi, mulai sekarang laundry deh itu otak biar isinya gak si Damian terus."

"Entah kenapa gue gak bisa..."

Ia menghentakan kepala lagi lalu menggerak-gerakan telunjuknya ke kiri dan kekanan sambil menggeleng.

"Lo pasti bisa... come on girl, jaman sekarang cara move on itu banyak. Lo tinggal pilih mau apa. Gue punya banyak kenalan  oppa-oppa Korea, gue bisa minta nomor hape mereka lewat Papa. Apalagi? Lo suka yang gede-gede? Gampang... temen Riki bule semua, Itali? Spanyol? Arab? Berbagai ukuran. Yang pastinya lebih mantep daripada Damian si kutil kuda"

Aku langsung membekap mulutnya ketika tatapan pengunjung mulai menilai-nilai arah pembicaraan Joey yang ngelantur. Andai ia memiliki volume pasti mudah untuk mengecilkannya sayangnya tidak. Dia selalu memakai nada tinggi ketika berbicara denganku, sudah biasa. Atau mungkin aku selalu menjengkelkan di matanya.

Kami berhenti mendiskusikan tentang pak Leo dan Damian dengan segala tetek bengeknya, karena lima belas menit lagi aku harus segera masuk ke kantor. Aku menyuruh Joey pergi dulu ke kubikelnya sedangkan aku menuntaskan ritual alam ku di toilet. Ini sudah tak bisa ditahan.

Lagi-lagi aku berteriak ketika ada yang menggelinjang di bawah wastafel. Aku menendang benda itu sejauh mungkin. Hitam, menggeliat. Kecoa kah?

Setelah selesai beberapa menit di bilik, aku mencuci tangan dan masih melihat benda itu di sana. Aku semakin tak enak dengan pandanganku ini. Apa aku harus mulai mencoba apa yang disarankan Mama? Entahlah, hanya saja aku mungkin akan memilih memakai softlens ketimbang kacamata.

Aku udah bodo, dan menggunakan kacamata bukanlah ide yang baik. Aku ingin menghindari pemakaian kacamata selusin dalam seminggu.

Sebelum membuka pintu, beberapa karyawan wanita memberondong masuk menerjang tubuhku seperti tak tau ada orang di depannya, mereka sibuk dengan obrolannya tidak mengacuhkan ku yang terlempar kesana-sini.

"Lo udah liat dia?"

"Ini baru mau Cun, gue gak mungkin ketemu dia pas kucel gini kan?"

"Serius dia dateng kesini?" seru seseorang lagi yang aku kenal beberapa hari ini, sedangkan yang lainnya mulai mengeluarkan makeup masing-masing. Aku masih tertegun di ambang pintu mencuri pembicaraan, mereka bahkan sama sekali tak menyapa ku ketika salah satu dari mereka melirik padaku.

"Kapan sih gue bohong, tentang pak Leo yang diam-diam suka ngegym juga gue tau. Perutnya aja yang bandel gak kempes kempes. E tapi... selama lima tahun gue kerja di sini, ini baru pertama kali liat anaknya datang. Badeuhhhh,, dulu gue ketemu dia itu mas masih bocah SMA. Dekil anjir. Sekarang udah bisa bikin tante-tante basah aja."

"Wahhh... beneran? Lo pernah ketemu dia? Dimana? Dia pernah liat gue gak? Lima tahun yang lalu gue masih sintal ko."

"Heh Cun inget calon laki lo!!"

"Yeeee.... dia mah gak bakal cemburu gue ditoel sama berondong mah." Timpal wanita berambut bergelombang.

Lalu si rambut pendek menyela, namanya Mi...Mi...

"Lagian lima tahun yang lalu lo belum kerja disini ogeb."

Ah ya... Mikeu

Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tak baik juga mendengarkan pembicaraan orang. Tanganku meraih kenop dan langsung keluar sambil menepuk-nepuk blazer ku yang sedikit basah.

Aku terhenti ketika banyak karyawan pria berjajar di depan pintu utama gedung ini. Berjajar sangat rapi, sesekali dari mereka membenarkan pakaian dan dasi. Seseorang lagi mengutuk karena sepatunya kotor.

Ada apakah gerangan, siapa yang akan datang? Harus gitu pake gelar karpet merah juga? Jangan-jangan pak presiden tercinta bakal kesini?

Aku merasakan itu, sehingga intuisi ku mengajak untuk berjejer diantara mereka. Diantara para manajer dan karyawan senior. Mereka berdesis seolah topik yang dibicarakan tak akan usai dalam sehari. Gerombolan wanita di toilet sudah berdandan rapih dan segar, mereka mengisi bagian paling dekat ke pintu.

Dari seberang Joey melambaikan tangan, ia berada di dekat hiasan bunga. Dan aku semakin heran kenapa ia seperti para manager dengan membawa sebuket bunga. Siapa sebenarnya yang akan datang?

Suara ribut bagaikan lebah itu kini berangsur sunyi, tatapan semua orang tertuju pada rombongan di luar ruangan. Beberapa bodyguard berpakaian hitam dengan earphone di telinga menuntun beberapa orang penting di belakangnya.

Orang pertama yang aku lihat adalah seorang tua yang duduk di kursi roda didorong oleh seorang suster masuk, lalu di sampingnya ada Pak Leo direktur utama perusahaan ini. Aku tebak jika kakek itu adalah pendiri perusahaan ini karena itu terjawab ketika semua orang menunduk dan memberi salam pada kakek tua itu.

"Selamat datang bapak Ruli Wicaksono." Sapa Sekretaris pak Leo lalu diikuti dengan salam dari beberapa orang lain.

Kakek tua itu melempar senyum ramah, walau aku yakin sudah tak ada gigi di sana. Pakaiannya pun jauh dari kata formal. Dia hanya mengenakan kaos putih dan celana kain hitam.

Kakek tua yang rendah hati. Batinku.

Lalu semua mata beralih lagi pada seorang tua yang masih segar bugar dengan suit mewahnya. Dia berjalan sedikit angkuh dengan mata elangnya, mengintimidasi setiap pegawai yang lalai. Semua tertunduk ketika sang sekretaris dengan gugupnya menyebut nama orang itu.

"Selamat datang Herr Max Krueger!" ucap sekretaris.

Mataku menangkap pegerakan Joey yang menahan tawa, namun seketika sang elang menatapnya tajam.

Setelah beberapa detik yang menegangkan tibalah sepasang lelaki dan perempuan yang tak kalah dijaga ketat oleh bodyguard pribadi. Kali ini masih sangat muda.

Seluruh ruangan terasa sesak dengan auranya yang kuat, mata hazel perempuan itu menelusuri setiap pegawai. Tak ada senyuman, namun terpukau karena wajahnya bak bidadari yang baru selesai mandi di danau air susu. Segar bagaikan mawar merah ranum yang terkena embun, di sampingnya seorang lelaki muda dengan suit terbaik membelah kerumunan. Dia melirikku sepersekian sekon lalu tertuju lagi pada perempuan yang berjalan beriringan dengannya.

Pasangan serasi, aku langsung membayangkan betapa sempurnanya kehidupan mereka. Sang gadis dan sang kekasih sama-sama dari keluarga terhormat.

Mataku serasa kembali jernih setelah melihat penampakan langka ini.

"Selamat datang Tuan Catra Paramayoga Wicaksono... dan Nona Rania Dahayu Krueger."

Kepergian mereka membuat suasana ricuh kembali, sebagian menjerit-jerit histeris. Dan yang pria merasa lemas karena kegantengan mereka terkalahkan oleh pria tadi. Efek luar biasa.

Joey berhambur padaku dia tak kalah antusias dengan mereka.

"Sumpah demi koreng nya si Riki, ya lord ... dia ganteng banget."

"Jadi, ini yang lo maksud terus ngepoin pak Leo? Jadi dia anaknya gitu?"

"Bener banget, dia itu pangeran kerajaan ini. Putra mahkota nya Nek, tapi anjir banget. Gue kira dia jomblo ngenes, eh malah bawa cewek cantik. Gue kebanting."

Aku mengibas-ngibas kan tangan di depan wajahnya agar tidak terlalu kencang karena semua orang mulai tertuju pada kami. Di antara desakan pegawai. Mbak Riri mendekat lalu tersenyum ramah.

"Hei kalian!!"

Kami berdua berdiri tegak "Ya mbak?" ucap kami bersamaan.

"Selaku karyawan baru, kalian wajib menghadiri acara penyambutan karyawan yang akan diselenggarakan oleh Pak Leo nanti malam."

"WHAT??" Joey memotong, wajahnya mengendur ketika aku menyenggol tangannya. Sedangkan Mbak Riri melanjutkan pembicaraan.

"Ya... kalian harus datang bersama yang lain, oh ya. Ini...," Mbak Riri menyerahkan sebuah kartu yang langsung di sambar Joey.

"Sesuai dress code ya, terimakasih."

***

Kalau udah baca cerita ini vote dong jangan diliat doang :)

Jangan kaya kentut; kecium bau nya tapi gak keliatan penampakannya. Kan gogog syekaleehh.

Tapi tak apa, semoga Mimi Peri mendengar keluh kesah ku.