Chereads / ZANUBA (Sebuah Perjalanan Hidup) / Chapter 4 - PERBEDAAN

Chapter 4 - PERBEDAAN

"Baru kali ini Aku merasakan kegelisahan ketika meninggalkan suatu hal. Perasaan yang belum pernah kurasakan, bahkan dulu ketika aku berangkat ke pesantren pun tak merasa gusar seperti ini.

Aku merasa baru saja menemukan duniaku yang sesungguhnya, tapi seketika aku terjatuh.

Aku tak kuasa melihat tatapan sendu dari mata Sibu, karena jelas terbaca ada sebuah rasa kekecewaan dan kesedihan di hatinya. Tapi Aku sudah memilih, Aku harus lanjutkan perjuanganku meskipun tempatnya bukan lagi di Al-Yasin"

••••••

Welcome Home…

Zanuba telah kembali lagi ke rumah dan ia merasakan perubahan besar terjadi pada dirinya. Seperti anak-anak lainnya sepulang dari pesantren menjadi lebih rajin dan penurut. Jilbab pun tak pernah lepas dari kepalanya meski sedang berada di dalam rumah. Selain karena kebiasaan di pesantren, juga karena di rumahnya sering kedatangan Guru-guru sekolah rekan kerja ayahnya. Jadi, untuk berjaga-jaga kalau tiba-tiba ada tamu dan sepupu-sepupunya yang sering main keluar masuk rumah zanuba, amannya Ia harus terus mengenakan jilbab. Namun, meski demikian terkadang ikatan rambut zanuba terlepas sampai terjulur keluar dan sering ditegur Ibunya.

"Rambutnya kelihatan loh nak!"

"Iya Bu, udah Aku iket terus digelung juga kok. Ini nggak sengaja lepas" Jawab Zanuba sembari merapikan rambutnya

"Kalau belum bisa ngurusin rambut panjang, dipotong dulu aja barang sebahu biar nggak menjulur keluar terus rambutnya. Kalau dilihat cowok gimana…?!"

"Iya…"

Bagi Zanuba rambut panjang adalah hal yang langka. Bagaimana tidak, waktu kecil rambut zanuba selalu pendek nyaris seperti potongan anak laki-laki. Jadi, Ia merasa ingin terus memilikinya karena seumur hidup Ia baru merasakannya kali ini. Mungkin itu hal baru dan perlu pembiasaan lagi.

Waktu terus berjalan, tak terasa tiga bulan sudah Zanuba menganggur di rumah, semenjak kenaikan kelas dua harusnya lanjut kelas tiga, tapi Ia malah keluar. Zanuba merasa bahwa dirinya harus melanjutkan sekolah, Orang tuanya pun akhirnya memutuskan untuk memasukkan Zanuba ke pesantren tempat Kakaknya nyantri. Di pesantren itu 100% gratis tanpa ada biaya makan, bulanan, bangunan dan lain-lainnya itu gratis dengan syarat harus selesai sekolahnya sampai lulus kuliah dan dua tahun mengabdi. Sebelum menyelesaikan pendidikan pesantren, maka ijazah tak bisa diambil, kalau pun bisa harus ditebus dengan sejumlah uang sekitar lima sampai sepuluh juta. Kebetulan di desanya Zanuba ada anak perempuan yang juga nyantri disana dan sama seperti lebaran sebelumnya tetangga silih berganti berkunjung ke rumah, tak terkecuali Lila, Nala dan Syifa.

"Nitip Zanuba ya Lila…" Ucap Ayah Zanuba kepada Lila, Anak perempuan yang nyantri di tempat Kakak Zanuba nyantri, lebih tepatnya di Bogor.

"Iya Bapak, insyaa Allah adek saya Syifa juga ikut mondok di sana jadi bisa bareng berdua. Kalau saya pantau terus sepertinya belum bisa karena beda kamar, saya pengurus. Mungkin nanti bisa sekamar sama Nala" Jawab Lila

"Ya, gimana baiknya aja ya… bareng-bareng menuntut ilmu disana yang tekun dan taat peraturan biar berkah" Pesan Ayah Zanuba kepada mereka semua.

••••••

Lebaran 2 pekan mereka semua berangkat ke Bogor menggunakan Bus rombongan santriwan dan santriwati daerah Jogja dan Jawa Tengah. Lila, Nala, Syifa, Zanuba dan Arman Kakak Zanuba berangkat menuju titik kumpul, tepatnya di Tempel perbatasan Jogja dan Jawa Tengah. Setidaknya ada 3 Bus pemberangkatan ke Bogor. Ketika semua santri dan calon santri hendak berangkat, tiba-tiba ada kendala di Bus yang dikendarai rombongan Zanuba. Bagasi Bus tak bisa dibuka. Tentu saja itu masalah yang besar karena mereka harus membawa tas besar mereka masing-masing. Alhasil di sela-sela tempat duduk dan sepanjang jalan di dalam Bus penuh dengan barang-barang bawaan para santri. Namun mereka tetap harus segera berangkat ke pesantren. Bus pun berjalan beriringan menuju Bogor pukul 16.00 dari Tempel. Selama di perjalanan Zanuba mendapat teman baru pertamanya.

"Assalamualaikum, namanya siapa? Saya Alisa." Tanya seorang perempuan yang usianya tidak terpaut jauh dengan Zanuba

"Waalaikumussalam, Saya Zanuba"

Perkenalan mereka terus berlanjut sampai mereka tahu bahwa ternyata Ayah mereka sudah saling mengenal. Dengan latar belakang itu, nampaknya hubungan mereka akan dekat. Setelah obrolan mereka habis, Zanuba meraih handphonenya dan memberikan kabar ke Orang tuanya lewat handphone nokia 100 miliknya. Ya, sekedar untuk berkirim sms untuk menyampaikan keadaannya itu cukup baginya karena setelah sampai di pesantren hpnya akan dibawa pulang oleh panitia rombongan. Tak lupa, Ia juga menceritakan kalau baru saja bertemu teman baru. Senyum Zanuba pun merekah dan menutup kembali handphonenya. Ia harus menghemat daya handphone nya supaya bisa terus berkabar ke Orang tuanya. Beberapa waktu berlalu begitu membosankan, untuk menghilangkan rasa suntuknya, sesekali Zanuba menengok ke luar jendela sampai termenung dalam.

"Kali ini Aku pergi semakin jauh dari Bapak dan Ibu. Aku nggak tau keadaan disana nanti seperti apa. Tapi setidaknya aku sudah terbiasa jauh dari Orang tua karena pernah mondok juga. Ah… Aku yakin pasti bisa cepat beradaptasi" Batin Zanuba menguatkan diri

"Tapi… apa kali ini aku bakalan nangis kayak waktu itu ya…? Waktu pisah sama Bapak Ibu Aku sih nggak apa-apa masih kuat, tapi nyatanya malem-malem mewek juga…" senyumnya mengingat pengalaman pertamanya di pesantren "Aku kan udah pernah ngerasain mondok sebelumnya, paling juga nggak jauh dari sebelumnya kan suasananya. Pasti bisa nggak perlu nangis lagi!" Zanuba terus memberikan motivasi pada dirinya sendiri berharap kali ini Ia bisa maksimal menuntut ilmu di pesantren.

Delapan jam perjalanan telah dilalui, Zanuba keluar dari Bus dan diam berdiri di samping Bus bersama tas besarnya dan satu kardus bekal dari Orang tuanya, melihat ratusan santri keluar berhamburan dari Bus dan berjalan menyusuri jalan menuju Pesantren.

"Ayok Za dibawa tasnya, kita ke pondok!" Ajak Mbak Nala.

"Masih jauh Mbak?"

"Ya lumayanlah, kira-kira dua ratus meter kita jalan kaki soalnya Bis ngga bisa masuk jadi turun di lapangan sini"

"Oh yaudah jalan…"

"Mau dibantuin nggak Za?" Syifa teman kecil Zanuba menawarkan bantuan, tapi Zanuba menolak karena barang bawaannya pun banyak.

Di sepanjang jalan menuju pesantren banyak pedagang menjajakan barang-barang dagangan mereka mulai dari makanan, minuman, perlengkapan ibadah lengkap ada disepanjang jalan dan sampailah mereka di depan pintu gerbang merah.

"Bentar Za jangan masuk dulu nunggu Mbak Lila, yang tau semua prosedurnya kan Mbak Lila sama Mbak Nala" Ucap Syifa menghentikan langkah Zanuba.

"Oh iya… Nggak sabar Akunya, hehe… yaudah taruh dulu tasnya"

"Sabar lah… Nanti juga pasti masuk" Balas Alisa ikut tertawa

Tak lama kemudian yang ditunggu-tunggu pun tiba dan mereka masuk beriringan melewati gerbang merah. Konon, kalau sudah melewati gerbang merah itu, mereka tak akan bisa keluar lagi kecuali di waktu-waktu tertentu. Dibalik gerbang itu, panitia pendaftaran sudah menanti ratusan bahkan ribuan santri berkerumunan mengantri mendaftar. Disamping lokasi pendaftaran banyak santri lama sedang mengantri mengambil air di kran.

"Wow… Maasya Allah… sejauh ini kah perbedaannya? Dulu di semarang santrinya bisa dihitung bahkan nyaris jadi satu-satunya santri dan disini kurasa ada ribuan santri yang akan menjadi teman-teman seperjuanganku, bisakah Aku bertahan diantara ribuan santriwati ini? Karena kuyakin, kepribadian mereka tak ada yang sama dan Aku harus memahaminya kalau mau survive" Gumam Zanuba sembari melihat sekeliling pesantren dan tangannya menggenggam erat ujung bajunya.

••••••

Akhirnya Zanuba sampai di pondoknya yang baru, tapi mampukah Ia bertahan diantara ribuan santri dengan kepribadian yang berbeda-beda sampai akhir masa pengabdian di pesantren?

Tunggu di part selanjutnya ya…

Happy Reading...