Chereads / ZANUBA (Sebuah Perjalanan Hidup) / Chapter 5 - MENTAL BAJA

Chapter 5 - MENTAL BAJA

"Wow… Maasya Allah… sejauh ini kah perbedaannya? Dulu di semarang santrinya bisa dihitung bahkan nyaris jadi satu-satunya santri dan disini kurasa ada ribuan santri yang akan menjadi teman-teman seperjuanganku, bisakah Aku bertahan diantara ribuan santriwati ini? Karena kuyakin, kepribadian mereka tak ada yang sama dan Aku harus memahaminya kalau mau survive" Gumam Zanuba sembari melihat sekeliling pesantren dan tangannya menggenggam erat ujung bajunya.

•••••

Selesai dengan urusan administrasi pendaftaran santri Ponpes Al-Ashriyyah Nurul Iman yang di dirikan oleh Seorang habib, Al-alim Al-alamah Al-arif billah Syaikhona Habib Saggaf Bin Mahdi Bin Syaikh Abu Bakar Bin Salim, Zanuba langsung diarahkan ke kamar 8 dimana itu adalah kamar dengan jumlah santri paling sedikit, yaitu 87 santri dalam satu kamar. Dikamar lain bisa sampai ratusan santri. Setelah mendapatkan satu loker besi berukuran tak lebih dari 30x60 cm, bersama Nala, Syifa dan Alisa, Zanuba mulai menata baju-bajunya dan benar-benar butuh strategi untuk bisa menatanya supaya semua pakaiannya bisa masuk kedalam loker mungil berwarna abu-abu itu.

Setelah itu mereka berkeliling pesantren sampai mereka lelah karena pesantren banat (putri) itu sangatlah luas. Mereka pun beristirahat di depan teras pintu ke dua Masjid Fatimah, sebuah masjid besar di pesantren putri, dua lantai dan bisa ditempati hingga 2500 santri.

"Ini tuh nggak ada apa-apanya kalau dibandingin sama pesantren banin (putra), disana lebih luas lagi. Ada sawahnya, empang kolam ikan, pabrik tahu, pabrik tempe, pabrik roti, percetakan, peternakan, dapur yg buat masakin belasan ribu santri ini juga disama, pokoknya luas banget deh, setengahnya aja nggak nyampe ini" Jelas Mbak Nala yang sudah satu tahun nyantri di pesantren itu.

"Waah keren dong" ucap Syifa kagum

"Nggak perlu olahraga juga udah otomatis olahraga ya buat jalan kaki dari kamar ke sekolah aja udah jauh, padahal masih di dalam pondok, auto sehat dong,haha." Sahut Zanuba disambung tawa kecilnya

"Terus nanti tidurnya gimana Mbak kalau santrinya sebanyak ini?" Tanya Alisa penasaran

"Tidurnya ya di masjid semua. Nanti tuh kalo udah abis makan malam langsung ambil kasur bantal ke masjid buat tidur. Terus kalo disini tuh jam 9 malam harus udah pada tidur nanti ada pengurus yg keliling ngontrol ke kamar-kamar, terus kalo bangun jam 4 langsung ada yg mandi, ada yang wudhu buat tahajud sambil nunggu subuh."

"Kayaknya seru…" sabut Zanuba merasa tertantang karena Zanuba berjiwa petualang tapi tak banyak bicara. Di Al-Yasin dulu ketika masih sekolah juga aktif dalam setiap kegiatan baik perlombaan menulis cerpen, novel, sampai menjuarai jambore tingkat kabupaten.

•••••

Malam pun tiba.

Zanuba dan teman-temannya bergegas ke masjid dengan membawa bantal dan alas tidur, santri lain pun melakukan hal yang sama selepas makan malam. Sesampainya di masjid, suasana ramai menyelimuti suasana malam pertama mereka di pesantren. Setiap santri mulai berebut mencari lokasi untuk tidur, tak terkecuali Zanuba dan teman-temannya.

"Ah, akhirnya dapat tempat juga, udah buruan pada tidur!" Kata Mbak Nala sembari membaringkan tubuhnya.

Dengan di iringi doa-doa menjelang tidur, suasana mulai hening, tapi zanuba belum bisa terlelap.

"Ya Allah ini benar-benar jauh dari ekspektasiku selama ini, karena mulai malam ini dan seterusnya Aku harus tidur berhimpitan tanpa ada renggang sedikitpun, dan ini tuh panas banget, masjid ini penuh dengan lautan manusia!." Batin Zanuba menggerutu

Pada akhirnya peluh menetes lembut melewati celah kedua matanya. Bagi Zanuba yang sudah pernah merasakan nyantri pun meneteskan air matanya apalagi mereka yang awalnya adalah anak mama atau yang pertama kali mengecap kehidupan pesantren. Benar saja tak lama setelah Zanuba bisa memejamkan matanya dan terlelap, suara rintihan dan tangisan mulai terdengar sangat keras. Meskipun semua lampu dimatikan, santri-santri lain yang mendengarnya pasti yakin bahwa itu adalah tangis rindu santri baru terhadap kamar tidurnya yang nyaman dan empuk. Mendengar tangisan yang tak kunjung berhenti dan kian keras terdengar jeritan itu membuat Zanuba dan santri lain terbangun.

"Cek… cek… siapa itu menangis? Yang di sampingnya tolong bantu tenangkan ya! Yang lain harap tenang dan kembali tidur!" Suara pengurus menggema dari setiap sisi sound masjid hingga keadaan mulai hening kembali.

•••••

Yah, tujuan pesantren memang untuk membentuk jiwa santri-santri bermental kuat dan mandiri. Supaya ketika nanti keluar dari pesantren siap menghadapi setiap kondisi kehidupan sampai titik terpahit sekalipun. Santri akan di uji kesabarannya mulai dengan antrian panjang, ujian sakit yang mendarah daging melekat pada title santri yaitu gatal-gatal, kehilangan barang, rindu orang tua, menghadapi perbedaan karakter dan masih banyak lagi.

Secantik apapun mata memandang Zanuba, pada akhirnya ia pun mulai mengalami gatal yang membandel itu,tepat di hari pernikahan Syarifah Rugayyah Putri dari Abah Saggaf menikah. Sebagai santri yang belum lama nyantri, tiba-tiba diminta untuk menjadi pagar ayu dalam acara pernikahan itu benar-benar suatu kebanggaan tersendiri.

"Kenapa bukan orang lain?" Batin Zanuba heran

Herannya lagi Zanuba dan Tasya teman satu daerahnya yang berada di depan memimpin iringan pagar ayu itu dengan membawakan payung besar seperti di kerajaan. Tapi bedanya Zanuba memakai kebaya berwarna ungu kerah, sedangkan Tasya memakai sorjan dan bankon.

Selepas acara pernikahan di pesantren banat selesai, cepat-cepat Zanuba membuka sarung tangannya, dan benar sebuah bakal calon gatal terlihat sangat imut.

"Duh, berasa pengen mencet tapi masih imut banget, nggak bisa dipencet, tapi kerasa sakitnya uh…" Keluh Zanuba diam-diam mengelus telapak tangannya. "Semoga nggak sampe parah Ya Allah…" Harap Zanuba penuh keyakinan.

Namun, takdir berkata lain. Penyakit zanuba kian parah sampai jari-jemarinya nyaris tak bisa digerakkan karena penyakitnya menyebar ke setiap sela-sela jarinya dan kakinya. Bersyukur, badan Zanuba aman dari penyakit itu. Tapi tetap saja Zanuba dijauhi oleh teman sekelasnya maupun teman di kamarnya karena penyakit itu menimbulkan aroma yang tak sedap, yang awalnya Zanuba duduk selalu di kursi depan dipindah ke ujung paling belakang.

"Ya Allah, Aku sabar dengan ujianmu ini… Aku yakin engkau punya rencana besar dan terbaik. Mungkin inilah caramu membersihkan kerak dosa-dosa masa laluku. Astaghfirullahal'adzim… Semoga ada hikmah dibalik semua ini" Batin Zanuba sembari melihat kedua tangannya yang terasa sangat sakit, mencoba terus bersabar dan ikhlas atas ujian itu hingga di penghujung tahun.

Selama satu tahun di pesantren, Zanuba hanya sekali di besuk oleh orang tuanya, sisanya Ia berkirim surat setiap bulan setelah kiriman paket makanan dan uang saku ia terima. Dari setiap balasan surat yang Ia dapatkan dari orang tuanya selalu ada pesan dan nasihat yang selalu dicatat di buku hariannya. Jadi setiap kali Ia merasa Down, ia baca nasehat-nasehat dari Ayah maupun Ibunya. Tak jarang Zanuba dan Kakaknya pun berkirim surat. Meskipun mereka berada di satu pesantren, tapi mereka tak pernah sekalipun dengan sengaja bertemu. Hanya sesekali tanpa sengaja melihat ketika santri banat belajar kitab Tafsir Showi bersama Abah Saggaf di masjid Toha, masjid santri banin saja mereka terkadang saling melihat sekelibat di jalan.

•••••

Hari yang dinantikan akhirnya tiba, dua hari sebelum ramadhan para santri dibolehkan pulang sampai dua pekan setelah idul fitri. Semua santri terlihat riang mempersiapkan kepulangan mereka. Tak terkecuali Zanuba yang sudah siap memasukkan semua pakainnya ke Tas besarnya. Ya, bukan semua pakaian yang Ia bawa ketika datang, karena sudah banyak pakaian Zanuba hilang entah kemana larinya.

Iring-iringan Bus sudah menanti para santri.

"Loh bisnya mana?" Tanya Syifa ketika melihat lapangan bersih dari Bus

Melihat banyak santri banin berjalan membawa tas dan koper menuju ke timur arah jalan raya, Mbak Nala bertanya ke salah satu santri tentang keberadaan Bus jemputan dari daerah Jogja dan Jawa Tengah dan saat diberi tahu bahwa Busnya menunggudi pom bensin jalan raya yang lokasinya dua kali lebih jauh dari lapangan tempat Bus pengantar santri menurunkan Zanuba dan teman-temannya dulu, mereka semua kaget

"Apa? jauuh bangeet itu…" pekik Mbak Nala saat tahu Busnya tidak ada di lapangan

"Sejauh apa mbak?" Tanya Alisa

"Dua kalinya dari pondok kesini bahkan lebih tuh!"

"Waduh, yaudah yuk buruan berangkat aja biar nggak ketinggalan!" Ajak Alisa

"Heem" Zanuba mengiyakan dan langsung berangkat menjinjing tas besarnya sembari tersenyum teringan nasehat-nasehat Ayahnya.

•••••