Chereads / Unexpected Past / Chapter 19 - Memikirkan Tujuan

Chapter 19 - Memikirkan Tujuan

"Liana."

"Ya? ada apa Lyosha?"

"Aku sering mempertanyakan tentang ini."

"Tentang apa?"

"Apa tujuan hidup yang sesungguhnya? selama ini kita terus menjalani hari begitu-begitu saja. Dan siapa diri kita ini sebenarnya. Kita pasti punya masa kecil bukan? maksudku kita tidak begitu saja muncul, bahkan kentut saja perlu proses untuk muncul."

Liana dan Lyosha sedang berbincang berdua, melupakan Lysander sejenak yang sedang tergantung di atas pohon.

"HMPHHH HMPHHH GRRRR"

Kasian betul Lysander, karena Lyosha terlalu pusing menghapal sejarah persebaran pengguna kekuatan magis di daerah perairan. Jadinya Lysander lah yang disalahkan oleh Lyosha. Tentunya tidak hanya di daratan saja ada manusia yang mempunyai kekuatan magis. Karena juga ada manusia yang berkekuatan magis hidup di dalam perairan.

Atlanta Wizard, daerah under ocean human tinggal. Mereka bernafas di air tanpa ada kendala sedikitpun, walau mereka memiliki paru-paru. Singkatnya dulu nenek moyang mereka yang merupakan seorang siluman ikan yang menikah dengan dewa laut, namun dia berselingkuh dengan manusia yang tinggal di daratan. Lalu gen dan garis keturunan mereka tercampur. Ketika dewa laut mengetahui perselingkuhan itu, dia amat lah marah.

Siluman ikan tersebut mengandung dua anak kembar. Satunya adalah anak dari dewa laut, dan satunya lagi adalah anak dari manusia tersebut. Dan untuk menghukum manusia darat tersebut, dewa laut mengutuk anak manusia itu agar tidak bisa bernafas di daratan. Sehingga manusia itu selamanya tidak akan bisa menemui anaknya. Dan anak dari dewa itu memimpin sebuah kerajaan di laut yang sekarang diberi nama Atlanta.

Sebenarnya itu hanya versi singkatnya. Versi aslinya bisa memakan lima puluh lembar dalam buku tragedi keterkaitan magis. Materi yang punya buku pegangan paling tebal dalam satu semester. Bahkan saking tebalnya butuh 2 buku tambahan lagi untuk menyelesaikannya. Satu buku pegangan berisi enam ratus lembar halaman. Meski materi yang dijadikan tes dibstasi sampai semester satu saja. Namun itu sudah bisa sebagian dari rambut kita lepas saking pusingnya.

Lupakan soal materi submapel sejarah yang terlalu panjang bagai rambut Lysander itu. Kembali ke percakapan Liana dan Lyosha sekarang. Jarang-jarang Lyosha jadi terlihat kalem dan melankolis seperti ini. Liana pun sebenarnya juga penasaran dengan masa lalu nya, tujuan ia hidup selama ini. Soal siapa kedua orang tuanya mungkin Liana tidak terlalu memperhatikan ke sana. Namun ini soal jati dirinya, bagaimana ia tiba-tiba bisa terbangun begitu saja di Tanah Intacta ketika berumur delapan tahun. Sebenarnya ada apa dengan masa lalunya hingga ia bisa benar-benar lupa begini. Apa ingatan dia sengaja dihapus? atau dia terkena suatu penyakit? atau mungkin ia mengalami suatu kecelakaan? ia sempat memutuskan untuk tidak memikirkan ini setahun belakangan. Namun baru-baru ini terfikir kembali. Apalagi setelah disinggung Lyosha barusan.

"T-tunggu...kalian juga bernasib sama denganku?"

"Bukankah kau sudah menanyakan itu ketika kita baru saling kenal dulu? astaga kau ini pelupa sekali. Bicara soal itu...kira-kira kenapa ya kita bisa lupa begitu saja dengan masa lalu kita? ah sudahlah, kita sama-sama tidak tahu, kau pun juga tidak bisa menjawab pertanyaan ku."

"Ya...begitulah Lyosha. Meski aku sering mencoba untuk melupakan masalah itu, namun tiba-tiba aku merasa khawatir dan memikirkan masa lalu ku. Apa kau begitu juga?" tanya Liana lalu menoleh ke arah Lyosha.

"Aku juga merasakannya. Namun dicari bagaimana pun tetap nihil hasilnya. Tidak ada catatan yang menjelaskan tentang itu," jawab Lyosha.

"Mungkin karena masa lalu kita tidak penting untuk didokumentasikan, jadinya hilang begitu saja. Atau mungkin sama sekali tidak ditulis." Liana tersenyum miris.

"Lalu dengan para Orph lain apa begitu juga ya? tentunya seseorang lahir pasti karena adanya orang tua."

"Kau sudah menjawab pertanyaanmu sendiri Lyosha. Tapi aku sering melihat ada anak bayi Orph, ya mungkin mereka adalah hasil hubungan gelap yang ditelantarkan orang tua mereka. Tunggu...jangan-jangan kita seperti mereka juga?"

"Ku rasa tidak. Kau sendiri tiba-tiba terbangun ketika berumur delapan tahun, tidak mungkin kau tiba-tiba dibuang kan? maksudku itu tidak pas sekali. Kalau kita memang anak hasil hubungan gelap seperti mereka, kita pasti sudah dibuang sejak bayi. Untuk apa dibesarkan dulu baru dibuang."

"Hmm...benar juga apa kata mu itu Lyosha. Semakin lama ini jadi semakin membingungkan."

"Ya sudahlah, kita cari tahu nanti saja. Toh sekarang kita belum punya apa-apa untuk dijadikan acuan. Oh iya Liana, apa tujuan mu bersekolah di Tummulotary Academy?"

"Tujuan ku? emm...aku ingin membuat Nenek Louvinna bangga. Dan aku juga ingin menjadi seseorang yang bisa menghapus sistem kasta yang tidak adil seperti sekarang ini. Aku ingin para Orph di masa depan tidak menderita seperti kita dan Orph-Orph lain di masa ini."

"Kau sungguh baik hati dan perhatian pada orang lain. Padahal banyak Orph-Orph lain yang tidak baik padamu Liana."

"Aku tidak peduli dengan apa yang orang lain lakukan padaku, karena yang lebih penting adalah bagaimana kita memperlakukan mereka. Bagaimana mereka di mata kita. Tuhan pasti punya ganjaran yang baik untuk orang-orang yang berbuat kebaikan."

"Kau itu terlalu percaya akan tuhan. Sama seperti si kaku itu."

"Karena Tuhan lah pemilik segalanya dari alam ini."

"Lalu soal dewa? dewa itu apa? bukannya mereka dianggap tuhan juga? lalu tuhan yang sebenarnya itu yang mana?"

"Emm...bagaimana ya?...bagiku Tuhan itu merupakan sesuatu yang memiliki kedudukan paling tinggi. Dan kalau dewa itu menurutku seseorang yang memiliki kekuatan dan kedudukan yang tinggi juga. Entahlah, sulit untuk menjabarkannya dalam kata-kata. Karena ini soal keyakinan Lyosha."

"Kau itu terlalu religius Liana. Tapi apa pernah terfikir oleh mu kalau kita ini sebenarnya adalah iblis yang bereinkarnasi jadi manusia? lalu dikutuk dan kehilangan ingatan selama di dunia ini."

"Lyosha, jangan membuatku tidak bisa tidur malam ini. Oh iya, kau tidak mau melepaskan Lysander? bisa-bisa wajahnya membiru karena darahnya naik ke kepala semua."

"Dia saja sudah tidak ada di sana. coba lihat sendiri." Lyosha menunjuk pohon tempat Lysander digantung.

"Aku tidak menyadarinya, lalu dimana dia sekarang?" Liana mengerutkan keningnya.

"Aku lihat dia masuk ke Coil Cottage, mungkin mengadu pada Nenek Louvinna. Dasar anak manja, sebenarnya cucu Nenek Louvinna itu kau apa Lysander sih?! ada-ada saja," ujar Lyosha seraya mendengus.

"Hihihi, maklum Lyosha. Dia juga rindu sosok orang tua. Kenapa kau marah begitu? atau jangan-jangan kau cemburu sosial ya? ayo ngaku." Liana menatap jahil ke Lyosha.

"Jangan mengada-ngada Liana! aku cemburu kalau kau yang dipeluk oleh Lysander." Lyosha melotot dan memeluk Liana tiba-tiba.

"Ehh? kenapa begitu? kau cemburu pada ku ya? aneh sekali kau ini. Kau brocon rupanya."

"B-BUKAN SEPERTI ITU LIANA KU SAYANG! A-aku cemburu kalau kau bermesraan dengan orang lain Arghhhh."

Liana hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Liana polos sekali, kasihan Lyosha. Tapi itu termasuk hal yang baik. Karena kalau tidak begitu bisa saja Liana dan Lyosha terjebak skandal. Tentunya itu tidak baik dan menyalahi aturan sebagai manusia yang baik.

"Ish, kau memelukku terlalu erat," ujar Liana melonggarkan pelukan Lyosha pada dirinya. "Lalu...apa tujuanmu bersekolah di Tummulotary Academy?"

"Tujuan? aku hanya ikut-ikutan si kaku itu saja." Lyosha mengatakan itu dengan teramat santai dan tanpa beban sama sekali. Seakan bersekolah di Tummulotary Academy itu hanya semudah mengedipkan mata.

Liana terjungkang, matanya langsung juling saking speechless nya dia menanggapi Lyosha.

"Semoga Tuhan membuatmu bertobat Lyosha. Tapi...." Liana menggantung ucapannya, "Pasti alasanmu tidak hanya itu saja."

Lyosha menaikkan sebelah alisnya. "Alasan lain? hmmm...aku ingin mencari suasana baru. Dan katanya setelah lulus dari situ kita pasti mendapatkan pekerjaan kan? jadi aku akan menjadi petarung yang paling kuat setelah lulus dari situ."

Liana tercengang, menurut Liana itu adalah hal yang hebat. Rupanya hobi bertarung Lyosha bukan cuma sebuah pengisi kekosongan saja. Namun bentuk latihan tak langsung demi cita-citanya.

"Aku sudah tahu kau dibelakangku bodoh!"

"Ckk, kau tidak seru Lyosha." Lysander memencak sebal. Lyosha tertawa penuh kemenangan.

"Kalian sedang membicarakan apa?" tanya Lysander seraya duduk di samping Liana.

"Jangan mencari kesempatan dalam kelebaran, masih banyak tempat yang bisa kau duduki selain di samping Liana." Lyosha menoyor kepala Lysander.

"Lyosha, kasihan Lysander. Dia hanya duduk kok. Benar kan Lysander?" Liana menoleh ke arah Lysander.

"Iya, benar sekali." Lysander melirik dengan senyum kemenangan.

"Lysander...aku mau bertanya," ujar Liana.

"Ya? tanya apa?"

"Apa tujuanmu masuk Tummulotary Academy?"

"Tujuan ku? aku ingin menimba ilmu lah. Apalagi Tummulotary Academy merupakan sarangnya ilmu paling besar di sini."

mendengar jawaban Lysander, Liana dan Lyosha hanya melempar tatapan yang berarti 'dasar maniak ilmu'.

Mereka lalu melanjutkan pembelajaran pada hari itu. Sungguh hari yang damai seperti biasanya. Namun di sela-sela waktu, masih terbesit di benak Liana tentang ucapan Lyosha. Apa mungkin, kalau mereka semua dulu sebenarnya bukanlah manusia? Lalu dikutuk dan kehilangan ingatan di dunia ini?. Liana butuh jawaban untuk itu semua. Namun sekarang belum waktunya bagi Liana dan teman-temannya untuk tahu.

*****

Di suatu tempat dengan nuansa gelap dan dingin. Ada seseorang yang nampaknya sedang menikmati secangkir wine. Wine yang harum namun terasa amis dengan campuran darah yang segar. Banyak reptil dan jenis hewan kelas arthopoda di tempat tersebut. Bahkan sebagian orang akan geli melihatnya.

Perapian dengan api berwarna ungu membawa kehangatan untuk suasana kamar yang dingin tersebut.

"Kenapa? kau manja sekali. Coba sini naik ke tangan ku," ujar orang itu pada seekor ular yang berada di bahunya tersebut.

Ular yang naik ke kursi orang itu naik ke lengan orang tersebut. Tapi dengan cepat ukar tersebut di lempar ke perapian dan menggeliat kesakitan.

"Aku tidak suka individu yang terlalu manja. Contohlah para Orph yang kuat dan tidak manja. Ah...apalagi dia, dia sangat mandiri. Aku tidak sabar untuk menyeret--maksudku membawa nya ke sini," ujar orang tersebut lalu bersandar kembali ke kursi kesayangannya.

Acara minum santai orang tersebut harus terusik oleh seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan tersebut.

"Tumben kau tidak mengetuk pintu, kenapa tergesa-gesa begitu? pelan-pelan saja, ceritakanlah semuanya anakku," ujar orang tersebut sambil menyesap minumannya.

"Maafkan kelancangan saya Sir. Saya mendengar kabar baru tentang tes yang akan dijalani para Orph itu. Ada sekelompok anak-anak tukang ikut campur yang mengubah-ubah bentuk tes tersebut Sir. Saya menunggu perintah anda menanggapi kabar tersebut."

"Cuma itu? dan kau sampai terengah-engah begitu? itu hanyalah masalah sepele Orland. Biarkan saja, masih jauh bagi kita untuk buka kartu. Kita harus mengumpulkan mereka semua dan baru bertindak."

"Baik Sir. Maaf mengganggu waktu anda. Apa anda butuh wine lagi?"

"Tidak, aku sudah cukup minum. Dan...apa dia sudah bergerak? sudah lama sekali kita tidak mengumpulkannya di sini."

"Sudah Sir. Dan rencananya minggu depan akan kami kumpulkan segera."

"Orland, Orland. Kau sangat lah patuh, sementara rehatlah dulu. Biarkan yang lainnya mengerjakan tugasnya. Dia pasti akan menikmati momennya nanti."

"Baik Sir. Kalau ada sesuatu panggil saja saya Sir."

Percakapan berakhir dengan pamitnya Orland dari ruangan tersebut. Tanpa ada angin dan hujan, orang yang dipanggil 'Sir.' tersebut tertawa. Hanya tawa pelan, namun semakin lama ia tidak bisa menahan perasaan geli itu. Dia tertawa dengan keras. Membayangkan sesuatu yang amat ia inginkan akan ia raih segera. Tawanya menggelegar di sepenjuru ruangan, mengisi dinginnya malam yang sedang dilanda badai.

"