Diujung senja, seorang laki - laki itu duduk sendirian. Didalam kesendiriannya, ia mencoba membaca isi kepalanya yang begitu ramai riuh dengan pertengkaran - pertengkaran yang di ciptakan oleh pikirannya sendiri, sedengkan hatinya sunyi sepi di dera rindu yang tak kunjung reda. Di tengah kerinduannya yg begitu dalam hatinya berlahan berbicara.
"Tuhan jadikanlah kesedihan dan kerinduanku ini sebagai mana senjamu itu, agar aku mampu menikmatinya di setiap semburat sinar cahayanya. Tetapi Tuhan, aku mohon durasi waktunya yang lebih lama, karena sejujurnya aku ingin lebih lama lagi untuk menikmati dan larut dalam gelombang kesedihan beserta kerinduanku ini. Agar aku tak begitu jauh dari perenungan - perenunganku, Tuhan jagan pernah Kau ambil mata air air mataku".
Tak lama kemudian, ada seorang laki-laki tua yang berjalan mendekat dan duduk di kursi sebelahnya, laki - laki tua itu lantas meletakkan tangannya di atas pundak laki - laki tersebut dan berkata.
"Adakalanya anak laki - laki menguras air matanya untuk seorang laki - laki, ada waktunya laki-laki terjun dan terperosok ke dalam jurang kesedihan untuk merenung dan menikmati kerinduannya kepada laki - laki, adakalanya laki - laki tertunduk mengerutu kepada Tuhannya untuk mengharap agar laki - laki tetap tersenyum di dalam dunianya, tetaplah berjalan seperti aku dan aku menunggumu dalam ke abadia." Setelah itu laki laki tua itu menghilang dan pergi bersamaan dengan suara dan kata - kata yang ia ucapkan.
Seiring dengan hilangnya suara itu , laki - laki yang duduk sendiri di ujung senja itu lantas pergi dengan hati yang berkata, " Tuhan jagan Kau ambil tangis ku untuk dia."