Selamat membaca
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶
Dua jam setelahnya …
Gavriel saat ini sedang berdiri di depan meja Queeneira, dengan kaki menghentak pelan tidak sabar, saat wanita di depannya masih saja menggerakan jari lentiknya di atas keyboard komputernya.
Tangannya bersedekap dada, menatap datar Queeneira yang pura-pura amnesia dengan sok sibuk membaca laporan setelah selesai mengetik.
Queeneira sebenarnya tahu dengan maksud gesture Gavriel di depannya. Namun ia masih ingin bertahan, ingin melihat sekuat apa Gavriel menjaga agar sumbu emosinya tidak tersulut.
Sesekali ia menelan susah payah salivanya yang tiba-tiba saja terasa kering. Apalagi saat merasakan hawa dingin yang berasal dari laki-laki di depannya.
"Hayo teruskan, Queeneira. Teruskan niatmu menguji kesabarannya dan sudah di pastikan jika kamu tidak akan selamat dari semburan lahar dinginnya," batin Queeneira masih stay calm.
Gavriel menghela napas, kemudian berdehem dengan deheman singkat. Terkesan dingin dan mengerikan disaat bersamaan. Sehingga Queeneira yang mendengarnya tidak kuasa untuk mengusap lehernya, ketika merasakan bulu kuduknya berdiri tiba-tiba.
Ehem!
Gluek!
"Nah kan, baru saja mulai berhitung," batin Queeneira setelah mengusap singkat lehernya dan kembali mengerjakan tugasnya.
Tidak mendapatkan balasan berarti dan melihat kepasifan Queeneira, Gavriel mengepalkan tangannya menahan kesal dan memutari meja untuk berdiri tepat di belakang Queeneira yang menegang kaku.
"Tamat, ceritanya tamat sampai sini," batin Queeneira dengan bibir komat-kamit. Ia merapalkan doa turun hujan, agar Gavriel tidak jadi mengajaknya keluar untuk melakukan kencan seperti rencana Gavriel dua jam lalu.
Doa tulus Queeneira ternyata tidak dijabah oleh Tuhan, terlihat dari jendela besar di ruangannya yang memancarkan sinar matahari dengan terik yang panasnya tidak di ragukan lagi.
Tanpa aba-aba dan tanpa ada kata permisi, Gavriel dengan segera menundukkan tubuhnya untuk meletakkan dagunya santai di bahu Queeneira. Kemudian dengan sengaja pula, ia menghadapkan wajahnya ke arah dalam ceruk leher Queeneira. Sehingga Queeneira yang merasakan beban juga hembusan napas Gavriel pun berjenggit, merinding.
Bangkit dengan tiba-tiba, Queeneira tidak sengaja membenturkan bahunya dengan dagu Gavriel sehingga Gavriel terdorong seraya memegang dagunya yang sakit. Sedangkan Queeneira si pelaku dengan panik menoleh ke belakang untuk memeriksa keadaan Gavriel yang sempat mengaduh kecil.
Duag!
Ouch!
(Karma is real, Bro. Makanya jangan asal nemplok itu dagu. 'Ck,diem aja')
"Gavriel!"
Dengan panik, Queeneira mendekati Gavriel yang saat ini sedang memegang dagunya dengan ringisan kecil keluar dari belah bibirnya.
"Gavriel," panggil Queeneira lagi, kali ini ia sudah sampai di hadapan Gavriel yang masih sibuk dengan ringisannya.
Netranya bergerak gelisah mencoba untuk memegang tangan Gavriel yang memegang dagunya. Namun Queeneira tidak menyadari, jika ada seringai setan ditengah-tengah rasa sakit yang di rasakan oleh Gavriel.
Queeneira masih saja panik, dengan bertanya berulang kepada Gavriel yang tidak menyahutinya, tepatnya sengaja ingin melihat Queeneira yang semakin panik.
"Ya Tuhan, Gavriel. Maafkan aku, aku tidak sengaja. Habis kamu sih, bikin orang kaget saja," ucap Queeneira seraya meletakan tangannya di atas telapak tangan Gavriel yang memegang dagu. Namun tetap saja, di tengah-tengah rasa khawatirnya ia menyalahkan Gavriel akan insiden yang baru saja terjadi.
"Ukh," ringis Gavriel, menyembunyikan kenyataan jika saat ini ia sedang menahan diri agar tidak tesenyum penuh kemenangan.
"Sebentar lagi, belum saatnya," batin Gavriel menghitung moment yang pas.
"Gavriel, sini aku lihat lukanya. Apakah sampai berbekas atau tidak, aku khawatir," lanjut Queeneira semakin cemas.
Ia menggigit bibirnya cemas, saat Gavriel masih mengeluarkan desisannya. Ia tidak menyangka gerakan refleksnya berakibat seperti ini. Ia sama sekali tidak bermaksud untuk menyakiti Gavriel.
"Gavriel," panggil Queeneira kali ini dengan nada lirih. Bahkan netranya sudah berkaca-kaca, takut jika dagu Gavriel benar-benar terluka.
Gavriel yang mendengar panggilan lirih Queeneira akhirnya melepaskan tangannya dari dagunya sendiri. Ia membiarkan saat tangan Queeneira segera mengusap dagunya lembut, sambil menahan senyum kecil saat wajah Queeneira ada di hadapannya saat ini.
"Fu-fu-fu … Kena terus, kan. Akui saja, love. Kalau kamu sangat peduli padaku dan aku juga masih ada di dalam hatimu," batin Gavriel melihat dengan seksama pahatan indah wajah Queeneira.
Hidung dengan garis lurus, juga bibir dengan bagian bawah penuh yang tadi memanggil namanya khawatir, kini bisa ia lihat lagi dan lagi tanpa takut jika ini hanya sekedar mimpi.
Usap-usap-usap
"Gavriel, apa ini masih sakit," bisik Queeneira menengadahkan wajahnya untuk melihat jelas wajah Gavriel yang ada di atasnya saat ini.
"Kenapa aku terlihat kecil, jika sedang ada di hadapannya," batin Queeneira sempat-sempatnya membandingkan tinggi badan.
Gavriel menggeleng, kemudian membawa tangannya yang menganggur untuk ia letakkan di atas punggung tangan Queeneira. Lalu dengan perlahan menariknya menjauh dari dagunya, kemudian menggengamnya erat . Sedangkan Queeneira sendiri masih menatapnya dengan raut wajah khawatir.
"Oh! Aku merasa berdosa, ternyata anak orang benar-benar khawatir denganku", batin Gavriel sedikit menyesal.
"Gavriel, jawab aku," gumam Queeneira lirih, menatap Gavriel dengan bibir tergigit menahan rasa bersalahnya. Lebih tepatnya menahan bola matanya agar tidak berkaca-kaca.
"Hn, aku tidak apa-apa," jawab Gavriel dengan seulas senyum kecil sebagai penenang. Namun sayang, Queeneira masih belum percaya, karena ia bisa melihat bekas merah pada dagu bagian bawah Gavriel.
"Benarkah? Tapi dagumu sampai merah seperti ini, apa benar sudah tidak sakit?" cecar Queeneira bertanya dengan penasaran.
"Eh! Benar kah sampai merah. Tapi tidak sakit," pikir Gavriel dalam hati.
Namun, karena tidak ingin membuat Queeneira semakin khawatir dengannya. Ia pun menggeleng dan mengambil kesempatan, dengan membawa telapak tangan Queeneira untuk mengusap kembali dagunya yang sebenarnya sama sekali tidak sakit.
"Hum, benar. Ini tidak akan sakit, kalau kamu tetap mengusapnya lembut," kata Gavriel dengan nada meray. Apalagi, ia juga menatap Queeneira dengan tatapan dalam yang sungguh terlihat sekali, jika Gavriel saat ini sedang melancarkan aksinya kembali.
Tangan Queeneira yang di tuntun untuk mengusap dagu Gavriel awalnya tidak bergerak. Namun. Karena perasaan bersalahnya terhadap Gavriel, Queeneira pun mengalah dan akhirnya menggerakan jari-jarinya untuk mengusap lembut dagu dengan hiasan merah milik Gavriel, yang kini tersenyum kecil di depannya.
"Apa masih sakit?" tanya Queeneira kepada Gavriel, yang saat ini sedang meresapi kelembutan usapannya.
"Hum, sedikit," gumam Gavrie berbohong.
"Biar saja," pikirnya dalam hati.
Berbohong tidak apa-apa. Karena baginya kalau itu bisa membuat Queeneira menampilkan ekspresi seperti ini, hal apapun halal asal tidak berlebihan saja.
Entah berapa lama keduanya berdiri saling berhadapan, juga berapa lama Queeneira mengusap dagu Gavriel yang warnanya kini sudah tidak memerah lagi.
"Sudah tidak merah," kata Queeneira seraya menghentikan usapan tangannya. Namun Gavriel dengan cepat memegang tangan Queeneira, kemudian kembali menggengamnya.
"Artinya sudah sembuh, kah?" tanya Gavriel pura-pura polos, dengan Queeneira yang mengangguk namun kemudian menggeleng tidak yakin.
"Tidak tahu," jawab Queeneira dengan menyesal.
"Sepertinya belum sembuh. Soalnya aku masih merasakan ngilunya," timpal Gavriel masih dengan kepura-puraannya, membuat Queeneira yang mendengarnya seketika menampilkan ekpsresi menyesalnya lagi.
"Benar kah? Maafkan aku," cicit Queeneira menatap Gavriel bersalah.
"Tidak apa-apa, love. Asal kita pergi kencan," balas Gavriel cepat.
"Kencan? Tapi kamu bukannya sakit?" tanya Queeneira dengan alis terangkat, mulai curiga.
"Iya, kalau kita kencan. Aku yakin, aku akan sembuh dengan cepat," jawab Gavriel dengan semangat, menuai anggukan kepala mengerti dari Queeneira.
"Baiklah."
"Ok, sudah di-
"Baiklah, kita ke rumah sakit dan ke dokter bedah saat ini juga. Aku akan meminta dokter itu untuk membedah isi kepala kamu, Gavriel. Demi Tuhan! Bisa-bisanya kamu membohongiku dengan berpura-pura kesakitan padahal tidak sama sekali."
Queeneira yang akhirnya sadar jika saat ini ia sedang diakali oleh Gavriel, dengan segera membawa tangannya untuk mencubit pinggang Gavriel keras.
Ia menyela saat Gavriel membalasnya dengan nada antusias saat ajakan kencannya ia setujui dengan mudah. Cubitan dari Queeneira yang rasanya aduhai, tentu saja menuai desisan dari Gavriel yang kali ini sungguh-sungguh merasakan sakit tanpa ada rekayasa.
Gyut!
"Aaakh! Sa-sakit, love. Ini sungguh cubitan paling renyah yang aku terima dari kamu, udu-duh," rintih Gavriel saat merasakan nikmatnya karma karena sudah membohongi calon istrinya.
"Hah! Kurang renyah kah? Mau di tambah?" balas Queeneira seraya menambah intensitas kekuatan cubitannya, membuat Gavriel sebagai korban semakin meringis namun ringisannya disertai kekehan. Kekehan renyah, karena ia melihat senyum tertahan dari Queeneira yang saat ini masih asik mencibut pinggangnya.
"Sudah, love. Sakit ih, gantian dong jangan di bagian pinggang saja," protes Gavriel namun sempat-sempatnya ia menawar, ketika cubitan Queeneira tidak berpindah-pindah.
"Oh! Kamu mau di tambah? Mau di mana lagi?" tanya Queeneira menantang. Namun sayang sekali, tantangan Queeneira membuat Gavriel tergelak setelah mengatakan jawaban akan pertanyaan Qeeneira.
"Pinggang bagian bawah rada ke tengah, love. Di situ lebih enak untuk di cubit,ha-ha-ha!"
"Apa!"
"Ha-ha-ha! Kena deh!"
"Gavriel kamvret! Pergi saja kau ke neraka, cabul kamvret!"
Teriakan Queeneira yang murka terbanding balik dengan Gavriel, yang kini justru semakin tergelak dengan lepasnya.
Gavriel membatin tidak habis pikir, sepertinya benar tebakannya saat itu, jika hidupnya yang 10 tahun lalu abu-abu, akan kembali berwarna jika itu bersamanya, bersama Queeneira cinta pertama yang belum sempat di gengamnya.
"Queeneira, masihkah bisa aku mendapatkan cintamu?" tanya Gavriel dalam hati, disela-sela tawanya ketika Queeneira kembali mencubitinya Gemas.
"Gantian cubit."
"Tidak mau!"
"Oh cium saja kalau begitu."
"Hah! Sialan Gavriel. Enyah kau sana!"
Bersambung.